Apa yang ada di benak kita kita disebut kata Tegal? Biasanya, saya terpikirkan soal Dalang dan Wayang. Tegal boleh dibilang mendapatkan julukan Kota Wayang setelah Ki Dalang Enthus mempopulerkan wayang khas tegalan, yang disebut Wayang Cepak. Wayang Cepak ini seperti wayang golek khas Sunda, tapi dengan bentuk wajah agak datar atau cepak. Itulah asal mula sebutan Wayang Cepak mengemuka.
Selain kata Dalang dan Wayang, daerah Tegal di sekitar perbatasan dengan Jawa Barat dikenal dengan Bahasa Ngapaknya. Jawa Ngapak merupakan bahasa egaliter yang tidak mengenal aturan undak-usuk basa, tanpa peringkat dan minus hierarki. Terkadang, bahasa ini dilabeli Bahasa Jawa Kasar.Â
Padahal, itulah bahasa asli Jawa sebenarnya, sampai kemudian ada perubahan pada era Mataram, ketika aturan tata cara berbahasa dirumuskan. Sejak saat itu, barulah ada pembeda dan hierarki di sana. Hal ini terjadi pada era Sultan Agung, sehingga ada pola yang terbakukan.Â
Maka, semakin jauh satu daerah dari pengaruh Mataram-Islam ---yang berpusat di Solo-Yogyakarta---- semakin egaliter dan semakin ngapak bahasa tuturnya.
Pram menulis buku tentang Daendels berjudul Jalan Raya Pos Jalan Raya Daendels. Dia mencatat seraya merujuk catatan orang Inggris, bahwa proses pembangunan Jalan Raya Pos merupakan wajah bengis kolonial. Pembangunan ini memakan korban 12 ribu jiwa dalam arena kerja paksa. Pemerintah lokal yang dilalui jalan tersebut wajib menyediakan pekerja dengan jumlah tertentu dalam kurun waktu yang sudah ditetapkan.
Kota Tegal masuk dalam lintasan Jalan Pos yang membelah dari timur ke barat. Sedangkan dari selatan ke utara sampai Laut Jawa, melintang sungai besar bernama kali Gung.
Asal-usul kota dan catatan sejarahnya bisa ditelusuri dalam tradisi lisan maupun catatan perjalanan. Tegal termasuk kota yang sangat tua. Catatan awal tentang kota ini didapat dari Tome Pires dalam magnum opusnya berjudul Suma Oriental. Tome Pires melakukan perjalanan pada awal abad ke-16, sekitar tahun 1511 sampai 1515. Dia menyebut daerah itu sebagai Tetegual yang dimaknai sebagai tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian. Dalam catatan Pires hingga era VOC, Tegal menjadi gudang penyedia beras utama bagi wilayah Nusantara.
Catatan lain tentang Tegal terdapat dalam kisah perjalanan Bujangga Manik. Dia merupakan bangsawan Kerajaan Sunda yang memilih menjadi rahib Hindu-Sunda dan berkelana ke beberapa tempat suci untuk menemukan tempat masa akhir hidupnya. Dia disebut Ameng Lalayaran.Â
Ameng sendiri bermakna pandita, dan lalayaran bermakna perjalanan menggunakan perahu. Meskipun, faktanya dalam catatan Bujangga Manik, dia juga melakukan perjalanan melalui jalur darat.
Jalur pantai utara yang terentang dari Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan, hingga Demak dan Semarang, lalu berakhir di Surabaya merupakan jalur tua.Â
Jalur tersebut menjadi rute pelayaran dan perdagangan. Pengaruh kultur antar kota-kota tadi saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Pola ini kemudian sedikit bergeser manakala Daendels membuka jalan darat ke arah pedalaman kota Jawa Barat.Â