tanggal kidang turun kujang
kidang ngarasangsang kudu ngahuru
Kidang mancer kudu ngaseuk
kidang marema turun kungkang ulah melak pare
Ketika bintang kidang muncul, pisau kujang digunakan.
Ketika bintang  kidang mulai naik, harus membakar semak.
ketika bintang kidang di atas kepala, harus menanam padi.
Ketika bintang  kidang sudah padam, turunlah serangga hama.
ungkapan pranata mangsa suku baduy
Puun, atau ketua suku Baduy, dibantu Jaro adalah penentu dan pemutus "mangsa". Kapan waktu berhuma diawali, kapan mengolah dan membakar rerumputan dilaksanakan. Juga penentu kapan seren tahun dilakukan. Berbekal kolenjer, sebuah alat kayu sederhana, perhitungan waktu diukur cermat. Dari membaca konstelasi benda langit pada kurun tertentu, setiap mangsa ditata, diskemakan. Ciri-ciri dan fenomena di bumi secara teliti ditelisik, lalu dilekatkan pada kurun tertentu dan tanda di angkasa: berupa konstelasi rasi bintang dan benda langit lainnya.
Ada masa bertani bukan sekadar menghasilkan apa yang bisa dimakan. Tapi bertani adalah sebentuk cara hidup, cara menjalani kehidupan, cara  mengolah budhi. Olah budhi yang mewujud dalam laku merawat tanah, menumbuhkan tanaman, melakoni laku tani yang menyatu dalam keseharian. Panen tak sekadar upaya mengambil hasil bumi semata. Tapi dilakoni  dengan penghidmatan tertentu, sebentuk ritual, penghormatan  kepada sang Pemelihara bumi yang memberi keberkahan. Mengolah tanah dengan tanpa luput membaca alam.Â
Dalam pengertian, mengolah tanah seraya membaca pola-pola interaksi antar-sistem: di udara, di bumi, pada cuaca dan pada pergerakan bintang di langit. Rumusan-rumusan pola itu lalu dibakukan, diskemakan dalam kalender-kalender musim yang disebut pranatamangsa. Fenomena di bumi, pola-pola kelahiran, pertumbuhan dan kematian setiap hewan, tanaman dan pepohonan ditarik langsung kepada kejadian di langit: udara, rasi bintang, matahari dan rembulan. Â Tak luput, mitos disertakan didalamnya. Karena, ada masa di mana mitos adalah sebentuk cara memahami realitas yang berlaku di kala itu.
Suku Baduy di Banten  adalah salah satunya, yang ditenggarai mewarisi kearifan asli cara hidup sunda buhun, sampai kini masih menggunakan patokan pranata-mangsa untuk bercocok tanam. Terutama dalam perkara berladang atau berhuma. Suku Baduy menggunakan bintang kidang (rasi bintang waluku) dan bintang kartika (pleiades) sebagai penentu musim. Apa yang tampak di langit gejalanya ada di bumi. Suatu cara memandang semesta yang menyeluruh, yang holistik.
Ambil contoh, satu fenomena atau ciri di bumi, semisal adanya sarang laba-laba di rerumputan, yang bolong di tengah dan laba-labanya berada di pinggir, bukanlah perkara sepele. Ada interaksi ruwet, jalinan rumit yang membentuk fenomena. Interaksi antar-sistem lingkungan dan aneka mahluk hidup lainnya.Â
Di waktu tertentu, pada temperatur tertentu, kelembaban tertentu, sinar matahari tertentu yang membuat fenomena itu hadir. Itulah yang ditelisik, membaca pola kehadirannya dan dikaitkan dengan ragam fenomena lainnya: di langit dan di bumi. Â Pohon kanyere yang matang di pohon adalah pertanda datang kemarau.
Bentang kidang yang nampak di langit di akhir malam, memiliki pola serupa dan berkait di bumi. Bentang kidang di langit sana,  secara penampakan mirip sarang lancah (laba-laba) kidang di rerumputan di tanah. Orang Baduy tidak perlu bangun subuh untuk melihat bentang kidang. Dari pengalaman praktisnya mereka memanfaatkan pula gejala alam lainnya. Cukup melihat sarang lancah  kidang yang sarangnya berlubang (bolong), saat itulah bentang kidang juga muncul. Ada keterkaitan, jalinan relasi antara di langit dan di bumi.
Cara pandang menyeluruh ini lebih sering disebut holistik, holisme. Terkhusus  dalam cara memandang alam secara utuh disebut  sebagai ecofemonisme. Terkadang  dinamai deep ecology atau social ecology. Nama bisa beda, tapi secara praktik sudah dilakukan di banyak tradisi. Hanya orang modern saja yang lantas memberi nama lain, atas praktik dan cara pandang yang sama yang dilakukan semenjak era lampau.  Saya pribadi menyukai istilah agro-ekologi. Apakah masih relevan membuka kembali khazanah tradisi perihal pranatamangsa?  Apakah masih perlu pranata-mangsa bagi para petani?