Sejak dicanangkannya revolusi hijau dan industrialisasi di bidang pertanian, pertanian telah bergeser menjadi salah satu pelayan untuk kebutuhan pasar. Sehingga berfokus pada spesialisasi produk yang didorong oleh kebutuhan pasar.Â
Hal ini membuat pertanian menjadi mesin modern yang bergantung mekanisasi dan kimia, pendeknya pertanian menjadi sekadar Industri, yang fungsinya hanyalah sebagai salah satu pemasok rantai pasar. Trend ini mengakibatkan banyak sekali kerugian, antara lain masalah kesehatan, krisis ekologis, berkurangnya tenaga kerja manusia dalam pertanian, ketergantungan tehadap bank sebagai pemberi kredit.
Lagi-lagi kita merujuk Vandana Shiva, bahwa faktanya hari ini 75% lebih produksi pangan dunia justru disediakan oleh para petani skala kecil. Para petani skala keluarga, para kaum marhaen. Dan hanya kurang dari 25% yang dipasok oleh Industri Pertanian. Tapi kendati hanya menyediakan pasokan 25%, dampak kerusakan oleh Industri ini sangatlah signfikan.
Industri pertanian berdampak besar terhadap perubahan iklim. Menghasilkan 25% emisi karbon dioksida dari total emisi global. Juga 60 persen gas methan dan 80 gas nitrous oksida. Selain itu, industri ini juga telah menyedot ketersediaan air tawar bersih sedemikian masif, sekaligus mengalirkan racun dalam siklus air.Â
Dan yang paling parah adalah kerusakan siklus agro-ekologis yang selama ini berjalan baik. Penggunaan pestisida dan insektisida memutus dan menghancukran siklus tersebut. Contohnya 75% populasi lebah, sebagai polinator, telah musnah, terbunuh karena racuna pestisida selama 30 tahun terakhir.
Fakta dan data ini memang nyata adanya. Karena itulah, salah satu program FAO adalah menggalakkan kembali konsep family farming. Memberikan dukungan atas para petani skala kecil.
Survey PBB terakhir memperlihatkan lebih dari 500 juta sistem pertanian di dunia, terutama di tiga benua, Asia, Afrika dan Latin Amerika digerakkan oleh pertanian keluarga. Oleh karena itu, PBB tahun 2014, mencanangkan International Year of Family Farming, yang ingin mengembalikan jati diri pertanian kembali pada pertanian keluarga dalam sentral pembangunan pertanian di dunia.
Hal ini kemudian dilanjutkan kembali pada April, 2019 Markas Besar PBB, di New York mencanangkan UN decade of family farming. Ini menunjukkan bahwa dunia
berkomitmen, selama 10 tahun ke depan pertanian keluarga akan terus diberdayakan.
Tentu saja tergat utama dari dukungan PBB lewat FAO adalah bagaimana agar para petani kecil beserta keluarganya bisa hidup lebih sejahtera, tidak berada dalam situasi kemiskinan---yang terstruktur. Cara bertani yang berkelanjutan yang menjadi basis pertanian skala kecil ini disebut sebagai paradigma ekologi.Â
Dalam paradigma agroekologi, pangan (makanan) adalah bagian dari jaring-jaring kehidupan, di mana kita, manusia berada dalam rantai jejaring ini: sebagai co-kreator dan co-produser, bukan semata konsumer. Tatkala kita menyimpan dan menyemai benih, kita menjaid bagian dari jejaring tersebut. Saat kita mengembalikan material organik ke tanah, saat itulah kita sedang memberikan tanah sebuah kehidupan. Kita bagian dari jejaring kehidupan: pemelihara tanah, pemakmur bumi.
Dalam paradigma agroekologi ini, manusia adalah pemelihara---lebih kuat aspek feminim nya, ketimbang sebagi perusak dan pemdominasi alam.Â