Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yunus dan Grameen Bank

31 Mei 2020   14:49 Diperbarui: 31 Mei 2020   16:11 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gram --dalam bahasa Bengali-- bemakna desa. Akar kata dari Grameen, yang secara harfiah bermakna pedesaan. Sebuah orientasi program yang mendarat ke ruang dan wilayah spesifik, yakni pedesaaan. Muhammad Yunus adalah perumus dan pendiri utama dari Grameen Bank. Ibarat Amartya Sen yang berakar bangsa Bengali, dan memiliki pengalaman langsung akan kekerasan dan kerusuhan rasial dan agama yang dialaminya saat terbentuknya negara-negara Asia Selatan : India, Pakistan dan Bangladesh. Demikian juga dengan Yunus. Ia terlahir di masa pembentukan penuh konflik. Menyisakan luka dan trauma mendalam bagi sebagian warganya. Rumusan Amartya Sen tentang keadilan, kekerasan dan kemiskinan, disublimasi dari pengalaman personalnya mengantarkannya mendapatkan Nobel bidang ekonomi di tahun 1998. Maka pergulatan Muhammad Yunus, demi menolong dan membangkitkan orang-orang paling miskin di negerinya, Bangladesh, mengantarkannya juga mendapatkan Nobel Perdamaian di tahun 2006. Adagium zaman dan kondisi paling kritis dan susah akan melahirkan orang-orang besar, pahlawan di masanya, sepertinya cukup tepat. 

Awalnya adalah sebuah kegelisahan. Ibarat Al-Ghazali yang mempertanyakan dan meragukan banyak hal, terutama terkait agama, maka demikian pula dengan Yunus. Chittagong University, tempatnya mengajar, demikian menjulang tegak dengan pongah, kalau tidak dikatakan mewah, di antara kekumuhan dan kemiskinan warganya. Yunus gelisah. Apa gunanya semua teori-teori ekonomi yang demikian melangit dan penuh angka-angka ideal, jika terpisah dari realitas masyarakat sebenarnya. Ia merasa bersalah. Maka, Yunus pun membalik arah “pengajaran”. Bukan akademisi yang mengajari awam perihal teori-teori pongah tersebut. Tapi akademisi lah yang harus belajar dari realitas masyarakat. Bukan “persepektif mata burung” yang melihat sesuatu dari kejauhan. Tapi yang dibutuhkan adalah “perspektif seekor cacing”, yang terjun dan mengalami realitas sebenarnya. Berkubang dengan lumpur; dalam keseharian yang nyata, yang miskin dan termiskinkan. 

Setiap negara dan bangsa, terlahir dari visi bapak bangsanya. India memiliki tokoh-tokoh sekaliber Mahatma Gandhi dan Tagore. Yang memimpikan India sebagai negeri yang majemuk, plural yang bersatu dalam sebuah bangsa. Visi Pakistan, jauh-jauh sebelumnya digaungkan oleh seorang Muhammad Iqbal. Maka bangsa Bangladesh, negeri yang relatif baru—terbentuk di tahun 1971, yang sebelumnya adalah bagian negara Pakistan, secara visi dan arah bangsa, dibangun oleh intelektual bangsa Bengali belakangan. Salah satunya adalah Muhammad Yunus. Maka tak heran, ia cukup memahami akar budaya, sosial-politik dari negerinya sendiri. 

Bangladesh, ia sebut negeri bencana. Badai, banjir, kekeringan panjang, adalah bagian dari sejarah masyarakatnya. Negeri yang relatif sangat sensitif dengan kondisi cuaca dan iklim. Tak aneh, jika ia memasukan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim sebagai salah satu dari tiga problem besar dunia : kemiskinan, pengangguran dan lingkungan. 

Berkecukupan secara materi, Yunus mewarisi perusahaan ayahnya. Ia juga berprofesi sebagai dosen, dan mendapat beasiswa doktoral ke Amerika. Di Amerika sana kitaran 1970 an, Yunus si pemalu ini, didekati gadis Rusia. Vera Forostenko, si gadis pirang bermata biru ini mengajaknya menikah. Tentu saja dengan segala impian bersama, dalam gaya hidup Amerika yang kosmopolis. Setelah keterlibatan panjang Yunus dalam proses kemerdekaan Bangladesh, di mana ia menjadi perumus konsep negara-bangsa dan penghubung jaringan tokoh Bengali di luar negeri, terutama di Amerika. Akhirnya 16 Desember 1971 negara bernama Bangladesh resmi bediri. 3 juta jiwa tewas akibat perang dan dan jutaan lainnya mengungsi, terutama ke perbatasan India. Sebuah harga besar untuk membidani kelahiran Bangladesh. 

Yunus kembali ke negeri asalnya. Ia, bagaimanapun, perlu bertanggung jawab atas negeri yang dibidaninya. Tahun 1974 adalah titik balik perubahan radikal Yunus. Bencana kekeringan, yang berujung kelaparan melanda Bangladesh. Orang-orang lapar memenuhi jalanan. Tubuh-tubuh kurus kering berperut buncit bergelandangan di mana-mana. Tak terurus. Mati dalam kedinginan. Sementara kampus, bak menara gading, bicara solusi di seminar dan dikusi teori. Yunus geram. Ia lantas mengajak kampus-kampus untuk melakukan tindakan lebih nyata dan solutif. Titik mula pembenahan mulai ditemukan, yakni : pertanian, pedesaaan, kaum perempuan miskin dan pinjaman lunak (micro credit). Suatu rumusan yang praktis. Lembaga CURDP (Chittagong University Rural Development Project ) mulai berdiri. 

Yunus menawarkan solusi mata cacing. Dan tentu saja bukan mata elang, yang melihat sesuatu dari kejauhan. Gagasan mata cacing adalah gagasan pemberdayaan masyarakat, dengan terjun langsung ke kehidupannya, ke dalam kesehariannya. Artinya dengan menjadi cacing, bergulat dan berlumpur dengan tanah, bukan di menara gading. Dari pengamatannya, Yunus membuang jauh pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelatihan keterampilan. Masyarakat miskin, tidak butuh pelatihan yang seringkali tak berguna. Mereka hanya butuh akses modal dan pengetahuan dasar berhitung ekonomis sederhana. Begitu kesimpulannya. 

Bermula dari desa kecil bernama Jobra. Dari sinilah kemudian, Yunus berkeliling menawarkan pinjaman lunak ke desa-desa miskin sekitarnya. Setelah sebelumnya meyakinkan pucuk pimpanan Bank Pemerintah, agar memuluskan pendaanan dan pengelolaan sendiri bagaimana skema mikro kredit dijalankan. Akhirnya, Grameen Bank terlahir di sana, di Jobra. Gugatan Yunus terhadap asumsi-asumsi ilmu ekonomi, memang cukup radikal. Dalam pengertian, ia yang sudah mengantongi profesor di bidang tersebut, melancarkan serangan ke teori utamanya. Baginya bangunan ekonomi yang sedang berlangsung, sangatlah tidak adil. Medan pertarungan, yang dinamakan pasar bebas, pada akhirnya tidak pernah bebas. Ada pihak yang memiliki segalanya: modal, kuasa, akses informasi. Ini kemudian secara ilmiah dirumuskan Stiglitz (mendapat nobel ekonomi di tahun 2001), dalam istilah teori asimetris informasi. Artinya tidak ada keseimbangan dalam akses informasi di pasar. 

Yunus juga melihat selain bias kelas dalam sistem perbankan saat itu, di sana terdapat juga ketidakadilan gender. Sistem Perbankan dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak bisa diakses oleh mereka yang miskin dan juga kaum perempuan. Persyaratan administrasi yang njlimet sampai masalah agunan jadi problem utama. Yunus lalu fokus mensolusikan hal ini. Dia membuktikan bahwa, kaum miskin bukanlah pengemplang—seperti halnya para debitur besar—dengan tingkat pengembalian yang sampai 98%. Ini prestasi besar. Yunus juga berupaya agar Grameen Bank memberikan 50% kredit kepada kaum perempuan. Ia menilai, kaum perempuan adalah solusi negerinya. Sebuah kesimpulan yang radikal, mengingat tradisi yang berkembang di Bangladesh dikenal kurang menghormati “perempuan’. Tentu bukan karena “islam”. Justru yang dilakukan Yunus terkait pemberdayaan perempuan, selaras dengan ajaran Rasulullah SAW; Annisa Imadul Bilad, perempuan adalah tiangnya negara. 

Yunus adalah gambaran cendekia yang membumi. Punya kekuatan dalam menganalisa inti masalah di negaranya, lalu merumuskan dan menjalankan solusi praktis yang berdampak nyata. Selain gugatan terhadap fundamen ilmu ekonomi dan kampus yang menjadi menara gading, Yunus juga dengan lugas meninju ke jantungnya simbol ekonomi pasar bebas: Bank Dunia. Di forum Hari Pangan Dunia, tahun 1986, Yunus secara terbuka membantah klaim Bank Dunia, bahwa Grameen Bank mendapat dukungan finansial dari Bank Dunia. Yunus memaparkan fakta, ia tidak sudi bekerja sama dengan lembaga itu. Masalahnya bukan anti Bank Dunia. Tapi pinjaman bersyarat dan solusi yang diajukannya tidak pernah berpihak kepada negara yang dibantunya. Yunus mengemukakan riset dan fakta, 75% lebih dana 30 milyar dollar, akhirnya kembali dinikmati oleh negara pendonor. Akomodasi pesawat, staf ahli bergaji tinggi yang berasal dari negara pendonor, yang harus disertakan dalam bea operasi, dan tentu elit negara miskin yang korup. Solusi Bank Dunia, tak pernah tepat sasaran dan tak bisa diandalkan. Yunus juga menggugat solusi temporer berupa pelatihan-pelatihan tak berguna yang digagas orang-orang pintar di negara asing. Tentu saja perseteruan ini terbawa ke mana-mana. Sampai presiden Bank Dunia, Lewis Preston sangat jengkel dengan kesengitannya. Ia mengatakan, Bank Dunia bukanlah orang-orang bodoh, ia memperkerjakan orang-orang terpintar di seluruh dunia. Kalimat dari pesiden Bank Dunia ini, dengan cepat dibalas Yunus di forum, “mempekerjakan ekonom pintar tidak dengan sendirinya menelurkan kebijakan-kebijakan dan program yang pro kaum miskin”. 

Mencermati gagasannya yang semi aoutobiografis dalam Banker to The Poor, saya benar-benar merasa takjub. Selain terhadap Yunus, terutama, tadinya, terhadap sosok Vera Forostenko. Apa yang dilakukan Yunus, di negeri bencana, berjalan puluhan kilo dari desa ke desa miskin. Bergelut dengan sekian problem riil, bahkan difitnah oleh para tokoh agama yang picik. Luar biasa sosok pendamping Yunus, demikian pikir saya. Karena dalam buktu tersebut sosok Vera Forostenko terselip di awal. Tentu berat sekali, mendampingi pekerjaan-pekerjaan suami di negeri entah berantah, jauh dari kenyamanan dan kemapanan yang diimpikan di awal. Ternyata menjelang akhir buku, barulah misteri terkuak. Pernikahannya dengan Vera berakhir setahun kelahiran putri mereka di tahun 1977. Vera meninggalkan Bangladesh dan berujar, negeri ini tidak cocok dengan dirinya dan anaknya. Dan tentu saja, Yunus tak mungkin meninggalkan tanah kelahirannya, Bangladesh. Negeri bencana yang dicintainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun