Yunus adalah gambaran cendekia yang membumi. Punya kekuatan dalam menganalisa inti masalah di negaranya, lalu merumuskan dan menjalankan solusi praktis yang berdampak nyata. Selain gugatan terhadap fundamen ilmu ekonomi dan kampus yang menjadi menara gading, Yunus juga dengan lugas meninju ke jantungnya simbol ekonomi pasar bebas: Bank Dunia. Di forum Hari Pangan Dunia, tahun 1986, Yunus secara terbuka membantah klaim Bank Dunia, bahwa Grameen Bank mendapat dukungan finansial dari Bank Dunia. Yunus memaparkan fakta, ia tidak sudi bekerja sama dengan lembaga itu. Masalahnya bukan anti Bank Dunia. Tapi pinjaman bersyarat dan solusi yang diajukannya tidak pernah berpihak kepada negara yang dibantunya. Yunus mengemukakan riset dan fakta, 75% lebih dana 30 milyar dollar, akhirnya kembali dinikmati oleh negara pendonor. Akomodasi pesawat, staf ahli bergaji tinggi yang berasal dari negara pendonor, yang harus disertakan dalam bea operasi, dan tentu elit negara miskin yang korup. Solusi Bank Dunia, tak pernah tepat sasaran dan tak bisa diandalkan. Yunus juga menggugat solusi temporer berupa pelatihan-pelatihan tak berguna yang digagas orang-orang pintar di negara asing. Tentu saja perseteruan ini terbawa ke mana-mana. Sampai presiden Bank Dunia, Lewis Preston sangat jengkel dengan kesengitannya. Ia mengatakan, Bank Dunia bukanlah orang-orang bodoh, ia memperkerjakan orang-orang terpintar di seluruh dunia. Kalimat dari pesiden Bank Dunia ini, dengan cepat dibalas Yunus di forum, “mempekerjakan ekonom pintar tidak dengan sendirinya menelurkan kebijakan-kebijakan dan program yang pro kaum miskin”.
Mencermati gagasannya yang semi aoutobiografis dalam Banker to The Poor, saya benar-benar merasa takjub. Selain terhadap Yunus, terutama, tadinya, terhadap sosok Vera Forostenko. Apa yang dilakukan Yunus, di negeri bencana, berjalan puluhan kilo dari desa ke desa miskin. Bergelut dengan sekian problem riil, bahkan difitnah oleh para tokoh agama yang picik. Luar biasa sosok pendamping Yunus, demikian pikir saya. Karena dalam buktu tersebut sosok Vera Forostenko terselip di awal. Tentu berat sekali, mendampingi pekerjaan-pekerjaan suami di negeri entah berantah, jauh dari kenyamanan dan kemapanan yang diimpikan di awal. Ternyata menjelang akhir buku, barulah misteri terkuak. Pernikahannya dengan Vera berakhir setahun kelahiran putri mereka di tahun 1977. Vera meninggalkan Bangladesh dan berujar, negeri ini tidak cocok dengan dirinya dan anaknya. Dan tentu saja, Yunus tak mungkin meninggalkan tanah kelahirannya, Bangladesh. Negeri bencana yang dicintainya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI