Sayangnya, akumulasi pengetahuan manusia yang tergambarkan dalam cara hidup suku-suku tradisional, kini nyaris punah. Ini terjadi tidak lebih dari dalam rentang 200 tahun belakangan.Â
Cara kita makan telah berubah jauh. Orang-orang Sunda dalam paparan Tome Pires maupun Raffles memiliki asupan protein yang baik, dibuktikan dengan bentuk tubuh dan cara makan orang-orang Sunda.Â
Ada catatan prasasti Tarumanegara yang menggambarkan bagaimana pengorbanan ternak secara besar-besaran. Sebuah bukti cara hidup, cara makan yang akrab dengan gizi dan protein yang baik.
"Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan". [Catatan Prasasti Tugu ].
Perubahan pola makan, akibat kehidupan modern, ditambah tekanan cara bertani dan beternak yang berubah seiring Revolusi Hijau, menjadikan pertanian dan peternakan bukan lagi sebagai sumber pangan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan yang bergizi, tapi sudah bergeser untuk memenuhi kebutuhan pasar.Â
Adalah ironi, di tengah kebun sayur yang bergizi tinggi, seorang penggarapnya hanya makan nasi dengan sekerat ikan asin. Adalah ironi di sebuah desa dengan peternakan dan penghasil susu, anak-anaknya mengalami kekurangan protein.
Akibatnya, meski di daerah pegunungan, tingkat penyakit NCD (Non Communicable Disease), semisal darah tinggi, jantung dan diabetes memiliki tingkat prevalensi yang tinggi.Â
Pada sisi lain, angka stunting (tubuh pendek) akibat kurang gizi, Indonesia memiliki angka kedua tertinggi di Asia Tenggara. Khususnya di Jawa Barat, 1 dari 3 anak menderita gizi buruk, merata hampir di seluruh daerah.
Jadi dengan menilik catatan sejarah, kita sudah memiliki pengetahuan yang baik perihal cara hidup dan cara makan sesuai kebutuhan tubuh kita, sesuai tradisi suka bangsanya sendiri.Â
Di Sunda misalnya, tidak pernah sebelumnya, menu ikan asin menjadi makanan pokok. Itu hanyalah sebentuk adaptasi dari orang-orang pegunungan untuk memenuhi kebutuhan akan garam. Begitulah kisahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H