Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review The Shallows

25 Mei 2020   09:50 Diperbarui: 25 Mei 2020   10:15 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi kalau aku tanya soal seni,
mungkin kau akan cari di semua buku seni yang pernah aku tulis.
Michelangelo?
Kau tahu banyak soal dia. Hidup adalah kerja, aspirasi politiknya. Dia dan Paus. Juga orientasi seksualnya.
Tapi kau tak tahu seperti apa aroma di dalam Kapel Sistine. Kau tak pernah berdiri di sana dan melihat langit-langitnya yang indah
Kalau aku tanya soal wanita, kau akan berikan rangkuman orang yang kau suka. Tapi kau tak tahu seperti apa rasanya bangun di sebelah wanita, dan merasa sangat bahagia.
Jika aku tanya soal perang, kau akan memberikan kutipan Shakespeare, kan?
Tapi kau tak pernah mengalaminya. Kau tak pernah merasakan temanmu berbaring di pangkuanmu melihatnya menarik napas terakhir melihatmu untuk mencari pertolongan.
Jika aku tanya soal cinta,kau akan berikan soneta.
Tapi kau tak pernah melihat wanita dan merasa terikat sedemikian kuat. Merasa seperti Tuhan memberikan
malaikat untukmu, yang bisa menyelamatkanmu dari neraka yang terdalam. Dan kau tak tahu bagaimana rasanya menjadi malaikatnya. Mencintainya selamanya.
Aku melihat engkau, aku melihat orang yang pintar dan percaya diri. Tapi sebenarnya, engkau adalah bocah yang ketakutan.

Cuplikan nasihat Sean Maguire dalam Film Good Will Hunting.

Will Hunting boleh jadi sosok jenius, sekaligus urakan dan anti sosial. Di matanya, semua tampak tak ada yang benar. Hanya dirinya yang benar. Suatu waktu, ia secara iseng menyelesaikan soal di papan tulis di MIT, saat menjadi pegawai cleaning service di sana. Peristiwa ini, mengantarkannya pada pertemuannya dengan Professor Lambeau yang begitu antusias dan tertarik melatih bakat matemeatikanya.

Tapi sikap sinis dan anti sosialnya, membuatnya terlilit banyak masalah. Kesepakatan pun akhirnya dibuat. Sang Professor bersedia memberi jaminan ke pihak kepolisian untuk pembebasan Will, tapi ia harus mengikuti sesi psikoterapi untuk sikap antisosialnya, sekaligus bersedia dididik di bidang matematika oleh sang professor.

Kalimat-kalimat di atas adalah ungkapan Sean Maguire, seoarang psikoterapis, yang diperankan dengan sangat apik oleh Robin Williams. Luncuran kalimat di atas inilah, menjadi awal titik balik si pemuda tanggung 20 tahunan ini, Will, untuk tunduk dan mau mengikuti sesi terapi bersama Sean.
Membaca dan tahu banyak ilmu adalah sebuah perkara, satu sisi kecerdasan.

Pemahaman dan pendalaman adalah perkara lain, yang menjadi sebuah karakter dan menjadi paradigma, kerangka pijak, bagi pikiran dan tindakan. Will Hunting bisa jadi jenius secara IQ, tahu banyak ilmu, dan membaca hampir semua buku apa pun. Tapi apakah itu menjadi sebuah karakter?  Belum tentu.

Film ini dibuat tahun 1997. Sebuah era dimana internet baru menapaki titik permulaan. Belum semasif saat kini. Tahun 1990-an adalah era dimana membaca buku adalah gerbang utama dalam perolehan pengetahuan.

Jauh berabad lampau. Tepatnya abad 5 SM, Socrates bicara tentang bagaimana tulisan bisa mencegah seseorang untuk "berpengetahuan". Dalam dialog Phaedrus, Socrates berujar, tulisan bukanlah resep untuk proses anamnesis, pengingatan kembali di level jiwa. Orang-orang yang mengandalkan membaca untuk menambah pengetahuan, mereka akan tampak tahu banyak, padahal sebenarnya tidak tahu apa-apa. Mereka akan dipenuhi, bukan oleh pengetehuan, namun oleh kesombongan pengetahuan.

Membaca buku, menyimak tulisan dan ujaran adalah satu perkara. Memahami dan mengendapkannya, proses menginternalisasi adalah perkara lain. Pengalaman dalam kehidupan, dunia nyata, akan membantu mengendapkan semua ingatan-ingatan, pengetahuan di permukaan, sehingga mengendap ke dalam memori jangka panjang yang lebih permanen. Itulah proses pembentukan karakter. Begitulah tinjauan neurobiology dan sains kognitif.

Bahwa memori jangka panjang bersifat permanen, di mana atensi atau perhatian menjadi kunci. Seseorang yang memiliki atensi atau perhatian dan pendalaman terhadap suatu hal yang dicerna secara inderawi, akan memindahkan objek atau hal tersebut dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang yang bersifat permanen. Memori permanen individual ini yang kemudian membangun memori kolektif sebuah masayarakat, suatu kebudayaan.

Nicholas Carr, dalam bukunya The Shallows, bicara banyak bagaimana alat-alat bantu, perpanjangan tangan, dan perpanjangan indra manusia: tulisan alfabet, peta, buku cetakan, jam dan komputer yang kita gunakan selama berabad-abad, bisa mengubah cara kerja otak, proses berpikir kita. Lebih jauh, Carr, menggugat cara hidup kekinian, sebagai sangat dangkal, dan menjauhkan kita untuk menjadi manusia yang berpikir mendalam dan kreatif. Manusia zaman now, diterjang sekian layar dan monitor dengan kecepatan pindah yang tinggi. Tak ada atensi di sana. Manusia selalu diinterupsi. Internet mendangkalkan kita semua. Begitu kesimpulan Nicholas Carr.

***
Seseorang, dengan gawai di tangan, seperti tampak mudah dan pintar dalam hampir semua tema. Ia bisa mengutip sekian kata-kata bijak dalam sekejap. Ia seolah bisa bicara politik dengan tampak mahir. Tapi itu semuanya tak pernah menjadi karakter dirinya. Kata-kata akan menguap seketika. Tidak ada yang mengendap. Kita seolah merasa "memahami", like dan share atau retweet, dan "voila", aku eksis dan merasa bijak, merasa sebagai bagian.

Sepuluh menit kemudian lupa. Lalu, serta merta mata dan pikiran kita mencerna seperti ada yang baru, lalu share lagi--yang bisa jadi baru kita share setengah jam lalu, mungkin sehari lalu. Kita jadi mahluk superfisial, artifisial. Tak ada pendalaman. Tak ada pengendapan. Kita berlari ke sana ke mari. Mencerna ini dan itu. Pemahaman dan pengetahuan tidak menjadi pakaian. Tak ada transformasi di kepribadian. Apalagi di jiwa.

Tentu saja, apa yang diungkapkan Carr tak sepenuhnya bernada pesimis. Teknologi kumputasi, internet, juga memberikan sekian kemudahan dan perkembangan positif bagi manusia. Tapi lagi-lagi menurut Carr, itu hanya seperti kita menjadi cerdas di sisi lain, dan bodoh di hal lainnya. Kita hanya berganti kecerdasan saja, tak ada yang berubah.

Maka bayangkanlah seandainya Socrates hidup di zaman kini. Gugatan terhadap objek-objek yang mendistraksi anamnesis, proses pengingatan jiwa, sepertinya akan semakin banyak.

Inilah dunia kita hari ini. Tantangan zaman yang semakin bertambah. Bagaimana kita bisa fokus dan memiliki atensi yang kuat terhadap perkara yang memang menjadi 'urusan' kita--Amr nya. Di tengah keberlimpahan dan interupsi di sana-sini. Lantas kita bisa mengendapkannya, mendalaminya dan menjadi karakter dan pakaian kita.

Ingatlah ayat:

Al-haakumut-takaatsur...
keberlimpahan telah melalaikanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun