Sepuluh menit kemudian lupa. Lalu, serta merta mata dan pikiran kita mencerna seperti ada yang baru, lalu share lagi--yang bisa jadi baru kita share setengah jam lalu, mungkin sehari lalu. Kita jadi mahluk superfisial, artifisial. Tak ada pendalaman. Tak ada pengendapan. Kita berlari ke sana ke mari. Mencerna ini dan itu. Pemahaman dan pengetahuan tidak menjadi pakaian. Tak ada transformasi di kepribadian. Apalagi di jiwa.
Tentu saja, apa yang diungkapkan Carr tak sepenuhnya bernada pesimis. Teknologi kumputasi, internet, juga memberikan sekian kemudahan dan perkembangan positif bagi manusia. Tapi lagi-lagi menurut Carr, itu hanya seperti kita menjadi cerdas di sisi lain, dan bodoh di hal lainnya. Kita hanya berganti kecerdasan saja, tak ada yang berubah.
Maka bayangkanlah seandainya Socrates hidup di zaman kini. Gugatan terhadap objek-objek yang mendistraksi anamnesis, proses pengingatan jiwa, sepertinya akan semakin banyak.
Inilah dunia kita hari ini. Tantangan zaman yang semakin bertambah. Bagaimana kita bisa fokus dan memiliki atensi yang kuat terhadap perkara yang memang menjadi 'urusan' kita--Amr nya. Di tengah keberlimpahan dan interupsi di sana-sini. Lantas kita bisa mengendapkannya, mendalaminya dan menjadi karakter dan pakaian kita.
Ingatlah ayat:
Al-haakumut-takaatsur...
keberlimpahan telah melalaikanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H