==catatan harian walungan==
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya??
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang
Menjadi layang-layang di ibukota
Kikuk pulang ke daerahnya??
Apakah gunanya seseorang
Belajar filsafat,teknologi,ilmu kedokteran,atau apa saja.
Ketika ia pulang ke daerahnya,lalu berkata :
"disini aku merasa asing dan sepi"
Sajak Seonggok Jagung
WS Rendra
Â
Â
Apa itu sekolah? Konon sekolah adalah pengisi waktu luang, bermula dari kata Schole. Tapi sekolah kini sudah seperti jalur lintasan masuk ke pusaran Industri Besar.
Ivan Ilich, adalah nama panutan bagi para penolak sekolah. Ada banyak kawan saya di kampus menggunakan Ivan Ilich sebagai landasan ideologis. Atau bisa jadi hanya alasan saja untuk malas belajar. Biar keren, maka argumentasi ala Ilich yang disodorkan.
Bersekolah atau tidak, sejatinya kita semua wajib mencari dan memiliki pengetahuan. Intelektualitas, ilmu pengetahuan adalah khas manusia. Pembedaa utama antara seorang manusia dan mahluk lainnya.
Waktu bak panah terlepas dari busur. Melaju teramat cepat. Hari, pekan dan tahun terlewati. Tidak terasa, lima tahun sudah, kami berkiprah di Pasir Angling. Perubahan ada yang tampak teramat nyata, ada yang pelan dan pasti. Lintasan dan jalan yang kami lewati, seminimalnya seminggu sekali ini juga  sama sekali tidaklah tetap. Ada banyak berubah di sana-sini. Apalagi menyandingkan dokumen digital poto-poto antara rentang lima tahun.
Dulu jalanan ke arah Cibodas, Pasir Angling dan Bukit Tunggul sangatlah sepi. Setelah para seleb instagram mmebuat populer Tebing Keraton, kini mereka melakukan hal yang sama setelah hadir The Lodge, tempat wisata di mana orang-orang kota mematut diri, membingkai wajah dan badan dalam frame sosial media.
Kini saat menelusuri jalan-jalan perkampungan di Bandung Utara, di setiap kelokan selalu ada rasa miris tertahan. Kalaulah tidak cafe, villa atau tempat wisata, plang "Dijual " bertebaran sepanjang jalan. Lahan-lahan banyak yang kosong, kendati produktif. Sebagian besar sudah tergadai.
Menjadi petani dan peternak, bergulat dengan tanah, lumpur dan hewan bukanlah profesi menjanjikan. Seolah tak ada kehormatan dan kehidupan layak, seandainya profesi ini dilakoni. Ia menjadi porfesi buangan.Â
Pilihan menjadi satpam di Rumah Makan, Cafe atau tempat wisata seolah rasional. Kepastianlah yang dicari. Berbeda dengan petani yang hidupnya bergantung kepada alam, dan mekanisme pasar saat panen tiba, maka menjadi buruh di tempat orang kota seolah membereskan rasa ketakpastian ini.
Lantas di mana konsep ketahanan pangan, ketahanan sosial budaya mendapatkan tempat? Jika masyarakat semakin jauh dari jati diri negeri ini, yang berbasis pada pertanian.
Mendekatkan persoalana-persoalan yang dihadapi sebagian besar masyarakat kita, kepada para pemuda : siswa dan mahasiswa menjadi tema utama. Di sini konsep Live In, tinggal dalam rentang tertentu, dan menjalani kehidupan riil pedesaan menjadi agenda rutin kami, tim walungan.org.
Sejak beberapa hari ini, rumusan Live In sedang kami godok. Terutama terkait penyusunan proposal untuk merespon permintaan sebuah SMU Negeri di Depok. Sepanjang perjalanan pulang dari Pasir Angling, Rabu 9 Januari 2019, kami mencoba membahas lebih fokus konsep Live In ini. Ada beberapa poin-poin penting yang kami rumuskan :
1. Live In merupakan pintu gerbang untuk memperkenalkan persoalan riil yang dihadapai masyarakat, khususnya para petani dan peternak di Pasir Angling
2. Semestinya konsep Live In, Kuliah Kerja Nyata, Bakti Desa, bukanlah ajang orang kota, para siswa/mahasiswa melakukan ajang pamer gaya hidupnya. Maka  Peraturan harus dibuat, adab dan tata titi bagaimana kultur masyarakat sekitar harus diangkat.
3. Live in ini harus sangat kuat orientasi ruang (lokasi) : pengenal wilayah fisik, dimana Pasir Angling berada. Peta spasial, tata ruang sekitar desa sedang kami buat.
4. Selain itu pengenalan orientasi waktu perlu diperkenalkan juga. Bulan Maret adalah buan dengan curah hujan tertinggi di seitar Lembang. Perlu banyak antisipasi menghadapi curah hujan seperti ini, terutama siaga bencana longsor.
5. Orientasi sosial dan budaya perlu juga diangkat. Bagaimana sejarah Pasir Angling, mitologinya, kehidupannya, jati dirinya dan tradisi yang berkembang di sana. Mungkin ada pertunjukkan seni dan budaya juga : calung, kecapi suling dan pencak silat.
6. Selama berada di rumah orang tua asuh, makanan dan kehidupan sehari-hari para petani akan diikuti oleh para peserta. Memerah susu sapi, berkebun sayur sampai mencari pakan ternak.
7. Ajang silaturahmi penduduk sekitar adalah sholat berjamaah, maka diwajibkan untuk ke mesjid desa setiap waktu sholat.
Begitulah kira-kira rumusan yang kami susun terkait konsep Live In di Pasir Angling.
Ada usulan lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H