Pagi menjelang siang, udara masih berasa dingin di kulit. Langit tampak mendung. Angin tak begitu kencang bertiup. Hanya seperlunya saja mengalir, sekadarnya menggoyang daun-daun pepohonan sepanjang Jalan Dago. Tim Walungan.org seperti biasa menjalani rutinitas mingguan.Â
Titik kumpul kami di sekitar wilayah kanayakan, lalu kami bersama menempuh perjalanan 45 menit menuju Lembang, ke Kampung Pasir Angling. Sebuah wilayah dimana kami melakukan riset beragam bidang. Mulai dari riset pertanian, peternakan, sosial budaya, pemberdayaan ekonomi dan tata wilayah.
Bicara tata wilayah, maka bicara penataan ruang-waktu. Sesuai misi kami, penataan ruang-waktu sebuah masyarakat dan lingkungannya, tidak bisa dilepas dari jati diri dari wilayah dan masyarakat tersebut.Â
Jati diri ini adalah sebentuk cara pandang dan cara hidup sebuah masyarakat tersebut sebagai pucuk akhir proses berinteraksi dengan dimensi ruang-waktu di mana ia tinggal. Di mana sebuah masyarakat mendapatkan penghidupan dan menjalani kehidupannya. Tanah, air, udara membentuk lingkungan, mendukung kehidupan manusia dan membentuk kesadaran komunal, khas masyarakat tersebut.
Tinjauan klasik atas studi agama, semisal Rudolf Otto dan Mirceae Eliade, bahwa dasar dari agama adalah perasaan takjub dan takut yang sifatnya eksistensial. Takjub dan rasa takut yang misterius, manakala berhadapan dengan ragam fenomena alam (mysterium tremendum), yang merangsang respon dan sikap tertentu dari seorang manusia.Â
Sikap ketundukan dan keberserahan atas hal-hal yang di luar kontrol dirinya ini, pada akhirnya akan menentukan cara hidup hidup dan berbudaya. Tradisi, ritual dan aneka upacara agama dibuat dan diselenggarakan terutama di ruang-waktu yang transisional, yang labil dan tak-stabil.
Cara pandang dan struktur kesadaran masyarakat terhadap struktur di luar yang tampak kasat-mata (spiritual), disebut perspektif metafisika, yang menjadi basis dasar bagi dimensi spritual sehingga termanifestasikan dalam keseharian, menjadi kebudayaan. Strategi budaya agar masyarakat bisa memahami "kebenaran Ilahi", pasti akan dan harus menimbang perspektif metafisika ini, di mana jati diri manusia dan wilayah lingkungannya memiliki peran utama.
Apa yang menjadi diskursus haruslah membumi. Apa yang menjadi konsep harus mewujud praktik. Pembicaraan perihal strategi budaya, menjadi tema sepanjang perjalanan Dago-Lembang kali ini.
Bagaimana kami memulai?
Memahamai perspektif metafisika sebuah masyarakat adalah langkah awal. Studi lapangan, literatur, penggalian mitologi dan khazanah-khazanah budaya archaic masyarakat sekita Pasir Angling menjadi tema tim kami.
Dari sini kemudian kami mencoba menghidupkan kembali apa yang sudah terkubur dan hampir terlupakan. Identifikasi akan tradisi dan upacara yang pernah ada, lalu kami angkat dan selenggarakan.Â