Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Earthing", Mengubah Sampah Menjadi Emas

1 Januari 2019   07:44 Diperbarui: 1 Januari 2019   18:54 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Earthing, bertelanjang kaki dan membiarkan telapak kaki menyentuh tanah dipercaya membawa kesembuhan. Sama halnya dengan grounding dalam listrik, dengan menginjak tanah dan membiarkan tubuh bersentuhan langsung dengan bumi, ibu bumi, maka elektron-elektron bebas dari tanah akan mengalir ke tubuh, membuat aliran energi di tubuh menjadi lancar. Kelelahan, sukar tidur, stress, vertigo dipercaya sembuh dengan earthing ini, alias dengan bertelanjang kaki.

Konon para sahabat Rasulullah, di masa lampau, di masa-masa damai, akan tampak bangga memperlihatkan bekas-bekas luka perang akibat tebasan pedang musuh, yang memenuhi badannya. Mungkin semacam tanda perjuangan. Di sini bekas perang luka badar, ini akibat perang uhud, bekas luka ini akibat perang khandaq. Begitu mungkin.

Ada kalanya anak-anak saya ingin diceritakan kisah masa lalu saya. Yang bagi anak-anak sekarang terasa seperti dongeng. Biasanya saya memulainya dengan memperlihatkan telapak kaki sendiri. "Lihat, telapak kaki ayah yang keras, tampak selalu kusam dan banyak guratan dan luka di sana-sini". Begitulah saya memulai cerita.

Sama halnya dengan para sahabat Rasul yang bangga dengan bekas luka-luka di tubuhnya, saya juga sedikit membanggakan jejak-jejak di telapak kaki. Ini semacam artefak kehidupan yang saya jalani sendiri. Mirip garis-garis kambium di sebuah batang pohon yang menandakan usia. Garis-garis di telapak kaki, seolah sebuah garis pengalaman hidup. Saya menganggapnya begitu.

Hampir seluruh masa kecil saya bertelanjang kaki. Bukan sekadar tidak mampu membelikan sandal. Tapi memang kondisi mengharuskannya demikian. Sawah, situ, bukit-bukit, kolam, sungai dan ladang adalah medan permainan, juga medan pekerjaan. Usia sandal baru tidak sampai satu minggu. Biasanya berujung di putus talinya, atau terbenam di lumpur. Ketimbang beli lagi yang baru dan tidak banyak berguna, mending tidak pakai alas kaki sekalian. Begitu prinsipnya.

Masa kecil yang kebanyakan di luar (outdoor), dan hanya saat menjelang tidur saja di dalam rumah, membentuk pola pikir dan cara pandang tertentu. Bayangan saya tentang rumah yang besar adalah rumahnya kecil tapi berhalaman luas dan penuh pepohonan. Di beberapa rumah tradisional, konsep rumah memang cenderung minimalis, artinya memaksa penghuni rumah untuk bekerja di luar rumah, dan baru masuk ke rumah saat tidur saja.

Karena kebiasaan sejak kecil ini, jika melihat tanah-tanah kosong, kering dan tandus, terasa miris dan sedih. Sering ada dorongan untuk mengolahnya. Mengumpulkan sampah dapur, daun-daun pepohonan dan limbah ternak, lalu mengangkutnya ke tempat pengomposan di pinggir sawah, hampir menjadi rutinitas harian di masa kecil saya. 

Didikan keluarga, terutama kakek dan nenek untuk selalu memanfaatkan dan mengolah tanah, memakmurkan bumi, tampak kuat. Saya merasakan sebuah ikatan yang kuat dengan bumi, tanah yang dipijak. Ini juga alasan, ketimbang membangun ke pinggir untuk rumah yang sekarang dihuni, mending ke atas, dan menyisakan ruang/space yang banyak untuk tanah (lebih dari 50%). Di samping memberikan kesempatan untuk air hujan meresap dengan lebih ke dalam tanah, juga bisa dimanfaatkan untuk kebun kecil-kecilan.

***
Masanobu Fukuoka, seorang Jepang, bukan seorang petani sembarangan. Di samping lulusan sarjana mikrobiologi, boleh dikata, menurut hemat saya, dia adalah seorang filsuf. Filsuf di bidang pertanian. Dia menjadi petani bukan sekadar profesi, tapi sudah menjadi way of life, pandangan hidup. Ia paham betul cara bertani secara holistik dan cara bertaninya ini, bisa dibuktkan secara empiris.

"Revolusi sebatang jerami" adalah tagline yang diusung Fukuoka. Perlakuan terhadap sebatang jerami, menandakan sebuah revolusi paradigma dalam bidang pertanian. Lebih jauh lagi, sebuah revolusi kemanusiaan.

Ide dasar Fukuoka adalah bertani tanpa "bekerja". Artinya bertani dengan meminimalisir peran serta manusia, termasuk turunan-turunannya: pupuk kimia, pestisida, rekeyasa genetik dll. Bertani dengan sealami mungkin. Gugatan Fukuoka lebih jauh lagi, ia menentang pertanian untuk memenuhi kebutuhan pasar dan industri. Bagi Fukuoka, prinsip dasar bertani adalah : hidupi dulu diri sendiri dan lingkungan sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun