Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memahami Avonturir

3 Desember 2017   20:22 Diperbarui: 4 Desember 2017   20:35 2291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

rumahku entah di mana
tak kutemukan di sajak-sajak

di matahari, dan di bulan
karena tidurku
di bawah bintang-bintang
jauh di rimba belantara
tenggelam di dasar lautan
mesti pulang ke mana
setelah letih mengembara?

Heri H Harris dalam Balada si Roy

Avonturir. Sebuah kata sedalam makna. Ia tak sekadar bermakna pengelana. Ia juga sebentuk cara dan memandang hidup. Ia bermakna tak sekadar singgah di kota-kota tua, pelosok-pelosok gang dan ruang-ruang terbuka. Ia adalah menyerap "sari hidup". Menikmati dan merasuk di dalam keseharian orang-orang.

Pertengahan 90-an. Masa remaja sudah beranjak, masa dewasa sedang membentuk. Saya demikian akrab dengan kata ini: Avonturir. Tentu saja setiap masa dan usia punya patronnya. Patron rujukan bagi mereka yang sedang membangun makna dewasa. Bagi saya sendiri, yang terbiasa dengan bacaan-bacaan sastra, tak pelak lagi tokoh-tokoh sastra menjadi rujukan. Sebuah kawajaran dalam masa pencarian "kedirian".

Seorang kawan lama menyindir bahwa di masa SMA saya dianggap tak belajar tekun. Memang ada benarnya. Lagi-lagi dia berujar, saya hanya sekadar membawa satu buah buku tulis dimasukan ke saku belakang. Lagi-lagi ada benarnya. Itu pun buku tersebut hanya berisi kumpulan-kumpulan puisi yang saya salin dari Koran Mingguan, atau catatan-catatan harian yang lepas, biasanya berbentuk prosa liris. 

Saya lebih menikmati buku-buku sastra, esai-esai dan tulisan-tulisan sosial budaya . Lebih memilih mencermati "pelajaran" di luar bangku sekolah. Setiap rentang usia punya kekhasan dan gejolaknya sendiri. Di masa SMA, kegelisahan sedang singgah, aneka pertanyaan menghinggapi dan menghantui. Aneka tanya yang butuh jawaban. Butuh kepastian dan pegangan.

Adalah wajar juga gelegak masa muda di masa itu akan sangat mudah jatuh ke sisi eksistensialisme. Mungkin semacam Iwan Simatupang, atau Chairil Anwar. Atau bagi yang lebih kekinian, biasanya akan mematronkan diri ke kisah Balada Si Roy, karya Gola Gong. Maka gambaran Rangga dalam A2DC satu yang individualis cenderung sinis, adalah gambaran cukup tepat kegelisahan remaja 90-an.

Avonturir. Kata yang juga ditebarkan secara literasi oleh Gola Gong dalam Seri Balada Si Roy. Bandung, Yogya, Solo, Sukabumi, Serang adalah target para avonturir yang mengikuti jejaknya. Khusus Bandung, seruas jalanan Dago Pojok punya makna khusus dalam kisah Balada Si Roy. Miriplah dengan kisah sendiri.

Suasana pertengahan 90-an, tidaklah dikenal gadget dan google maps. Tidak ada kamera hape dan selfinya. Apalagi filosofi "aku selfi maka aku ada". Tak dikenal sama sekali. Maka modal bergaul dan merasuk jauh ke kehidupan orang-orang di sebuah kota adalah cara ampuh bertahan di jalanan, bagi para avonturir. Mengobrol dan bercakap, mengakrabi para tukang becak, para pedagang asongan dan kaki lima. Syukur-syukur bisa bercakap dalam bahasa daerahnya, adalah modal paling kuat. 

Sejenis penghargaan kepada warga pribumi. Dari sini, para avonturir akan menangkap di ingatannya. Di mana tempat mandi, dan tidur. Masjid yang resik dan aman. Jalur jalanan, stasiun KA dan BIS antar kota. Juga warung makan yang murah dan nikmat. Selain itu untuk mengabadikan kenangan, sebentuk jurnal perjalanan dituliskan, beberapa bait puisi digubah sebagai pengingat pengembaraan. Para avonturir akan akrab dengan pena dan catatan harian. Bukan gadget dan cara memotret serta mematut diri dengan aneka pose aneh. Dalam cara seperti ini, para avonturir sedang belajar meresapi kehidupan. Mencermati dan membentuk gambaran tentang dirinya. Sedang berupaya mentala mata pandangannya. Harus seperti apakah kehidupan yang akan dilakoninya? Begitulan kira-kira, ia sedang mencari pijakan.

Menelusuri kota Yogya waktu kini, menghadirkan kembali kenangan itu. Ada kebanggaan tersendiri saya menikmati Yogya masa lalu. Karena mencermati bagaimana hirup pikuk jalanan Yogya kini. Aneka selfi, minyak wangi dan deretan hotel di mana-mana. Terasa sangat asing. Aneka transaksi berjalan tanpa sentuhan manusiawi. Bayar lalu pergi. Kaki lima, abang becak, tukang kopi dan jamu, hanya dipandang barang dan jasanya saja. Tak ada ingatan nama, tak ada jejak melekat kuat. Ah.

Dulu saya masih ingat, ongkos Bandung-Yogya cuma 15 ribu perak naik KA ekonomi. Maka dengan uang 60 atau 70 ribu, bisa bolak-balik Bandung-Yogya dan beberapa hari di Yogya. Masalah tidur, bisa di stasiun atau masjid-masjid kecil sekitar alun-alun. Makan lebih gampang dan nyaman. Bertebaran di mana-mana. 

Dulu harga di Malioboro masih sangat normal. Kalau pun tidak merasa aman, bisa lebih melipir ke Angkringan di sekitar stasiun, di Tugu atau alun-alun. Urusan tidur, asal bawa penutup kepala dan kaus kaki, bisa langsung nyenyak, apalagi setelah berjalan seharian. Prinsipnya, telinga tertutup kupluk penutup kepala dan telapak kaki tidak kena angin. Dijamin hangat dan nikmat, ditemani taburan bintang-bintang.
Yogya, kota tua yang sedang digeret. Antara masa lalu yang klasik, eksotis dan masa depan dengan derap modern pembangunan. Ia menjadi kota yang gamang. 

Kini, berjalan di jalanan merasa tak lagi aman. Begitu banyak seliweran motor dan kebut-kebutan. Mal-mal dan hotel bertaburan berlomba dengan asongan dan angkringan.

Begitulah Yogya di masa kini.

--Kini sandal gunung sudah digantung,
berganti piyama dan sandal rumahan
kisah pengembaraan jadi sekadar catatan
"pencarian diri" semakin menukik ke dalam
menggali yang hakiki, menghampiri yang sejati
lelaki itu, kini mendapatkan kepingannya yang terserak
dan sisa kisahnya adalah
perjuangan berserah agar Dia mengasah
ujung kasar tonjolan dirinya
untuk tepat, tergenapi keutuhannya
dengan pasangan jiwanya--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun