Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Slow Reading

9 Juli 2017   15:17 Diperbarui: 9 Juli 2017   15:23 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi kini, Revolusi mesin cetak, lalu ditambah dengan revolusi digital dalam dunia teknologi informasi, mengubah cara dan kultur mencari dan mendapatkan ilmu. Lewat layar mungil, dengan mudahnya kita mendapatkan banyak sekali informasi.Ribuan kitab kuning, dan juga buku-buku lainnya bisa termuat dalam satu perangkat digital, entah hape atau tablet, dan bisa diakses dalam kondisi apa pun dan waktu kapan saja. Tapi kemudahan ini bisa jadi bumerang. Kepayahan mencari ilmu tidak terbangun. Silisah dan penulis kitab menjadi diabaikan. Ujungnya, orang bisa tahu banyak, tapi tanpa adab dan akhlak.

Beberapa waktu lalu, sempat menjadi trending topik, tagar #AyoMondok. Beberapa orang melempar tagar ini dengan harapan, agar untuk ilmu belajar ilmu agama, tempuhlah dengan nyantri, lewat jalur ulama dan guru yang tepercaya. Janganlah terlampau mengandalkan internet. Begitu gagasan pokoknya.

Saya sendiri, ada setuju, ada juga tidaknya. Mungkin posisinya di pertengahan. Karena tidak semua orang bisa memiliki waktu dan pendukung untuk "nyantri". Sebagai gantinya, mungkin gagasan "slow reading", bisa dilakukan. Yakni sebentuk aktivitas membaca yang tidak terburu-buru. Mencoba melakukan cross-check, tabayyun, mengendapakan dan menginternalisasi. Jika kita sedang membaca sebuah buku, atau topik tertentu di internet, coba galilah secara mendalam dan luas. Kenali penulis bukunya dan latar belakang sejarah serta spirit zaman yang melahirkan karya tersebut. Dengan seperti ini, penghargaan terhadap karya keilmuan menjadi terbangun.

Suatu saat, ada baiknya, kita membaca Alquran seolah sedang berhadapan dengan Gusti Allah dan mencoba memahami kalam-Nya, ketimbang diburu-buru target bacaan. Suatu waktu, manakala membaca hadits, cobalah dibangun imajinasi seolah kita sedang mendengarkan kata-kata Rasulullah SAW, dan yang terbayang adalah sejarah kehidupan beliau SAW, akhlak dan karakternya.
Inilah upaya dimana kita mengerem diri, dari menjadi pembaca instan. Sosok yang tanpa karakter, tanpa adab dan tanpa akhlaq.

Maka konteks dan latar belakang menjadi tidak lepas dari teks. Upaya internalisasi dan transformasi yang pelan, tapi cukup kuat lewat bacaan. Itulah gagasan dasarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun