Tapi kini, Revolusi mesin cetak, lalu ditambah dengan revolusi digital dalam dunia teknologi informasi, mengubah cara dan kultur mencari dan mendapatkan ilmu. Lewat layar mungil, dengan mudahnya kita mendapatkan banyak sekali informasi.Ribuan kitab kuning, dan juga buku-buku lainnya bisa termuat dalam satu perangkat digital, entah hape atau tablet, dan bisa diakses dalam kondisi apa pun dan waktu kapan saja. Tapi kemudahan ini bisa jadi bumerang. Kepayahan mencari ilmu tidak terbangun. Silisah dan penulis kitab menjadi diabaikan. Ujungnya, orang bisa tahu banyak, tapi tanpa adab dan akhlak.
Beberapa waktu lalu, sempat menjadi trending topik, tagar #AyoMondok. Beberapa orang melempar tagar ini dengan harapan, agar untuk ilmu belajar ilmu agama, tempuhlah dengan nyantri, lewat jalur ulama dan guru yang tepercaya. Janganlah terlampau mengandalkan internet. Begitu gagasan pokoknya.
Saya sendiri, ada setuju, ada juga tidaknya. Mungkin posisinya di pertengahan. Karena tidak semua orang bisa memiliki waktu dan pendukung untuk "nyantri". Sebagai gantinya, mungkin gagasan "slow reading", bisa dilakukan. Yakni sebentuk aktivitas membaca yang tidak terburu-buru. Mencoba melakukan cross-check, tabayyun, mengendapakan dan menginternalisasi. Jika kita sedang membaca sebuah buku, atau topik tertentu di internet, coba galilah secara mendalam dan luas. Kenali penulis bukunya dan latar belakang sejarah serta spirit zaman yang melahirkan karya tersebut. Dengan seperti ini, penghargaan terhadap karya keilmuan menjadi terbangun.
Suatu saat, ada baiknya, kita membaca Alquran seolah sedang berhadapan dengan Gusti Allah dan mencoba memahami kalam-Nya, ketimbang diburu-buru target bacaan. Suatu waktu, manakala membaca hadits, cobalah dibangun imajinasi seolah kita sedang mendengarkan kata-kata Rasulullah SAW, dan yang terbayang adalah sejarah kehidupan beliau SAW, akhlak dan karakternya.
Inilah upaya dimana kita mengerem diri, dari menjadi pembaca instan. Sosok yang tanpa karakter, tanpa adab dan tanpa akhlaq.
Maka konteks dan latar belakang menjadi tidak lepas dari teks. Upaya internalisasi dan transformasi yang pelan, tapi cukup kuat lewat bacaan. Itulah gagasan dasarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H