galunggung menjulang tegak
bawah kaki, sungai anak beranak
memanjang berkelok susuri sawah dan semak
indahnya, hilangkan resah hati nan bergejolak
rumah-rumah bergerombol, lalu menjarang
beratap rumbia, bilik bambu dan kayu pinang
kala malam, lampu cempor dan halaman tak begitu terang
rindu hati pada kekasih, lalu berdendang
hawa sejuk, tanah berpasir, kulit para gadis yang kapas
berkebaya, bersandal kelom, berpayung kertas
bersenandung kinanti dan kidung bermajas
diiringi nayaga di pertunjukan yang lepas
seribu bukit julukan namanya
disebut juga kota resik elok tertata
berpenduduk petani, pedagang dan di bidang agama
 sebagian lagi jadi perantau di ibu kota
surau dan masjid tak pernah sepi
selepas magrib, semuanya mengaji
dibimbing para ustadz dan pak haji
bacaan Quran suci dijunjung tinggi
itulah kota masa kanakku
terpatri di hati, teringat selalu
pada masa, keinginan penduduk tak begitu meraja
hanya kolam, sawah, bukit dan rumah sederhana
kini, sungai kerontang di masa kemarau
meluap saat penghujan selalu membuat risau
sawah kering sepetak terjepit di antara rumah bergaya spanyola
bertembok pagar tinggi, katanya agar dianggap orang kaya
para gadis dan perempuan tak lagi membawa bakul
menjumpai suami yang membajak dan mencangkul
kini terjebak di pabrik, diperas tenaga, tangan dan dengkul
membuat suasana serba masygul
bising kota, pusat belanja dan aneka ruko
konser dangdut, bar dan disko
malam tidak lagi sunyi dan saat merefleksi
malah semakin jalang dan lupa diri
apakah ini yang dinamakan kemajuan
diri didera dan dirantai berhala zaman
tak lagi ingat silsilah, keutamaan dan iman
semuanya diukur dengan kekayaan
tapi barangkali, aku hanya gundah dan risau
mungkin terlampau hidup di masa lampau
padahal setiap zaman punya ukuran sendiri
lalu bagaimana dengan ajaran Nabi?