Mohon tunggu...
Hilwa Tusifa Khairat
Hilwa Tusifa Khairat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi: Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Agama Dalam Rekonstruksi sosial pasca-Tsunami di Aceh Kajian Transformasi Nilai dan Solidaritas Masyarakat

18 Desember 2024   17:15 Diperbarui: 18 Desember 2024   17:10 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 sebuah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern. Lebih dari 200.000 jiwa meninggal dunia, dan infrastruktur wilayah tersebut menjadi hancur lebur. Di tengah kehancuran ini lalu agama Islam memainkan peran sentral dalam proses rekonstruksi sosial, membantu masyarakat Aceh bangkit melalui transformasi nilai dan penguatan solidaritas sosial akibat dari terjadinya bencana tsunami 2004 di Aceh tentunya menambah penderitaan rakyat Aceh, namun sekaligus memberi hikmah tentang bagaimana pentingnya membangun Aceh kembali dalam bingkai wawasan keislaman dan keindonesiaan.

Sejak kemerdekaan Indonesia hingga era Reformasi, pembangunan di Aceh menghadapi berbagai tantangan dan ketidakpuasan masyarakat. Hal ini memicu munculnya gerakan protes seperti DI/TII dan GAM, yang menyebabkan konflik berkepanjangan, memperburuk kondisi sosial-ekonomi, serta menghambat pembangunan. Situasi semakin sulit ketika bencana tsunami 2004 meluluhlantakkan Aceh, menghancurkan infrastruktur dan memicu kesengsaraan yang mendalam. Namun, tragedi ini menjadi titik balik penting. Masyarakat Aceh mulai membangun kembali kehidupan dengan mengedepankan nilai-nilai Islami sesuai posisinya sebagai Serambi Makkah, wilayah yang melaksanakan Syariat Islam. Dengan mengamalkan Islam secara kaffah, Aceh memiliki sejarah panjang kejayaan sejak Kesultanan Aceh. Pasca-tsunami, Syariat Islam menjadi dasar rekonstruksi sosial dan pembangunan, mengarahkan Aceh menuju kesejahteraan dunia dan akhirat.

Sebelum tsunami 2004, Aceh menghadapi berbagai masalah besar. Sejak zaman Soekarno, janji otonomi khusus Islam tidak ditepati, bahkan Provinsi Aceh sempat digabungkan dengan Sumatera Utara, memicu pemberontakan DI/TII. Pada era Soeharto, Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), menyebabkan kekerasan sistematis, penyiksaan, pembunuhan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Di masa Reformasi, meski Abdurrahman Wahid membuka peluang referendum, tuntutan rakyat Aceh untuk menegakkan hukum, amnesti, dan pengelolaan kekayaan daerah tidak terpenuhi. Konflik terus berlanjut dengan pemberlakuan Darurat Militer yang memperburuk kehidupan sosial ekonomi, menyebabkan kemiskinan, ketakutan, dan kemunduran pendidikan.  Menjelang tsunami, Aceh menghadapi dua krisis besar: kekerasan militer dan maraknya kemaksiatan, termasuk korupsi oleh pejabat daerah. Keadaan semakin buruk, hingga Aceh tak lagi dianggap sebagai Serambi Makkah oleh sebagian masyarakat. Dalam situasi yang penuh konflik dan kemerosotan moral, Aceh dihantam bencana tsunami dahsyat yang meluluhlantakkan wilayah tersebut.

Pada 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 8,9 SR disusul tsunami dahsyat menghantam Aceh dengan kecepatan hingga 1000 km/jam. Tragedi ini menewaskan 228.429 orang, menghilangkan 92.234 lainnya, dan menghancurkan wilayah seperti Banda Aceh dan Meulaboh. Infrastruktur, rumah, serta fasilitas umum luluh lantak, mengakibatkan kerugian material mencapai Rp41.401 triliun.

Bencana ini melunturkan dimensi pembangunan manusia, sesuai prinsip maqshid al-syariah:

  1. Agama (al-dn): Keyakinan masyarakat terguncang, dengan sebagian mempertanyakan mengapa daerah yang menjalankan syariat Islam justru terkena bencana.
  2. Jiwa (al-nafs): Kehilangan nyawa dalam jumlah besar, trauma, dan ketakutan mendalam.
  3. Ilmu (al-aql): Hancurnya fasilitas pendidikan, termasuk 639 sekolah dasar dan 5 universitas.
  4. Harta (al-ml): Kehancuran aset individu dan publik.
  5. Harga diri (al-'ardh): Ketergantungan pada bantuan asing, termasuk dari negara non-Muslim, memunculkan kekhawatiran terkait keimanan dan moral masyarakat.

Tsunami ini menjadi peringatan dan tantangan besar bagi Aceh untuk bangkit dari keterpurukan sosial, ekonomi, dan spiritual.

Aceh, yang dikenal dengan julukan "Serambi Makkah," memiliki sejarah panjang sebagai kerajaan Islam dan tujuan untuk menerapkan syariat Islam secara menyeluruh atau kffah. Meskipun Aceh telah mulai melaksanakan syariat Islam, pelaksanaannya belum sepenuhnya mencapai tahap kffah. Pasca tsunami, bencana tersebut dianggap sebagai peringatan bagi masyarakat Aceh untuk melakukan introspeksi terhadap pelaksanaan syariat Islam. Untuk mewujudkan masyarakat Aceh yang rabban (berorientasi pada Allah), diperlukan langkah-langkah strategis, seperti penyebaran pemahaman Islam yang menyeluruh melalui dakwah dan pendidikan, serta merancang pembangunan yang berbasis pada prinsip-prinsip Islam.

Pembangunan Aceh seharusnya memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan fisik dan spiritual, dengan menerapkan prinsip pembangunan Islam yang mencakup aspek akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Selain itu, pemerintahan yang baik atau Good Governance sangat diperlukan untuk memastikan pelaksanaan syariat Islam dengan adil dan berkualitas. Hal ini melibatkan seleksi aparatur yang memenuhi kriteria keislaman dan pengawasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Dengan demikian, Aceh dapat mencapai kemajuan yang sejalan dengan ajaran Islam dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.

Bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 merupakan tragedi kemanusiaan yang memunculkan tantangan besar bagi masyarakat Aceh, baik secara sosial, ekonomi, maupun spiritual. Namun, bencana ini juga menjadi titik balik penting dalam rekonstruksi sosial Aceh, yang mengedepankan nilai-nilai Islam sebagai landasan pembangunan. Meskipun Aceh telah menerapkan syariat Islam, pelaksanaannya belum sepenuhnya kaffah, dan tsunami tersebut menjadi peringatan untuk melakukan introspeksi dalam memperkuat pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pembangunan Aceh pasca-tsunami harus mengedepankan keseimbangan antara aspek fisik dan spiritual, dengan membangun masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang mencakup akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Selain itu, prinsip pemerintahan yang baik dan pengawasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah juga sangat penting untuk mewujudkan Aceh yang lebih sejahtera dan sejalan dengan ajaran Islam, serta menciptakan kesejahteraan dunia dan akhirat.

REFERENSI

Abdullah, Taufik (et al). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali, 2002.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun