Mohon tunggu...
Hilwan Fanaqi
Hilwan Fanaqi Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Harian Lepas

manusia biasa yang ingin bermanfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mananti Konsistensi Senyuman (Radar Garut, 5 November 2012)

5 November 2012   12:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:56 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mananti Konsistensi Senyuman

Tahun 2013 di depan mata. Artinya, panggung politik di negeri ini sebentar lagi digelar. Bahkan saat ini Komisi Pemilihan Umum sedang melakukan verifikasi terhadap partai-partai calon peserta pemilu 2014. Khusus untuk daerah Jawa Barat serta beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat maupupaten erta beberapa Kabupaten Kotaikasi terhadap partai-partai calon peserta pemilu 2014.emahami teknis kebijn beberapa daerah lain di Indonesia, kontestasi politik akan dimulai dengan perebutan kursi pimpinan daerah masing-masing. Misalnya untuk Jawa Barat, 24 Februari 2013 ini akan berlangsung Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Disusul dengan pemilukada beberapa daerah seperti Sumedang, Purwakarta, Garut dan beberapa ah seperti Sumedang, ung Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. pinan daerah masing-masing. daerah lainnya.

Seperti pada kontestasi politik sebelumnya, nampaknya cara-cara lama masih menjadi pilihan penting para kandidat. Sepanjang jalan di seantero nusantara telah ramai dihiasi wajah-wajah yang menebar pesona untuk mencitrakan dirinya masing-masing. Wajah-wajah yang dipajang melalui stiker, spanduk bahkan baligo berukuran besar dengan latar partai masing-masing, disertai kata-kata “lebay” untuk menarik simpati masyarakat. Mereka seakan-akan mengadu senyum siapa yang paling menawan dan mampu menarik hati siapa saja yang melihatnya. Jargon-jargon politik dengan rangkaian kata untuk mengangkat isu yang dianggap relevan dengan karakteristik masyarakat di daerah pemilihan masing-masing dan akan mampu menarik hati calon pemilih mereka. Bahkan tidak jarang isu tersebut menyeret pada wilayah primordialisme maupun isu SARA.

Sudah barang tentu pemasangan poster, baligo maupun sepanduk dan berbagai atribut lainnya oleh para calon kontestan ini merupakan sebuah upaya untuk memperkenalkan diri sekaligus menarik simpati masyarakat. Meskipun harus melanggar berbagai aturan, seperti memasang atribut kampanye di tempat-tempat terlarang seperti sekolah, tempat ibadah, gedung-gedung pemerintah serta jalan protokoler, para calon maupun partai secara kelembagaan nampaknya sudah tidak memperdulikannya lagi. Apakah mereka juga membayar pajak reklame atau tidak, entahlah! Yang penting bagaimana mereka bisa dikenal oleh masyarakat melalui media sosialisasi itu.

Fenomena maraknya gambar-gambar para kandidat pimpinan negeri ini, dari mereka yang ingin duduk di senayan sampai yang mencalonkan jadi presiden serta DPRD tingkat propinsi maupun kabupaten, menunjukkan adanya suatu perubahan pola komunikasi antara calon-calon pemimpin yang akan duduk menjadi wakil rakyat dengan para calon konstituennya. Hal ini tentu merupakan bagian dari konsekwensi logis perubahan sistem politik di negeri ini yang memberikan ruang itu, plus kemajuan teknologi digital yang semakin memberi kemudahan dengan biaya yang murah. Maka sebelum gong kampanye ditabuh pun, jauh-jauh hari kompetisi “telah dimulai”.

Senyum-senyum yang menyapa di setiap sudut kota dan pinggiran jalan raya sampai desa ini adalah sebuah proses encoding yang akan direkonstruksi oleh khalayak. Calon-calon pemimpin itu menyampaikan pesan melalui gambar dan kata-kata. Namun tentu apa yang dimaknai oleh khalayak tidak akan sama, karena banyak hal yang mempengaruhinya. Apakah pesan yang disampaikan melalui gambar tersebut diterima dengan positif atau negatif, atau bahkan tanpa respon sama sekali, tentu setiap orang punya pilihannya masing-masing.

Selain respon yang diberikan khalayak terhadap gambar-gambar tersebut, tak kalah menarik melihat dari sisi penyampai pesan itu sendiri. Apakah senyum yang ditebar itu adalah seyuman yang tulus dan apa adanya? Sebuah telaah dari Walter Lippman, seorang penulis klasik tentang public opinion menyatakan “tokoh-tokoh penguasa itu adalah pribadi-pribadi hasil konstruksi kita. Apakah mereka sendiri mempercayai karakter publik mereka, atau apakah mereka hanya menyuruh orang lain untuk mementaskan mereka, selalu ada dua diri – diri publik dan dirinya sendiri, diri perseorangan dan diri di depan orang lain”.

Dalam kerangka teori di atas, pemilik senyum-senyum yang menghiasi ruang-ruang publik (public sphere) itu pun memiliki dua diri; sebagai dirinya sendiri dan diri di hadapan orang lain. Sedangkan yang selalu kita lihat adalah diri di hadapan orang lain yang sudah barang tentu akan menunjukkan karakterstik ramah, santun dan peduli terhadap masyarakat. Sedangkan dirinya sendiri – diri yang asli – belum tentu sama seperti apa yang digambarkan.

Pencitraan dalam dunia politik adalah hal yang wajar dan biasa. Namun hal yang tidak boleh dilupakan adalah proses pendidikan politik bagi masyarakat. Pemasangan gambar-gambar tersebut boleh saja dikatakan sebagai bagian dari proses pendidikan politik. Tetapi apakah disana ada upaya untuk mendengar dan menampung harapan masyarakat? Nampaknya masih jauh panggang dari api. Pemasangan gambar baru menjadi proses komunikasi satu arah yang belum memberikan ruang kepada masyaarakat untuk mendapatkan informasi yang lebih dari sekedar jargon politik yang bersanding dengan foto sang calon.

Lebih jauh lagi, proses komunikasi satu arah ini tidak memberikan ruang uji publik yang dapat dijadikan alat ukur sejauh mana kapasitas para calon ini apabila mereka nanti duduk di kursi dewan. Masyarakat tidak bisa menilai lebih mendalam, siapa yang benar-benar pantas menjadi wakilnya yang benar-benar akan menjadi corong suara rakyat penyampai aspirasi. Sehingga – meminjam istilah Yosal Iriantara – wajah-wajah yang mendekat itu belum bisa memberikan jaminan bahwa hati dan jiwa mereka dekat dengan rakyat seperti halnya gambar fotonya.

Rangkaian kontestasi politik akan segera hadir di depan kita. Namun apakah masyarakat masih menaruh harapan dalam menghadapi pemilu ini? Nampaknya ini akan menjadi pekerjaan rumah kita semua. Akankah rakyat menentukan pilihan? Jawabannya patut kita nantikan. Namun apabila melihat proses yang telah dimulai hari ini, kita baru melihat politisi-politisi yang gehgeran dengan menebar pesona melalui gambar-gambar yang dijajakkan. Nampaknya kita semua akan sepakat dan menganggap wajar apabila masyarakat – paling tidak untuk sementara – memilih diam dan melihat serta menanti apa yang akan terjadi.

Apabila masyarakat terus diam, seperti halnya trend beberapa proses peilihan yang tingkat partisipasinya terus menurun, maka tugas berat menanti di depan mata. Harus ada upaya yang lebih keras dan mencari langkah-langkah kreatif untuk menarik massa sehingga rakyat bersedia memberikan suaranya. Termasuk sosialisasi dari para penyelenggara pemilu harus lebih ditingkatkan. KPU bersama perangkatnya sampai tingkat paling bawah, tidak boleh latah hanya sekedar memasang baligo maupun spanduk-spanduk ajakan untuk mensukseskan pemilu. Semua pihak dituntut untuk lebih pro-aktif dan turun secara langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam pemilu nanti akan menjadi pembuktian, apakah gambar-gambar yang dihiasi dengan senyuman itu efektif menarik massa – meskipun tentu banyak variable lain yang menjadi bahan perhitungan – atau hanya sekedar hiasan tanpa makna. Namun yang tidak kalah untuk dinanti pembuktiaannya adalah sejauh mana konsistensi senyum-senyum yang mempesona itu akan bertahan apabila nanti mereka telah menduduki tahta singgasana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun