Mohon tunggu...
Hilna Tunisa
Hilna Tunisa Mohon Tunggu... -

Psychology - Universitas Gunadarma'17

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Cerita Pendek] Bapak

6 Januari 2018   12:46 Diperbarui: 6 Januari 2018   12:51 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Nanti malam tidur sama Bapak, ya." Ucap Bapak dengan sedikit bercanda

"hhhmmm ..." jawabku hanya dengan mendeham

"Enggak usah malu. Dulu juga kamu waktu kecil selalu tidur berdua sama Bapak." Balas Bapak dengan raut wajahnya yang ceria sambil sedikit meledek

"Anak Buruak(jelek)," ucap Bapak sambil tertawa dan mengelus punggung juga bagian kepala sembari mengusap rambutku

Senang dan sedih bercampur menjadi satu. Rasanya aku ingin lebih lama lagi berada di dalam rumah dengan suara bising Bapak. Tapi kali ini tidak. Hanya ada suara tangis dan rintihan. Tepat tanggal 09 Januari 2017 Bapak kembali di bawa ke Rumah Sakit. Kali ini, Bapak yang meng-iyakan ajakan Mama. Hanya dua hari Bapak menginap di Rumah Sakit Ciawi. Tepat tanggal 11 Januari 2017 berita duka datang kepada seluruh keluarga maupun kerabat.

"Na, enggak usah berangkat sekolah. Ke Rumah Sakit sekarang. Ajak Nenek, Azmi, dan kak Ai. Bapak sekarat." Ucap mama melalui telepon dengan suaranya yang sendu.

Aku dikejutkan oleh tangisan suara mama dibalik telepon. Ditambah terdengarnya suara alat pendeteksi jantung, isak tangis dari orang-orang yang sedang berada di ruangan tersebut dan rintihan suara Bapak. Aku merasa hancur saat itu. Tidak percaya dengan kenyataan pahit yang akan terjadi.

"Iya, Ma. Ini langsung berangkat," balasku menahan sesak tangis namun tetap membiarkan air mata jatuh membasahi pipi.

Sesampainya di Rumah Sakit, aku langsung menemui ruangan Bapakku dirawat. Aku langsung menghampiri Bapak yang sedang melawan rasa sakitnya. Lengan kanannya mengadah ke bawah. Aku segera menghampiri dan memeluknya sambil menangis.

"Maafin Bapak, ya, Ina." Ucap Bapak ketika aku berada dipelukannya

Aku tidak berhenti menangis. Aku diam tepat di sebelah Bapak. Berusaha membantunya untuk melafalkan laa ilaha illallah tepat di bagian telinga sambil menangis tak tertahankan. Usaha Dokter sudah sangat baik, namun Allah berkata lain. Tangisan dalam ruangan itu pecah tepat pada pukul sembilan pagi. Bapak pergi meninggalkan kami. Aku rapuh, hancur, dan tidak berdaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun