Mohon tunggu...
Hilna Tunisa
Hilna Tunisa Mohon Tunggu... -

Psychology - Universitas Gunadarma'17

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Cerita Pendek] Bapak

6 Januari 2018   12:46 Diperbarui: 6 Januari 2018   12:51 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kala itu, sinar mentari memaksa masuk ke dalam kamar melalui jendela yang masih tertutup oleh gorden. Pukul enam pagi aku masih saja berbaring di pulau kapuk tercinta. Tidak ingin cepat-cepat beranjak, masih ingin menikmati lantunan musik Sheila On Seven. Aku sesekali membuka ponsel dan sontak tidak percaya melihat tanggal dengan tahun yang sudah berbeda.

"Tidak terasa tahun sudah berganti," ucapku dalam hati

Tapi aku masih saja seperti ini, penuh dengan harapan-harapan yang entah akan berakhir indah atau bahkan menyedihkan sekalipun. Harapanku di tahun 2017 adalah datangnya hal-hal yang baik dengan segala kesan yang indah. Sesederhana itu.

Oh, ya ... namaku Hilna, anak gadis kesayangan Bapak. Anak ketiga dari empat bersaudara. Bagaimana tidak menjadi anak kesayangan? Sebutan orang-orang padaku saja adalah "Dompet," maksudnya sih ke mana-mana selalu ikut sama Bapaknya. Kaya dompet kan tuh? Ikut mulu di kantong celana. Bapak adalah sosok Ayah yang tidak pernah mengeluh di hadapan anak-anaknya. 

Bapak selalu memposisikan diri dengan menjadi sebaik-baiknya seorang Ayah. Sejak aku kecil, apapun yang aku inginkan pasti akan cepat terwujud. Ingin boneka Barbie atau mainan alat masak, misalnya. Kalau soal makanan, tidak pernah terlewat. Selalu nomor satu, dalam keadaan apapun. Bapak senang makan, aku diajak untuk menyukai hal itu. Aku tidak pernah menolak. Siapa coba yang menolak untuk diajak makan? Aku rasa tidak ada. Ya, satu dari tujuh milyar manusia yang tidak menolak untuk diajak makan adalah diriku sendiri.

Bapak sudah tua. Sudah sering sakit-sakitan. Sudah sering keluar-masuk Rumah Sakit. Sudah banyak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuhnya. Tapi, dengan rasa sakit yang bertahun-tahun dialami oleh Bapak, ia tidak pernah sama sekali mengeluh akan penyakit yang semakin lama semakin menggerogoti tubuhnya. Dengan begitu, ia tetap menampilkan dirinya yang periang. Namun, di akhir tahun 2016 tepat di bulan Desember, semuanya berubah. Tidak ada lagi wajah Bapak yang periang, apa yang ia katakan semuanya tentang keluhan.

"Na, Bapak masuk Rumah Sakit," pesan masuk melalui WhatsApp dari Bapak

"Dirawat, Pak? Di Rumah sakit mana?" balasku dengan hati yang cemas

"Di Bogor Medical Center. Nanti pulang sekolah ke sini, ya," balas pesan WhatsApp dari Bapak

Kebetulan, jarak dari sekolahku ke BMC cukup dekat. Hanya dengan berjalan kaki pun bisa. Bapak dirawat inap selama sepuluh hari. Kali ini, rawat inap yang cukup lama dari biasanya. Dan aku, adalah anak yang paling setia menemani. Bahkan, sampai menginap di Rumah sakit. Bukan hanya keinginanku, namun keinginan Bapak juga.

Setelah dirawat sepuluh hari dan sudah dipersilakan pulang oleh Dokter, keadaan Bapak malah semakin memburuk. Tapi Bapak tidak mau dirawat lagi. Ingin di rumah saja, katanya. Mama hanya meng-iyakan perkataan Bapak. Sebulan penuh Bapak selalu merintih kesakitan, menangis, dan juga mengeluh. Bicaranya sudah melantur ke mana-mana. Salah satunya adalah tentang kematian. Saat itu, Bapak hanya ingin ditemani oleh orang-orang terdekatnya. Tidak ingin ditinggal lama oleh Mama. Bahkan ... selalu saja ingin aku berada di dekatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun