Diperkuat lagi dengan narasi-narasi sebagian budaya patriarki jawa yang mengatakan perempuan "suarga nunut, neraka katut" (ke surga ikut, ke neraka pun turut), menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai seorang istri. Tentunya terdapat banyak sekali filosofi Jawa yang tidak bernada seksis, misoginis, dan patriarkis. Sudah saatnya mengikis filosofi Jawa yang bernarasi menyudutkan perempuan hingga perempuan bebas mengekspresikan semua kemampuannya.
Selain itu, perekrutan perempuan sebagai anggota militan dipengaruhi oleh bias gender. Laki-laki dikatakan kuat, tidak boleh menangis, logis, dan lain sebagainya. Sedangkan perempuan dicirikan sebagai manusia lemah dan lebih berperasaan. Maka dari itu, nilai bias gender terhadap perempuan dimanfaatkan teroris untuk direkrut dengan anggapan perempuan lebih berperasaan dan totalitas dalam melaksanakan tugas militansi. Contoh nyata adalah kejadian teror seorang ibu yang mengajak kedua anaknya yang masih kecil di gereja Surabaya pada tahun 2018. Sejak itu, perempuan pun banyak dilibatkan dalam militansi terorisme.Â
Oleh karena itu, penting untuk mengedukasi perempuan agar mengembangkan bakat dan minat, untuk menjadi perempuan mandiri, cerdas, dan bermanfaat bagi sesama tanpa takut adanya pengekangan atau pengaruh-pengaruh budaya patriarki. Diperlukan pula dukungan dan penjagaan orang tua terhadap kegiatan dan media sosial anak. Selain itu, perlu untuk memfilter ceramah agama yang bernada provokasi, seksis, misoginis dan patriarkis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H