Mohon tunggu...
Hilmi Inaya
Hilmi Inaya Mohon Tunggu... Penulis - connect with me: hilmiinaya4@gmail.com

Write what do you want, what do you think, what do you feel, and enjoy it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Etos Kapitalistik Kaum Quraisy Mekah hingga Diturunkannya Wahyu Ilahi

30 September 2020   10:24 Diperbarui: 30 September 2020   10:34 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan suku Quraish sebelum Islam yakni kehidupan nomadik yang penuh dengan resiko. Setiap hari dilalui dengan mempertahankan diri. Akan tetapi, pada abad keenam, mereka telah meraih keberhasilan besar dalam perdagangan dan menjadikan Makkah kawasan pemukiman paling penting di Arab. Namun, gaya hidup mereka telah berubah drastis. Hal ini mengimplikasikan bahwa nilai-nilai kesukuan lama telah bergeser pada kapitalisme. 

Pada masa ini, kaum Quraisy menjadikan uang sebagai agama baru. Sehingga Nabi Muhammad merasa akan ada perpecahan suku jika kaum Quraish meletakkan nilai transenden lain di pusat kehidupan dan menaklukan egoisme, maka suku itu akan terpecah secara moral dan politik.

Pasalnya dahulu masyarakat Arab telah mengembangkan ideologi muruwah yakni sikap untuk saling membantu dan melindungi anggota suku. Muruwah sangat menekankan kepada egalitarianisme dan ketidakpedulian terhadap materi. Kedermawanan merupakan esensi pokok orang Arab untuk tidak mengkhawatirkan hari esok. kepentingan suku harus didahulukan daripada kepentingan pribadi. 

Setiap anggota suku hidup bergantung satu sama lain. Hal ini menyebabkan mereka mempunyai kewajiban untuk memperhatikan orang miskin dan lemah. Muruwah telah berdampak baik bagi masyarakat Arab selama berabad-abad. Namun sejak abad keenam tidak mampu menjawab kondisi modernitas. 

Sehingga, diutusnya Nabi Muhammad akan mempersembahkan kepada orang-orang Arab sebuah spiritualitas yang secara unik sesuai dengan tradisi mereka dan yang membukakan kunci bagi sumber kekuatan yang besar sehingga dalam waktu seratus tahun mereka telah mendirikan imperium sendiri yang luas membentang dari Himalaya hingga Pirenia, dan membangun sebuah peradaban baru.

Orang Arab secara prihatin sadar bahwa Allah belum pernah mengutus kepada mereka seorang nabi atau menurunkan kitab suci bagi mereka, meski tempat suci baginya telah ada di tengah-tengah mereka sejak masa yang sudah tak dapat diingat lagi. 

Pada abad ketujuh, kebanyakan orang Arab percaya bahwa Ka'bah, bangunan sangat tua berbentuk kubus besar yang terletak di jantung Makkah, pada awalnya didirikan demi pengabdian kepada Allah, walaupun pada saat itu tempat tersebut diisi oleh dewa Hubal orang Nabatea. 

Semua penduduk Makkah sangat bangga akan Ka'bah yang merupakan tempat suci paling penting di Arabia. Setiap tahun orang-orang Arab dari segala penjuru semenanjung melaksanakan ziarah ke Makkah, untuk menyelenggarakan ritus-ritus tradisional selama beberapa hari. Semua kekerasan dilarang di sekeliling tempat suci Ka'bah, sehingga mereka dapat berdagang dengan damai satu sama lain di sana, karena mengetahui bahwa permusuhan-permusuhan lama untuk sementara harus ditunda.

Kaum Quraish menyadari bahwa tanpa tempat suci itu mereka tak akan meraih kesuksesan berniaga dan bahwa sebagian besar prestise mereka di kalangan suku-suku bergantung pada penjagaan terhadap Ka'bah dan pada pelestarian kesuciannya yang ada di bawah tanggung jawab mereka. 

Namun, meski Allah jelas-jelas telah mengistimewakan kaum Quraisy untuk tugas ini, Dia tidak pernah mengirim kepada mereka seorang utusan, seperti Ibrahim, Musa, atau Isa, dan orang Arab tak memiliki kitab suci dalam bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu, tersebar luas rasa inferioritas spiritual di antara mereka. 

Orang Yahudi dan Kristen, mitra dagang yang sering berhubungan dengan orang-orang Arab, acap mencela mereka sebagai orang bar bar yang tidak memperoleh wahyu dari Tuhan. Orang Arab merasakan campuran rasa benci dan hormat kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan yang tak mereka punyai ini. Yudaisme dan Kristen tidak mendapat banyak kemajuan di kawasan itu, meskipun orang Arab mengakui bahwa bentuk agama yang progresif ini sebenarnya lebih unggul daripada paganisme tradisional mereka.

Sebagian sarjana Barat telah menyatakan bahwa sekte Hanifiyyah yang kecil ini adalah sebuah fiksi agama yang menyimbolkan kegelisahan spiritual zaman jahiliah, tetapi pasti memiliki dasar pijakan yang faktual: tiga di antara keempat hanif itu cukup dikenal oleh generasi pertama Muslim: Ubaidillah ibn Jahsy, keponakan Muhammad; Waraqah bin Naufal, yang akhirnya beragama Kristen; dan Zaid ibn Amr, paman Umar bin Khattab, salah seorang sahabat dekat Muhammad dan khalifah kedua dalam pemerintahan Islam. 

Terdapat sebuah kisah bahwa pada suatu hari, sebelum meninggalkan Makkah menuju Suriah dan Irak untuk mencari agama Ibrahim, Zaid berdiri di sisi Ka'bah, bersandar ke bangunan suci itu dan berkata kepada orang Quraisy yang sedang melakukan ritus mengelilinginya dalam cara yang sudah dilakukan sejak lama: 

"Wahai Quraisy, demi yang jiwa Zaid berada di tangannya, tak ada seorang pun dari kalian yang mengikuti agama Ibrahim kecuali aku." Kemudian dengan sedih dia menambahkan, "Ya Tuhan, andaikan aku tahu bagaimana engkau ingin disembah,niscaya aku akan menyembahmu dengan cara itu; namun aku tidak tahu.

Kerinduan Zaid terhadap wahyu ilahi akhirnya terpenuhi di melalui Muhammad di Gua Hira pada tahun 610 di malam ketujuh belas bulan Ramadhan, tatkala Muhammad dibangunkan dari tidur dan merasakan dirinya didekap oleh kehadiran ilahiah yang dahsyat. Belakangan dia menceritakan pengalaman luar biasa ini dalam istilah-istilah khas Arab. Dia berkata bahwa satu malaikat menampakkan diri kepadanya dan memberinya sebuah perintah singkat: "Bacalah!" (iqra'!). 

Seperti halnya nabi-nabi Ibrani yang sering merasa berat mengucapkan Firman Tuhan, Nabi Muhammad menolak dan memprotes, "Aku bukan seorang pembaca!" juga bukanlah seorang kahin, seorang peramal ekstatik Arab yang mengaku fasih membaca nubuat-nubuat yang diilhamkan. 

Akan tetapi, Nabi Muhammad berkata bahwa malaikat itu kemudian mendekapnya semakin kuat, sehingga dia merasa seolah-olah napasnya akan meninggalkan tubuhnya. Persis pada saat Nabi Muhammad merasa seakan tak mampu lagi bertahan, malaikat itu melepaskannya dan kembali memerintahkan, "Bacalah!" (iqra'!). 

Muhammad lagi-lagi menolak dan malaikat itu pun mendekapnya lagi hingga dia merasa telah mencapai batas daya tahannya. Akhirnya, di akhir dekapan dahsyat yang ketiga, Nabi Muhammad merasakan kata-kata pertama dari sebuah kitab suci baru mengalir keluar dari mulutnya:

"Bacalah dengan nama Tuhanmu, yang telah menciptakan---menciptakan manusia dari segumpal darah! Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar [manusia] dengan perantaraan kalam---Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya."

Firman Allah telah diucapkan untuk pertama kalinya dalam bahasa Arab, dan kitab suci ini akhirnya akan disebut qur'an "Bacaan." Nabi Muhammad merasa dirinya berada dalam ketakutan dan perubahan, bergidik memikirkan bahwa dia mungkin telah menjadi sekadar seorang kahin tak terhormat yang dimintakan pendapatnya oleh orang-orang ketika mereka kehilangan unta. 

Seorang kahin diduga dikuasai oleh jin, sejenis makhluk halus yang dipercayai menghuni daratan Arab, yang bisa berubah-ubah wujud dan menyesatkan manusia. Para penyair juga percaya bahwa diri mereka dikuasai oleh jin-jin pribadi mereka. Hasan ibn Tsabit, seorang penyair Yatsrib yang kemudian masuk Islam, berkata bahwa ketika dia pertama kali mendapat dorongan untuk menjadi penyair, jinnya menampakkan diri kepadanya, mengempaskannya ke tanah, dan mendorong katakata ilham keluar dari mulutnya.

Hanya inilah bentuk pengilhaman yang dikenal oleh Nabi Muhammad. Bayangan bahwa dia mungkin telah menjadi majnun, dikuasai jin, memenuhi dirinya dengan rasa putus asa seakan-akan keinginannya untuk hidup pupus sudah. 

Dia sangat tidak menyenangi para kahin itu, yang biasanya mengeluarkan nubuat berupa kata-kata kosong yang tak masuk akal, dan dia pun sangat berhati-hati untuk membedakan Al-Quran dari syair-syair Arab konvensional. Kini, sembari bergegas keluar dari gua, Nabi Muhammad merasa seakan ingin mengempaskan dirinya dari puncak bukit. Namun, di sisi bukit dia kembali melihat sesosok makhluk yang, kemudian, diidentifikasinya sebagai Malaikat Jibril.

Terdengar suara dari langit berkata: "Hai Muhammad! Engkau adalah utusan Tuhan dan aku adalah Jibril." 

Nabi Muhammad menengadahkan kepala ke arah langit untuk melihat siapa yang berbicara, dan "kulihat Jibril dalam rupa seorang manusia dengan kaki di kedua sisi ufuk, aku berdiri memandangnya, tak bergerak surut atau maju; kemudian aku memalingkan wajah darinya, namun ke bagian langit mana pun kulayangkan pandangan, dia tetap terlihat." Dalam Islam, Jibril sering diidentifikasikan sebaga Ruh Suci pembawa wahyu, perantara yang melaluinya Tuhan berkomunikasi dengan manusia. Dia bukanlah malaikat naturalistik, namun hadir dimana-mana sehingga mustahil bisa melarikan diri darinya.

Al-Quran diwahyukan kepada Nabi Muhammad secara sepenggal-sepenggal sebaris demi sebaris dan seayat demi seayat dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun. 

Pewahyuan itu terus terjadi dalam pengalaman yang memberatkan. "Tak pernah aku menerima wahyu tanpa perasaan bahwa jiwaku seolah-olah akan tercerabut dari diriku," ujar Nabi Muhammad beberapa tahun kemudian. Dia harus menyimak firman-firman suci itu dengan penuh perhatian, berusaha mendapatkan visi dan arti penting yang tidak selalu sampai kepadanya dalam bentuk verbal yang jelas. 

Kadang-kadang, katanya, kandungan pesan ilahi itu sangat jelas: dia seolah-olah melihat Jibril dan mendengar apa yang diucapkannya. Akan tetapi, pada waktu lain, wahyu itu sangat sulit diartikulasikan: "Kadangkala ia datang kepadaku bagaikan gema sebuah genta, dan itulah yang paling sulit; gema itu menyurut ketika aku telah sadar akan pesan yang disampaikan."

Para penulis biografi pertama pada periode klasik sering memperlihatkan Nabi Muhammad menyimak secara tekun apa yang mungkin mesti kita sebut ungkapan alam bawah sadar dengan autoritas dan integritas yang secara misterius bukan merupakan bagian dari dirinya---persis seperti seorang penyair menjelaskan proses "penyimakan" sebuah puisi yang secara perlahan muncul dari ruang pikiran yang tersembunyi.

 Di dalam Al-Quran, Tuhan memerintahkan Nabi Muhammad untuk mendengarkan makna yang tidak koheren itu dengan saksama dan dengan apa yang disebut oleh Wordsworth sebagai "kepasifan yang bijaksana." Dia tidak boleh tergesa-gesa memaksakan kata atau makna konseptual tertentu pada wahyu itu sebelum maknanya yang sejati terungkap pada saat yang tepat:

"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya."

Visi Nabi Muhammad berevolusi secara perlahan dan menjadi semakin universal dalam cakupannya. Pada awalnya dia tidak melihat lingkup tugas yang harus dipikulnya, karena hal itu diperlihatkan kepadanya sedikit demi sedikit, seiring responsnya terhadap logika batin peristiwa-peristiwa yang terjadi. 

Di dalam Al-Quran, kita bisa menemukan komentar orang-orang sezaman tentang awal kedatangan Islam yang unik dalam sejarah agama. Di dalam kitab suci ini, Tuhan tampaknya menjelaskan tentang perkembangan situasi: dia menjawab para pengkritik Nabi Muhammad, menguraikan makna suatu peperangan atau konflik yang terjadi di dalam masyarakat Islam generasi pertama, dan menunjukkan dimensi ilahiah kehidupan manusia.

Al-Quran tidak turun kepada Nabi Muhammad dalam susunan seperti yang kita jumpai pada masa sekarang, tetapi dalam susunan yang lebih acak, sesuai peristiwa-peristiwa yang datang dan penyimakannya atas makna yang lebih dalam. Setiap kali bagian baru diwahyukan, Nabi Muhammad, yang tidak bisa membaca atau menulis, akan mengucapkannya keras-keras. Kaum Muslim pun menghafalnya sedangkan beberapa sahabat yang bisa baca-tulis menyalinnya.

Sekitar dua puluh tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad, kompilasi resmi pertama atas wahyu ini diselesaikan. Para editor meletakkan surah-surah terpanjang pada bagian awal dan yang tersingkat di bagian akhir. Susunan seperti ini tidaklah seacak kelihatannya, karena Al-Quran bukanlah sebuah narasi atau argumen yang membutuhkan tatanan berurutan. 

Susunan itu merefleksikan berbagai tema: kehadiran Tuhan di dunia, kehidupan para nabi, atau Hari Akhir. Bagi orang yang tidak bisa mengapresiasi keindahan bahasa Arab yang luar biasa, Al-Quran tampak membosankan dan bertele-tele karena sering mengulang-ulang tema yang sama. Namun, Al-Quran tidak dimaksudkan untuk menjadi bahan kajian secara pribadi, melainkan untuk pembacaan liturgis. Ketika kaum Muslim mendengar sebuah surah dibacakan di dalam masjid, mereka diingatkan kembali kepada semua ajaran inti keimanan mereka.

Allah telah mengutus Nabi Muhammad untuk memperingatkan kaum Quraisy tentang situasi berbahaya yang tengah mereka hadapi. Akan tetapi, pesan awal yang disampaikannya bukanlah tentang musibah dan bencana, melainkan tentang harapan yang membahagiakan. Nabi Muhammad tidak harus membuktikan eksistensi Tuhan kepada kaum Quraisy. 

Mereka secara implisit telah beriman kepada Allah, yang menciptakan langit dan bumi, dan kebanyakan dari mereka meyakininya sebagai Tuhan yang disembah oleh orang Yahudi maupun Kristen. Keberadaannya telah diterima begitu saja. Sebagaimana firman Allah kepada Nabi Muhammad pada sebuah surah awal di dalam Al-Quran:

"Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka-. "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah, "maka betapa mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah, "tetapi kebanyakan mereka tidak memahami-(nya)."

Persoalannya adalah, kaum Quraisy tidak memikirkan implikasi kepercayaan mereka itu. Tuhan telah menciptakan mereka dari setetes air mani, seperti dijelaskan oleh wahyu yang pertama diturunkan; mereka bergantung kepada rezeki dan perlindungan dari Tuhan, namun mereka masih menganggap diri sebagai pusat jagat raya berdasarkan praduga yang tidak realistis (yatqa) dan rasa sombong berlebihan (istaghna) tanpa memedulikan tanggung jawab mereka sebagai anggota masyarakat Arab yang terhormat. 

Oleh karena itu, semua ayat pertama Al-Quran menganjurkan kaum Quraisy agar menyadari rahmat Tuhan yang dapat mereka lihat ke mana pun mata mereka memandang. Mereka akan sadar betapa banyak mereka masih berutang kepada Tuhan di tengah kesuksesan besar yang telah mereka capai, dan akan mengapresiasi kebergantungan mutlak mereka kepada Pencipta tatanan alam:

"Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya! Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya, kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur, kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya. 

Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami telah benar-benar mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun danpohon kurma, kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan serta rumputrumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu."

Al-Quran tidak mengajarkan sesuatu yang baru kepada kaum Quraish. Bahkan, kitab itu dengan teguh mengklaim sebagai "pengingat" akan hal-hal yang telah diketahui, yang diungkapkannya dengan lebih jelas. Kadang-kadang Al-Quran membuka suatu topik dengan anak kalimat: "Apakah kalian tidak melihat ...?" atau "Apakah kalian tidak berpikir ...?" 

Firman Tuhan tidak sekadar mengeluarkan perintah-perintah yang arbitrer dari atas, tetapi mengajak orang-orang Quraisy untuk berdialog. Al-Quran, misalnya, memperingatkan mereka bahwa Ka'bah, rumah Allah, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan mereka yang pada hakikatnya merupakan karunia Tuhan.

Kaum Quraish senang menyelenggarakan thawaf mengelilingi tempat suci itu, tetapi ketika mereka meletakkan diri dan keberhasilan material mereka sendiri di pusat kehidupan, mereka lupa akan makna ritus-ritus kuno ini. Mereka harus melihat "tanda-tanda" (ayat) rahmat dan kekuasaan Tuhan di alam semesta. 

Jika mereka gagal mewujudkan kembali rahmat Tuhan dalam masyarakat mereka sendiri, mereka takkan dapat menangkap hakikat dari segala sesuatu. Oleh karena itu, para pengikut Muhammad diperintahkan untuk menunaikan ibadah shalat. Gerakan-gerakan eksternal ini akan membantu seorang Muslim menanamkan sikap batin dan menetapkan kembali arah kehidupan mereka.

Dalam tahun-tahun pertama misi kenabiannya, Nabi Muhammad berhasil menarik banyak pengikut dari generasi yang lebih muda, yang telah dikecewakan oleh etos kapitalistik Makkah, serta dari kelompok-kelompok pinggiran dan tak beruntung, yang mencakup kaum wanita, para budak, dan anggota suku-suku yang lebih lemah. Pada suatu waktu, demikian sumber-sumber awal menyampaikan kepada kita, kelihatan seakan-akan seluruh Makkah bersedia menerima agama Allah yang baru diperkenalkan oleh Nabi Muhammad. 

Orang-orang kaya yang sudah mapan, yang lebih dari sekadar senang dengan keadaan status quo, sudah tentu bersikap tak peduli, namun tak ada perselisihan resmi dengan kaum Quraisy hingga ketika Nabi Muhammad melarang kaum Muslim untuk menyembah dewa-dewa pagan. Selama tiga tahun pertama tampaknya Nabi Muhammad tidak menekankan kandungan monoteistik dari risalahnya, dan orang-orang mungkin membayangkan bahwa mereka dapat terus menyembah dewa Arab tradisional selain Allah, sebagaimana yang biasa mereka lakukan. 

Sumber:

Karen Amstrong, Sejarah Tuhan (Bandung: Mizan Pustaka, 2017)

Ahmad Hanif Fahruddin, Learning Society Arab Pra Islam, Kuttab, V 1, Maret 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun