Mohon tunggu...
Hilmi Inaya
Hilmi Inaya Mohon Tunggu... Penulis - connect with me: hilmiinaya4@gmail.com

Write what do you want, what do you think, what do you feel, and enjoy it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Etos Kapitalistik Kaum Quraisy Mekah hingga Diturunkannya Wahyu Ilahi

30 September 2020   10:24 Diperbarui: 30 September 2020   10:34 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: ganaislamika.com/

Hanya inilah bentuk pengilhaman yang dikenal oleh Nabi Muhammad. Bayangan bahwa dia mungkin telah menjadi majnun, dikuasai jin, memenuhi dirinya dengan rasa putus asa seakan-akan keinginannya untuk hidup pupus sudah. 

Dia sangat tidak menyenangi para kahin itu, yang biasanya mengeluarkan nubuat berupa kata-kata kosong yang tak masuk akal, dan dia pun sangat berhati-hati untuk membedakan Al-Quran dari syair-syair Arab konvensional. Kini, sembari bergegas keluar dari gua, Nabi Muhammad merasa seakan ingin mengempaskan dirinya dari puncak bukit. Namun, di sisi bukit dia kembali melihat sesosok makhluk yang, kemudian, diidentifikasinya sebagai Malaikat Jibril.

Terdengar suara dari langit berkata: "Hai Muhammad! Engkau adalah utusan Tuhan dan aku adalah Jibril." 

Nabi Muhammad menengadahkan kepala ke arah langit untuk melihat siapa yang berbicara, dan "kulihat Jibril dalam rupa seorang manusia dengan kaki di kedua sisi ufuk, aku berdiri memandangnya, tak bergerak surut atau maju; kemudian aku memalingkan wajah darinya, namun ke bagian langit mana pun kulayangkan pandangan, dia tetap terlihat." Dalam Islam, Jibril sering diidentifikasikan sebaga Ruh Suci pembawa wahyu, perantara yang melaluinya Tuhan berkomunikasi dengan manusia. Dia bukanlah malaikat naturalistik, namun hadir dimana-mana sehingga mustahil bisa melarikan diri darinya.

Al-Quran diwahyukan kepada Nabi Muhammad secara sepenggal-sepenggal sebaris demi sebaris dan seayat demi seayat dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun. 

Pewahyuan itu terus terjadi dalam pengalaman yang memberatkan. "Tak pernah aku menerima wahyu tanpa perasaan bahwa jiwaku seolah-olah akan tercerabut dari diriku," ujar Nabi Muhammad beberapa tahun kemudian. Dia harus menyimak firman-firman suci itu dengan penuh perhatian, berusaha mendapatkan visi dan arti penting yang tidak selalu sampai kepadanya dalam bentuk verbal yang jelas. 

Kadang-kadang, katanya, kandungan pesan ilahi itu sangat jelas: dia seolah-olah melihat Jibril dan mendengar apa yang diucapkannya. Akan tetapi, pada waktu lain, wahyu itu sangat sulit diartikulasikan: "Kadangkala ia datang kepadaku bagaikan gema sebuah genta, dan itulah yang paling sulit; gema itu menyurut ketika aku telah sadar akan pesan yang disampaikan."

Para penulis biografi pertama pada periode klasik sering memperlihatkan Nabi Muhammad menyimak secara tekun apa yang mungkin mesti kita sebut ungkapan alam bawah sadar dengan autoritas dan integritas yang secara misterius bukan merupakan bagian dari dirinya---persis seperti seorang penyair menjelaskan proses "penyimakan" sebuah puisi yang secara perlahan muncul dari ruang pikiran yang tersembunyi.

 Di dalam Al-Quran, Tuhan memerintahkan Nabi Muhammad untuk mendengarkan makna yang tidak koheren itu dengan saksama dan dengan apa yang disebut oleh Wordsworth sebagai "kepasifan yang bijaksana." Dia tidak boleh tergesa-gesa memaksakan kata atau makna konseptual tertentu pada wahyu itu sebelum maknanya yang sejati terungkap pada saat yang tepat:

"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya."

Visi Nabi Muhammad berevolusi secara perlahan dan menjadi semakin universal dalam cakupannya. Pada awalnya dia tidak melihat lingkup tugas yang harus dipikulnya, karena hal itu diperlihatkan kepadanya sedikit demi sedikit, seiring responsnya terhadap logika batin peristiwa-peristiwa yang terjadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun