Mohon tunggu...
Hilmy Harits Putra
Hilmy Harits Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Berfikir, Membaca, Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Libur Mahasiswa

28 Oktober 2024   12:09 Diperbarui: 28 Oktober 2024   12:10 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Libur semester ganjil mahasiswa pada tahun 2024 ini sudah di depan mata. Saya teringat pengalaman libur semester ganjil tahun lalu. Bagi saya ada salah satu percakapan yang menarik waktu itu.

Pada akhir Desember 2023 dulu, seorang mahasiswa di sebuah kampus di Jawa Timur telah menyelesaikan semester satunya. Libur semester selama kurang lebih satu setengah bulan sudah didepan mata. Mahasiswa itu pulang ke kampung halaman yang jaraknya tak jauh dari kampusnya, dengan kabupaten yang bersebelahan dengan kabupaten tempat kampusnya berada. Setelah melakukan perjalanan kurang lebih satu jam tiga puluh menit, mahasiswa itu di sambut dengan ramah oleh keluarganya di rumah. Walaupun jarak rumah dengan kampusnya lumayan dekat, tapi ia memilih untuk tidak sering pulang. Bahkan dalam satu semester, ia hanya pulang satu kali. Ntah motif lain apa yang membuatnya seperti itu, tapi ia pernah mendengar petuah gurunya:

"Lek pengen sinaune kasil, ojo gampang muleh yo... mengko ilmune kecer-kecer nek ndalan"

"Kalau ingin belajarnya membuahkan hasil, jangan sering pulang... nanti ilmunya jatuh-jatuh di jalan".

Ia hanya pulang ke rumah saat libur semester saja. Selain pernah mendapatkan petuah dari gurunya, ia memiliki prinsip yang kuat bahwa ketika ia dalam perantauan, apalagi dalam agenda menuntut ilmu, ia rasa kurang srek kalau sering pulang kerumah. Alasanya macam-macam, dia percaya kalau sering bertemu orang rumah atau kampung halaman dia merasa tidak bisa fokus dalam kuliah, toh mungkin dia orang yang ambis, selain alasan di atas mungkin perihal uang bensin juga jadi pertimbangan.

"Lebih baik dibelikan makan daripada untuk beli bensin pulang" katanya.

Ia pernah memiliki keinginan untuk melanjutkan studi yang lebih tinggi setelah S1. Ini sudah ia pikirkan sebelum masuk bangku kuliah. Ia memiliki tekad yang kuat dalam meraih mimpinya. Dalam hatinya yang paling dalam sering berkata.

"Seperti yang ada dalam prinsipku, aku harus bermanfaat bagi orang lain. Aku pernah menemukannya dalam sebuah buku yang berbunyi 'khoirunnas anfauhum linnas'. Ketika aku membacanya aku berangan-angan bahwa semakin banyak ilmu yang aku dapatkan maka insyaallah aku bisa lebih bermanfaat bagi orang di sekitarku."

Baca juga: Mamba

Beberapa hari setelah ia di rumah, ia merasakan suasana yang sangat berbeda ketika dia berada di perantauan. Yang hampir setiap harinya ada jadwal diskusi, tetapi ketika dirumah ia merasa sepi dan hampa. Padahal ia sudah berlatih untuk terus membaca buku walau saat liburan. Tapi kenyataan berkata lain, kalau bahasa kekiniannya sepertinya ia memiliki kepribadian 'ekstrovert'. Jika tidak bertemu keramaian satu haripun, ia akan merasa jenuh. Memang aneh mahasiswa yang satu ini. Mungkin ia merpakan termasuk salah satu manusia yang tidak bisa diam.

Singkat cerita ia memutuskan mencari kerja untuk mengisi libur semester. Sebenarnya tidak mudah untuk mencari alasan bekerja bagi ia.

"Bu... selama aku di rumah, aku izin untuk mengisi waktu liburku dengan bekerja ya...?"

"Buat apa bekerja sekarang, kalau butuh uang tinggal bilang aja sama ibu... kamu tidak usah capek-capek kerja."

"Tapi ... aku ingin menambah pengalamanku, bukan hanya untuk mencari uang, aku juga jenuh di rumah terus. Aku ingin produktif, bukan cuma molat-molet (dalam bahasa Indonesia memiliki arti seperti peregangan tubuh setelah bangun tidur) aja."

"Yaudah... kalau kamu ingin kerja, sini bantu ibu aja di rumah... lumayan ibu punya pengganti" ucap ibu sambil tersenyum geli.

Setelah melewati tawar-menawar yang begitu panjang, akhirnya ia di izinkan untuk mencari kerja, tetapi dengan syarat hanya untuk mengisi liburan.

Setelah sekian lama mencari lowongan kerja, barulah di awal bulan ia menemukan lowongan pekerjaan yang kebetulan bisa mengisi libur semesternya. Bekerjalah ia di suatu rumah makan yang ada di kotanya. Namun yang menjadi bahan renungan adalah, bagaimana sosok mahasiswa ini memiliki semangat untuk menggapai cita-citanya dengan bekerja. Selain menambah pengalaman dan relasi, ia juga mencari sangu tambahan untuk keberlanjutan studinya. Mengingat ia memiliki cita-cita yang tinggi dan semua itu tidaklah murah.

Setelah berjalan sekitar setengah bulan bekerja, ada percakapan yang menarik bersama ayahnya sepulang ia kerja. Dengan kepolosannya mahasiswa itu berkata.

"Untung saja tidak ada yang menanyai profesi orang tuaku di tempat kerja, kalau ada aku akan malu dan bingung mengatakan apa"

Ayahpun menyahut dengan nada agak terkejut

"Loh... kenapa harus malu?"

Sontak mahasiswa itu menjawab

"Ya malu lah... apa yang dikatakan mereka jika tau kalau aku adalah anaknya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di rumah makan!"

"Kamu seharusnya tidak perlu malu nak... kalau ada yang bertanya mengenai pekerjaan orang tua ya jawab jujur saja kalau orang tuamu ASN. Memangnya kalau anak ASN tidak boleh bekerja gitu?" jawab ayah dengan nada agak tegas.

Ia masih tidak terima kalau ada yang bertanya, ia pun menjawab dengan mimik yang agak ngeyel.

"Ya boleh-boleh saja sih pak... tapikan nanti dikira tidak diberi uang saku oleh orang tuanya, atau nanti malah ada dugaan yang tidak-tidak dengan ekonomi keluarga, apalagi kalau nanti ada gosip di belakang rekan kerja tentang anak ASN yang bekerja. Mereka akan menganggap kalau aku kekurangan uang."

Ayah menghela nafas panjang dan mencoba menjelaskan dengan nada yang perlahan kepada anaknya.

"Jadi gini nak... justru kalau kamu anak ASN terus memiliki keinginan untuk bekerja itu malah bagus. Kamu berarti punya semangat dan tekad untuk cari uang sendiri, tidak foya-foya dengan harta orang tua."

Mahasiswa itu sedikit bersikap tenang dan menganggukkan kepala tanda ia mengerti apa maksud ayahnya. Ayahpun mengimbuhi apa yang telah dikatakan tadi.

"Buktikan kepada mereka, bahwa anak ASN itu jangan dipandang istimewa, kamu itu sama dengan anak-anak lainnya, buktikan bahwa kamu adalah anak yang rajin, tidak menggantungkan harta kepada orang tua. Justru kamu anak ASN maka berilah contoh kepada dunia luar, anak ASN saja rajin bekerja apalagi yang bukan, misalnya gitu."

Ia sedikit demi sedikit berusaha mencerna apa kata ayahnya.

"Betul juga ya yah, kita tidak boleh bersikap sombong kepada yang lain, kita harus tetap berusaha, ini bukan hanya soal uang tetapi juga soal tanggung jawab sebagai mahasiswa yang memiliki cita-cita."

Selesai sudah percakapan singkat dari anak dan ayah dengan berbagai hikmah. Yang dapat kita ambil pelajarannya adalah, kita tidak boleh gengsi dalam bekerja ntah kita anak petani, ASN, pedagang, buruh atau yang lainnya. Perilakunya juga mencerminkan mahasiswa yang mandiri, dia tidak mau terlalu membebani orang tuanya dengan uang kuliahnya. Walau belum seberapa nominal penghasilan dari bekerjanya, paling tidak sudah ada usaha untuk mengurangi beban orang tua. Itikad baik mahasiswa itu patut di contoh oleh semua orang. Sekian cerita pendek antara mahasiswa dan ayahnya, semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun