Saya tidak pernah menyangka bahwa pada akhirnya filsafat menjadi studi yang saya tekuni di bangku perkuliahan. Perkenalan dengan filsafat berkat pertemuan dengan seorang teman, saat itu ia baru saja menyelesaikan studi S2 dan sedang mempersiapkan diri untuk bergabung dengan organisasi internasional.
Setelah pertemuan dan obrolan yang cukup intens, dan suatu waktu saya sempat cerita kalau saya dilanda kebingungan jurusan apa lagi yang harus saya coba setelah gagal di tes masuk kuliah sebelumnya, lalu tiba-tiba dia bilang “sepertinya kamu cocok dengan filsafat”.
“Hah filsafat?”, hal yang masih asing ditelinga saya kala itu. Karena sepanjang sekolah tidak pernah sekalipun mendengar ataupun menemukan pembahasan tentang filsafat bahkan di buku-buku perpustakaan sekalipun.
Sebagai permulaan dia merekomendasikan novel bertema filsafat judulnya Dunia Sophie tapi saat itu saya sedang tidak tertarik membaca novel.
Kemudian dia merekomendasikan bahan bacaan lainnya. Singkat cerita, filsafat akhirnya menjadi salah satu jurusan yang dipilih diantara dua pilihan lain, yakni jurusan ekonomi dan keguruan. Nasib saya mungkin di jurusan filsafat, pikir saya pada waktu itu.
Tentu saja ini jauh dari ekspektasi orangtua. Butuh waktu lama sampai akhirnya mereka menerima dan mendukung dengan apa saya inginkan. Itu yang pertama. Yang kedua, memilih jurusan filsafat sama halnya dengan berhadapan langsung dengan stigma masyarakat.
Dipandang dapat menyesatkan, tidak jelas nanti prosfek kerjanya apa dan masih banyak lagi. Kalau butuh detailnya dan lebih praktis coba saja lakukan pencarian di Google. Dan untungnya, di dalam kelas sempat didiskusikan soal pro-kontra filsafat, dimulai dari awal sejarahnya guna membetulkan kesalahpahaman yang sampai sekarang bertahan dalam pandangan masyarakat awam.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan perihal mencari pekerjaan, bukan hanya lulusan jurusan sepi peminat termasuk salah satunya filsafat yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, bahkan nyaris jurusan favorit dan berbagai jenjang pendidikan mengalami hal tersebut.
Sama seperti halnya saya dan alumni lainnya akhirnya berkarier di berbagai bidang sesuai dorongan dalam diri masing-masing, atau berdasarkan mengambil kesempatan yang ada. Ada yang berbisnis, mengabdi sebagai pengajar, menjadi pegawai kantoran dan lain sebagainya.
Untuk materi apa saja yang dipelajari di kelas filsafat itu ada banyak sekali, ditambah lagi saya waktu itu mengambil filsafat di kampus UIN, jadi bobot materinya lebih banyak yang berhubungan dengan ke-akidahan-an atau filsafat Islam, yang mana materi-materi itu tidak diajarkan di kelas filsafat dari universitas umum.
Mata kuliahnya ada filsafat yunani klasik sampai zaman modern, studi gender atau wacana perempuan, tasawuf falsafi, hermeneutika, filsafat agama, culture studies, filsafat nilai, logika, metafisika, aliran-aliran kalam, filsafat nilai, filsafat Islam klasik sampai kontemporer dan masih banyak lagi.
Karena itulah, kelas filsafat merupakan sebuah ruang yang terbuka terhadap berbagai pertanyaan atau diskusi berbagai hal, dari yang mudah, paling dasar hingga yang paling rumit, dari yang masuk akal, hingga ‘nyeleneh’ pun ada. Maka tidak mengherankan, timbul pandangan macam-macam dari pelajar non-filsafat atau masyarakat awam, ya asalnya darisitu. Semua pertanyaan dalam diskusi di kelas filsafat semuanya diterima, dan didiskusikan bersama.
Suasana menjadi terasa ‘hidup’. Dan setiap pertanyaan atau jawaban yang ada tidak bersifat final artinya akan terus berkembang atau berubah-ubah mengikuti proses setiap individunya masing-masing. Yang menjadi catatan besar disini adalah bagaimana mengolah ide-ide dalam pikiran supaya setiap pertanyaan yang diajukan itu benar dan jelas yang artinya sesuai dengan kerangka atau metode berpikir logika, jawaban yang didapatkan tepat dan tentunya sikap tidak menghina atau menjatuhkan orang lain.
Dulu memang sempat terpikir, karena filsafat tergolong studi ilmu humaniora, saya bisa belajar mandiri, baca-baca. Tanpa harus menempuh pendidikan formal.
Kemudian saya sadar, tanpa itu, diluar, saya tentu akan sulit bertemu teman dan mendiskusikan topik yang sama dengan serius, runtut dan mendalam. Kemungkinan salah memahami sesuatu (sesat pikir) pun besar. Juga, mempunyai seorang guru untuk membimbing dalam studi keilmuan itu penting sekali.
Akhir kata, filsafat merupakan ilmu teoritis atau abstrak memang betul tidak berdampak langsung terhadap hal materi tapi filsafat merupakan suatu pendidikan kritis yang mampu menjadikan pelajarnya terbiasa dan percaya diri mengungkapkan pemikiran dan perasaan secara tepat dan benar, terbuka terhadap berbagai pandangan, berbagai latar belakang, sudut pandang yang luas, bersikap benar bukan hanya menurut agama atau tradisi yang ada tapi juga akal yang dimiliki, terhindar dari sikap fanatik atau fundamentalis, dan tentu saja berpikiran kritis yang salah satunya berguna di era membludaknya berbagai macam informasi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H