Aku dan Fahri sudah kenal lama. Sejak duduk di bangku SMP, kita resmi berpacaran. Hingga saat ini, memasuki masa perkuliahan, aku masih berstatus pacarnya. Walaupun hubungan kita sudah berjalan dengan usia, ia tidak pernah sama sekali berubah. Sikap romantisnya tidak pernah luntur. Selalu ada cara unik yang ia lakukan demi membuatku tersenyum bahagia bak sang ratu.
Beberapa kali, ia membelikanku buket bunga. Bahkan tanpa alasan yang jelas pun, tetap ia berikan. Katanya sih kejutan buat kamu, dan aku tidak pernah curiga dengan tingkahnya itu. Bagiku wajar saja, dan itu cukup lucu untukku. Sampai pada suatu ketika, aku dibuat kaget bukan kepalang olehnya. Ia kepergok makan berdua dengan cewek lain, mereka berdua berbicara sangat serius. Ternyata cewek itu sahabat dekatku, Dinda. Rasa emosiku tak terbendung, aku menghampiri meja mereka berdua dengan amarah yang memuncak.
"Heh! Kamu ngapain?!" teriakku di depan muka Fahri. Ia panik seketika, tak bisa berkata-kata.
Aku pandang Dinda dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dinda mengalihkan mukanya, merasa malu dan tak berani menatapku.Â
"Kamu ngapain berduaan sama Dinda? Kamu selingkuh hah?! Jahat kamu ya!!" ucapku sambil mendorong tubuh Fahri.Â
"Kamu juga Dinda, aku kira kita baik-baik aja, ternyata kamu sama aja!" ucapku sambil mendorong tubuh Dinda.
"Sayang tunggu dulu aku bisa jelasin," pinta Fahri sambil memegang tanganku.
"Ngga ada yang perlu dijelasin lagi. Kita putus!" ucapku sambil berlalu pergi.
Fahri terus menahanku pergi. Ia mengejar di belakangku. Namun aku berhasil keluar, jalanku semakin tergesa-gesa. Aku tak peduli orang lain lihat keributan kita berdua. Pikiranku mulai kacau. Aku memilih memberhentikan taksi lalu pergi dari tempat itu. Beruntung, Fahri gagal menyusulku. Raut wajahnya yang kecewa sangat terlihat.
Disepanjang perjalanan pulang, aku menjadi manusia paling tersakiti. Semua rasa sakit, pedih, perih, luka, dendam, emosi, amarah, bercampur menjadi satu. Air mataku tak bisa terbendung lagi. Mengalir deras tak ada halangan apapun. Aku menikmati rasa itu sendirian. Aku rasakan bagaimana sakitnya. Tak keluar satu katapun dari mulutku ini.
Semua memori indah tentang aku dan Fahri terbayang-bayang. Mulai dari kita SMP hingga saat ini, segala rintangan naik turunnya kita lalui bersama. Segala tangis dan tawa kita rasakan bersama. Bisa bisanya ia melakukan hal itu di depan mataku secara langsung. Bisa bisanya aku tidak curiga dengan sikapmu yang terus menerus memberiku buket bunga secara tiba-tiba. Ternyata itu bukan kejutan manis, tapi permintaan maaf atas perbuatanmu sendiri yang kau sembunyikan dariku.