PUTUS (Part 1)
Berbicara mengenai masa putih abu tentu tidak melulu soal belajar belajar dan belajar, belajar buat UAS lah belajar buat UN lah juga jangan lupa satu...belajar mencintai dan memiliki. Begitu juga dengan Dafa, laki-laki berumur 20 tahun, remaja yang barus lulus dari salah satu SMA di Majalengka kota angin.
Oleh teman-teman sepermainannya dia lebih sering dipanggil “Gejrot”, tidak ada alasan filosofis mengapa dia dipanggil begitu, hanya karena ia sangat menyukai tahu gejrot, jajanan yang tidak absen dia beli ketika istirahat siang sebelum shalat dzuhur, lima ribu perak dengan cabe dua biji dan satu lagi “ekstra bawang". Dafa ini wajahnya susah dideskripsikan, berkacamata, cupu, dia cuma punya ciri khusus berupa luka baret di bawah telinga kirinya, sisa-sisa jatuh dari pohon jambu air 15 tahun silam. Kelakuannya itu mencla-mencle, aneh, random (lebih mirip kelakuan kucing kampung musim kawin), konyol (dominan bodoh), namun setia kawan dan setia sama pacarnya. Begitulah ketika teman-temannya disuruh menggambarkan sosok Dafa.
Kini pada bulan September 2015, di masa awal kuliahnya di Jatinangor hobinya masih sama, main ke warnet, dengan paket 2 jam seharga lima ribu perak ditambah minuman ale-ale gelas seharga 1000 perak, dia bisa menemukan kebahagiannya dengan bermain Ragnarok sampai adzan maghrib berkumandang.
Di jalan pulang dari warnet menuju rumah (dulu) dan menuju kosan (sekarang) sembari mengendarai Suzuki Spacy 2009 berwarna hijau, dia sering mencari jati diri dengan selalu mendengarkan lagu Sheila On 7, dia suka semua lagu Sheila, namun diantara sekian banyak lagu yang dinyanyikan Mas Duta, lagu berjudul “Betapa” entah kenapa kini jadi lagu favoritnya sekaligus lagu yang paling dibencinya.
“Betapa hancurnyaaaa aaa aaa aaa aaa, hati dan jiwakuuuu”.
Lirik-lirik lagu tersebut kini begitu terpatri di ingatannya, memunculkan memori-memori indah di kepalanya, sembari bibirnya bergerak melafalkan lirik lagu yang sudah berkali-kali dia putar, tanpa sadar matanya berkaca, air matanya meluncur perlahan melewati pipinya yang sedikit berminyak, satu…dua…tiga, dia menghitung berapa kali dia mengusap ujung matanya yang basah, dan kalian tahu yang paling parah apa?
Hatinya sakit.
Ingatannya kembali ke bulan lalu, di Stasiun Kereta Api Prujakan, Cirebon.
(Dafa, Maret 2015)
Bebek, aku menyebutnya begitu, seorang perempuan yang baik hati, pintar, juga klik dengan sifat juga kelakuanku yang kata orang rada aneh. Perawakannya rata-rata, tidak terlalu tinggi, putih khas perempuan sunda, dan ketika dia tersenyum, bumi Sindang Kasih lahir. Kami satu sekolah, dan kelas kami hanya dipisahkan lapangan basket, jadi ketika istirahat siang sebelum dzuhur, aku biasa menghabiskan tahu gejrot yang kubeli bersama Bebek di pinggiran kelas, dia biasanya sengaja membeli dua botol teh pucuk harum untukku yang kepedasan karena bumbu tahu gejrot.