Indonesia pada tahun 2020 berada di posisi 85 dari 180 negara untuk urusan Korupsi, sebuah prestasi yang tergolong buruk bagi pemerintah Indonesia.
Hasil ini didapat setelah Transparency International memberikan Indeks Persepsi Korupsi di angka 40, naik 2 poin dari periode sebelumnya, kenaikan yang menggambarkan sedikit perbaikan, kenaikan ini memberikan sedikit harapan, setidaknya anggapan masyarakat Indonesia tentang penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh pejabat publik dan politik berkurang.
Namun ketika saya pulang kampung di awal tahun 2020, nampaknya kenaikan 2 poin Indeks Persepsi Korupsi tidak berdampak signifikan kepada citra institusi tempat saya bekerja. Â
Eh lu kerja di bea cukai kan? Ada hp bm ga?
Eh lu kerja di bea cukai kan? Traktirannya dong, banyak nih duitnya
Eh itu ada yang korupsi kasus kain noh di kantor X, gimana sih bea cukai ini?
Kalimat-kalimat diatas masih sering sekali ditanyakan ketika saya bertemu orang di kampung halaman, dimulai dari teman-teman sebaya, keluarga, hingga para tetangga.
Ketika pertanyaan pertanyaan seperti itu bermunculan, tentu saya menjawab dengan lantang bahwa di Bea Cukai, praktik-praktik mencuri seperti itu dan praktik KKN sudah tidak ada lagi, selaras dengan slogan Bea Cukai yaitu "makin baik" sekaligus sejalan dengan tujuan Reformasi Birokrasi. Tetapi reaksi mereka malah tertawa tipis, menyiratkan bahwa mereka tidak percaya bahwa Bea Cukai sudah semakin baik. Di penghujung kalimat tadi saya pun mengakui bahwa ada sedikit keraguan, apakah reformasi birokrasi dan upaya pemberantasan korupsi dapat diterima serta berjalan baik atau hanya jadi mimpi-mimpi di atap negeri.
Stigma bahwa pegawai bea cukai yang masih sering "mencuri" dan penghambat alur birokrasi masih lekat dan bertahan lama di masyarakat. Memang pada kenyataannya masih ada beberapa pegawai hingga pejabat bea dan cukai yang tersandung kasus korupsi, tetapi jumlahnya sangat sedikit, dan saya sendiri mengambil sudut pandang bahwa mereka adalah oknum, segelintir orang yang masih bersebrangan dengan visi misi bea dan cukai, serta segelintir orang yang pikirannya masih terperangkap di masa sebelum reformasi institusi ini.
Padahal upaya Reformasi di Kementerian Keuangan secara umum dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sudah dilakukan secara masif dari tahun 2007 yang dilaksanakan melalui 3 pilar utama yaitu:
- Pilar Organisasi, antara lain melalui penajaman tugas dan fungsi, pengelompokan tugas-tugas yang koheren, eliminasi tugas yang tumpang tindih dan modernisasi kantor;
- Pilar Proses Bisnis, antara lain melalui penetapan dan penyempurnaan SOP yang memberikan keelasan dan memuat janji layanan, dilakukannya analisa dan evaluasi jabatan serta pengembangan berbagai sistem aplikasi e-goverment;
- Pilar SDM, antara lain melaui peningkatan disiplin, pembangunan assesment center, diklat berbasis kompetensi, pelaksanaan merit system, penataan sumber daya manusia, dan penerapan reward and punishment secara konsisten
Selain itu pada tahun 2016 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan sebuah gebrakan dengan Program Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai (PRKC) yang berfokus kepada pembangunan karakter dan sikap pegawan DJBC. Program PRKC mengusung 4 tema besar yaitu: a. penguatan integritas, budaya organisasi dan kelembagaan,