Dapat diapahami juga pada buku ini bahwa perkawinan sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga yang selanjutnya kumpulan keluarga inilah yang akan membentuk warga masyarakat yang pada akhirnya menjadi sebuah negara.
Pada bagian ke tiga membahas tentang rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan dari perspektif fikih ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pemabaca dalam memahami rukun dan syarat perkawinan, disini penulis menguraikan rukun perkawinan disamakan dengaan uraian syarat-syarat dari rukun rukun tersebut.
Pada buku ini juga memperhatikan tentang mahar sebagai syarat sah perkawinan. Alasannya karena buku-buku lain tentang hukum perkawinan Islam banyak yang membahas bahkan menempatkanya pada pembahasan tersendiri. Mahar disini berhubungan dengan rukun dan syarat perkawinan dan para ulama telah menetapkan mahar itu hukumnya wajib berdasarkan Al-Quran Sunnah dan Ijma. kendatipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula menganggap remeh sebuah mahar.
Berbeda dengan perspektif fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya Undang-Undang Perkawinan hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Yang tercantum dalam Bab II pas 6 dan 7.Â
Ternyata Undang-Undang Perkawinan melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut persetujuan kedua calon dan batasan umur serta tidak adanya halangan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. Jika dilihat dari kompilasi hukum Islam memiliki perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu KHI ketika membahas rukun perkawinan tampaknya mengikuti sitematika fikih yang mengaitakan rukun  dan syarat. Namun Kompilasi hukum Islam juga mengikuti undang-undang perkawinan yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.
Kemudian pembahasan keempat, berisi tentang pendahuluan perkawinan meliputi peminangan, syarat, dan akibat hukumnya. Dalam perspektif Islam, peminangan atau dalam istilah fikih disebut dengan khitbah itu lebih mengacu untuk melihat kepribadian calon mempelai wanita seperti ketakwaan, keluhuran budi pekerti, kelembutan dan ketulusannya. Kendati demikian, bukan berarti masalah fisik tidak penting. Bisa dikatakan peminangan adalah Langkah awal untuk menuju sebuah perjodohan anatara laki-laki dan perempuan.
Dalam undang-udang perkawinan peminangan ini tidak ada, alasanya mungkin karena peminagan tidak dapat disebut sebagai peristiwa hukum. Jadi, tidak ada implikasi hukum dari sebuah peminangan. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam tampaknya mengapresiasi dengan cukup luas peminangan ini. Contohnya seperti yang tercantum dalam Pasal 1 bab 1 huruf a, yang berisi definisi dari peminangan itu sendiri. Jika dianalisa Kompilasi Hukum Islam mengatur  peminangan ini seperti yang terlihat di dalam Pasal 12-13. Bedanya dengan fikih, aturan-aturan di dalam Kompilasi Hukum Islam terlihat lebih sederhana.
Selanjutnnya pada pembahasan mengenai pencegahan dan pembatalan perkawinan, tepatnya pada pembahasan ke lima buku ini. Jika ditinjau dari fikih Islam tidak dijelaskan adanya pencegahan dalam perkawinan. Namun masalah pencegahan dan pembatalan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang tujuannya untuk menghindarkan terjadinya perkawinan yang terlarang karena melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama.
Pencegahan perkawinan dan pembatalan dalam buku ini dijelakan melalui dua sudut pandang, yaitu memalui undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam dengan mencantumkan setiap pasal yang didalamnya mengandung tentang pencegahan dan pembatalan perkawinan dan kemudian memadukan semua pasal berikut dengan penjelasnya. Dengan cara seperti ini pembaca dapat informasi yang cukup lengkap dari perspektif 2 hukum yang berbeda.
Pada buku ini juga menambahkan materi tentang akibat pemabatalan perkawinan. Karena penulis buku ini cukup kritis dalam memperhatikan masalah yang ada saat ini, hal ini bisa terlihat dari timbulnya petanyaan tentang bagaimana status anak, ektika terjadi pembatalan perkawinan. Karena anak disini posisinya sebagai korban yang tidak tahu menahu tentang permasalahan yang terjadi yang juga dapat mempengaruhi masa depan dari anak itu sendiri, sehingga menurut saya, hal-hal kecil seperti ini harus diulas seperti yang dicantumkan pada buku ini.
Menurut Analisa buku ini, mengenai pencegahan dan pembatalan perkawinan. Sebenarnnya aturan-aturan yang berkenaan dengan rukun dan syarat dan berfungsi sebagai lembaga perkawinan sudah dapat dijadikan acuan sahnya sebuah perkawinan. Dan jika senadainya masalah administrative tidak lengkap, yang dilakukan adalah penundaan dan bukan pencegahan. Dalam buku ini dijelaskan lagi dengan contoh kasus-kasus nyata yang menunjukan adanya pembatalan perkawinan, agar pembaca lebih paham dengan materi yang sedang diulas.