Mohon tunggu...
Hilmi Tsaqif Muzakki
Hilmi Tsaqif Muzakki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum - Traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi Pencatatan Perkawinan di Indonesia

22 Februari 2023   21:32 Diperbarui: 22 Februari 2023   21:37 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

URGENSI PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA

Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta 

 

SEJARAH  PENCATATAN  PERKAWINAN

Sejarah percatatan perkawinan di Indonesia akan berkaitan dengan sejarah pembentukan undang-- undang perkwinan , karena pencatatan perkawinan ini adalah bagian dariundang -- undang perkawinan . sejarah ini akan menghasilkan undang -- undang perkawinan. No.1 tahun 1974  tentang perkawinan. Sejarah hukum perkawinan dibagi menjadi dua jenis, yang pertama sebelum terciptanya dan berlakunya UU No. 1 tahun 1974tentang perkawinan, dan yang kedua adalah setelah terbentuknya dan berlakunya UU No. 1 tahun 1974tentang perkawinan. Karena, perkawinan yang sah bukan hanya sah menurut ketentuan agama, tetapi juga harus sesuai dengan hukum negara. Perkawinan yang sah menurut hukum negara, wajib dilaporkan dan tercatat pada instansi yang berwenang.

Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang berbunyi "tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" merupakan norma yang mengandung legalitas sebagai suatu bentuk formal perkawinan. Pencatatan perkawinan dalam bentuk akta perkawinan (akta otentik) menjadi penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk setiap perkawinan. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai peristiwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat formil, sehingga hal ini berimplikasi terhadap hak-hak keperdataan yang timbul dari akibat perkawinan termasuk anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

MENGAPA PENCATATAN PERKAWINAN DIPERLUKAN?

Perkawinan yang sah bukan hanya dinilai darisah menurut ketentuan agama atau kepercayaannya, tetapi perkawinan yang sah juga harus sesuai dengan hukum negara .menurut hukum negara sendiri, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaporkan kepada pejabat, pencatatan sipil untuk diterbitkan kutipan akta nikah dan tercatat pada instansi yang berwenang. Di mata negara , perkawinan orang musliim yang belum dicatat oleh kantor urusan agama atau KUAdianggap tidak sah , atau bagi orang non muslim yang belum mencatatkan perkawinan ke kantor catatan sipil dinilai jugatidak sah. Pencatatan perkawinan diperlukan untuk melindungi hak warga negara untuk berkeluarga dan untuk mendapatkan jaminandari hukum positif, perlindungan hak -- hak tertentuserta kekuatan hukum bagi suami, istri dan anak.

Terwujudnya pencatatan perkawinan dibuktikan dengan akta perkawinan yang salinannya dimiliki oleh suami istri. Akta nikah merupakan bukti pernikahan dan juga memiliki manfaat jaminan hukum. Buku nikah yang diperoleh merupakan bukti otentik sahnya perkawinan, baik secara agama maupun kebangsaan. Dengan adanya buku nikah, suami istri dapat membuktikan keturunan yang sah dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris. Pencatatan perkawinan sangat diperlukan, apabila perkawinan itu tidak disahkan maka perkawinan itu tidak sah menurut hukum yang berlaku di suatu negara.

MAKNA FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, RELIGIUS DAN YURIDIS PENCATATAN PERKAWINAN 

Dalam konteks filosofis, pencatatan perkawinan melambangkan ikatan sosial, keadilan dan kesetaraan, tanggung jawab, kelangsungan hidup manusia dan spiritual. Oleh karena itu pencatatan perkawinan harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan untuk menjalani kehidupan bersama pasangannya. Dalam arti sosiologis, masyarakat harus menjadi saksi atau mengetahui bahwa pasangan tersebut menikah dan terdaftar di negara agar tidak menimbulkan fitnah.

Pernikahan dalam tinjauan sosiologis. Pada umumnya nikah di bawah tangan di Indonesia dipicu oleh empat faktor, yaitu: Pertama, berbenturan dengan aturan hukum positif. Pernikahan di bawah tangan dilakukan untuk menghindari birokrasi yang berbelit-belit dan mungkin sulit untuk dilakukan. Problem tersebut dapat dilihat dalam empat kondisi, yaitu: sah karena terpenuhinya aturan per undang-undangan yang berlaku.

1). Pernikahan campuran yakni pernikahan antara dua orang yang berbeda warganegaranya. Hal ini memerlukan persyaratan administrasi yang cukup rumit, karena melibatkan hukum kedua negara, khususnya pengurusan kewarganegaraan yang bersangkutan.

2). Tidak memiliki status resmi sebagai warganegara (tidak memiliki KTP). Kasus ini terjadi bagi para urban kelompok marginal yang hidup di kota-kota besar.

3). Terkait aturan, seperti PNS wanita tidak boleh menjadi istri kedua, ketiga dan keempat (PP 10/1983 junto PP 45/ 1990).

4). Terkait peraturan sekolah, misalnya masih tercatat sebagai pelajar sekolah menengah.

Selain itu dalam segi yuridis sendiri, perkawinan yang tidak dicatatkan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karena masyarakat atau pasangan yang ingin menikah tidak mengetahui dan tidak mempunyai kesadaran akan hukum negara tentang perkawinan. Mereka juga tidak mengetahui akan pentingnya dokumen -- dokumen perkawinan atau juga bisa dikarenakan mereka tidak mampu membayar biaya pencatatan perkawinan dan  lain-lain.

Pencatatan perkawinan pada dasarnya syari'at islam tidak mewajibkan terhadap setiap akad pernikahan, namun apabila dilihat dari segi manfaatnya pencatatan sangat diperlukan. Jika dibuka kembali kitab -- kitab fiqh klasik, maka tidak akan ditemuka adaya kewajiban pasangan suami istri untuk mencatatkan perkawinannya pada pejabat negara. Dalam tradisi umat islam terdahulu, perkawinan dianggap sah apabila sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Hal ini berbeda dengan perkara muamalah yang dengan tegas Al qur'an memerintahkan untuk mencatatkan.

Pencatatan perkawinan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang autentik agar seseorang mendapat kepastian hukum, karena apabila dilihat dari segi manfaatnya maka hal ini sejalan dengan prinsip pencatatan yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 282. Pada firman Allah SWT. yang disebutkan diatas memerintahkan untuk mencatatkan secara tertulis pada setiap bentuk urusan mu'amalah, seperti jual beli, hutang piutang dan sebagainya. Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa alat bukti tertulis statusnya lebih adil dan menguatkan persaksian serta menghindarkan dari keraguan. Dari rujukan dasar hukum tersebut maka apabila dilihat dari illatnya yaitu memiliki persamaan yang kuat antara akad nikah dan akad mu'amalah mengenai adanya mudharat apabila tidak adanya pencatatan sebagai alat bukti yang yang menunjukan keabsahan akda tersebut Sehingga qiyas akad nikah dan akad mu'amalah dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian hukum dari akibat yang ditimbulkan.

Perkawinan yang tidak dicatatkan sesuai hukum negara berdampak pada anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Bahwa anak tersebut menjadi tidak tercatatkan secara hukum dan hal ini berarti melanggar hak asasi anak. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatatkan ini berstatus anak di luar perkawinan dan hanya mempunyai hubungan perdatadengan ibu dan keluarga ibu.sedangkan hubungan perdata dengan ayah nya tidak ada. Yang berarti bahwa si anak tidak mendapatkan hak dan tidak dapat menuntut hak -- hak nya dari sang ayah.

Maka dari itu dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan menjadi wajib hukumnya, sebagaimana yang telah diwajibkan dalam perkara akad mu'amalah. Pentingnya sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang berkaitan dengan individu yang lain atau dalam hal mu'amalah, Islam pada ayat Al - Baqarah di atas tersebut memerintahkan kepada para pemeluknya untuk mencatatkan setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari kelupaan tentang sesuatu dengan jalan mencatatkan.Kehidupan modern yang sangat kompleks seperti saat ini menuntut untuk adanya ketertiban dalam berbagai hal, antara lain dalam masalah pencatatan perkawinan. Apabila hal ini tidak mendapat perhatian, kemungkinan besar akan timbul kekacauan dalam kehidupan masyarakat  mengingat jumlah manusia ssudah sangat banyak dan permasalahhan hidup pun semakin kompleks. Mengetahui hubungan perkawinan seseorang dengan pasangannya mungkin akan sulit bila perkawinan itu tidak tercatat. Terutama bila terjadi sengketa mengenai sah tidaknya anak yang dilahirkan, hak dan kewajiban keduanya sebagai suami istri. Bahkan dengan tidak tercatatnya hubungan suami istri itu, sangat mungkin salah satu pihak berpaling dari tanggung - jawabnya dan menyangkal hubungannya sebagai suami istri.

Kelompok 4 HKI 4A

Agis Alifia Azzahra (212121018), Malika Alea Casta (212121019), Tanwirul Janan (212121001) Dona Febri (19212147) Hilmi Tsaqif Muzakki (212121141)

Agisaazahra17@gmail.com  hilmitm5@gmail.com  donafebri@gmail.com malikaalea03@gmail.com tanwirulj@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun