Mohon tunggu...
hilman lemri
hilman lemri Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Membaca menghapus kesedihan, menulis membuka kebahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU HIP, Jangan Ditunda!

18 Juni 2020   11:28 Diperbarui: 18 Juni 2020   11:23 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana kita sudah tahu bahwa Pancasila adalah sebagai dasar negara, ideologi, pandangan hidup, kepribadian, sumber dari segala sumber, falsafah hidup dan segala hal positif untuk bangsa Indonesia. Hal itu terangkum dalam lima sila sebagaimana yang ada dalam preambul Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea keempat. Lima sila itu di antaranya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keberadaan Pancasila, meski ini pernah ditentang oleh Sujiwo Tedjo, karena menurutnya Pancasila sudah tidak ada. Mungkin maksudnya adalah secara esensi, dalam keseharian, Pancasila sudah tidak digunakan dan dihayati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski demikian, secara hukum Pancasila memiliki kedudukan yang sangat luhur, karena ada dalam naungan UUD 1945. 

Namun, bagaimana jadinya jika Pancasila yang selama ini menjadi pegangan hidup bangsa yang luhur itu dimasukkan ke dalam Undang-Undang (UU) yang mana jika dalam sistem negara Indonesia kedudukannya berada di bawah UUD? Tanpa harus berpikir panjang, berarti dengan demikian Pancasila turun derajat. Alamak. Maka, satu hal inilah mengapa Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ditentang oleh banyak kalangan.

Bukan hanya itu saja, dikutip dari Tirto.id (16/6/2020), Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti memberi contoh soal ciri pokok Pancasila yang tercantum dalam pasal 7. Di sana tercantum: "(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan; dan (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong."

Kekhawatiran Mu'ti beralasan, karena menurutnya, memasukkan trisila dan ekasila maupun Ketuhanan yang Berkebudayaan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945 sama dengan mereduksi Pancasila. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pelarangan setiap kegiatan maupun pahamnya secara tidak langsung membiaskan makna UUD 1945.

Maka dari itu, sebagai rakyat, saya berharap Menkopolhukam Mahfud MD bisa mengupayakan agar RUU HIP ini tidak hanya ditunda pembahasannya. Lebih baik dibatalkan, dihapuskan. Jika ditunda ada kemungkinan pembahasannya dilanjutkan kembali. Selain itu, semoga saja apa yang dikatakan oleh Presiden Joko Widodo, dikutip dari Wartaekonomi.co.id, (13/4/2019), saat dirinya masih berkampanye sebagai calon presiden, benar adanya, bahwa dasar negara Indonesia yakni Pancasila, NKRI, dan UUD 1945 sudah final dan harga mati. Sebuah dasar negara yang menurutnya tidak bisa diganggu gugat.(*)  

Hilman Lemri, lulusan Kebijakan Publik UNPAD.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun