Penggunaan perangkat digital sebagai instrumen politik untuk membidik generasi z, memang cukup efektif, namun di sisi lain menghadirkan kegalauan publik
Pasalnya sentimen negatif yang dilancarkan melalui perangkat digital oleh simpatisan dan kader partai maupun buzzer politik, dipastikan turut menyeret generasi z pada pusaran propaganda dalam bentuk misinformasi dan disinformasi dengan varian fake news dan Hoaks,
Hoaks dan dinamika sosial politik
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi ikut berdampak pada dinamika politik digital. Sebab, semua partai politik memiliki kecenderungan yang sama soal pendekatan komunikasi politik, serta strategi sosialisasi program kerja untuk menarik simpati publik melalui media digital.Â
Karena pertarungan menarik simpati pemilih, terkadang berimplikasi pada propaganda politik saling menjatuhkan antara simpatisan dan kader partai maupun buzzer politik. Kondisi inilah melahirkan misinformasi dan disinformasi dengan farian hoaks dan fake news.
Berdasarkan data yang dirilis Kompas.com, kamis (17/2/2022) pada pemilu 2014 kecenderungan sebaran informasi hoaks lebih pada mengubah persepsi masyarakat terhadap kandidat tertentu, serta menyerang kandidat dan fokus saling menjatuhkan kandidat.Â
Tren disinformasi seperti ini pun berlanjut pada pemilu 2019, namun terjadi pergesaran yakni bukan lagi menyerang kandidat tertentu, melainkan sasarannya pada penyelenggara pemilu.Â
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati bahwa publik terjebak dengan disinformasi tersebut dan menjadi kurang percaya, bahkan hilang kepercayaannya terhadap penyelenggara pemilu.
Menurut penulis, sebaran informasi hoaks semacam ini bakal lebih masif terjadi pada pemilu mendatang.Â
Kandidat calon presiden yang diorbitkan partai politik saat ini, sudah menampakkan kecenderungan melahirkan sentimen sosial politik. Dan kondisi ini nantinya yang menjadi korban adalah genrasi z, mengapa generasi z ikut terjebak?Â
Karena gen-z lebih dominan menggunakan media sosial dan rentan "tertelan" oleh hoaks atau berita bohong.Â
Penegasan ini diperkuat dengan data yang dirilis Databoks.katadata.co.id 1 februari 2021, bahwa Gen-z paling banyak sebar berita di media sosial tanpa verifikasi. Hal ini diakibatkan karena gen-z minim literasi digital, dan tidak memahami dinamika politik.