Terlepas dari tiga nama di atas, sebelumnya nama-nama seperti Prabowo Subianto, Wiranto, Surya Paloh merupakan figur potensial di partai Golkar yang resmi hengkang dan mendirikan partai baru, begitupun juga dengan Hary Tanoesoedibjo, yang awalnya saling bahu membahu bersama Surya Paloh di partai NasDem dan nyatakan sikap untuk keluar dan mendirikan partai Perindo.Â
Hengkangnya mereka dari partai lama ternyata memberi jalan yang baik pada partai bentukan mereka. Prabowo Subianto sukses menggeber partai Gerindra, Surya Paloh menuai sukses lantaran NasDem ikut bersaing dengan partai lama termasuk Golkar, sedangkan partai besutan Hary Tanosoedibjo pun medapat hasil yang baik, walaupun pada 2019 lalu partainya belum berhasil menembus ambang batas parlemen, lantaran hanya meraih 2,67 persen suara.Â
Namun, secara statistik berhasil unggul dari partai lama seperti Hanura dan partai Bulan Bintang (PBB). Sementara Wiranto dengan Hanura-nya, yang sempat bertengger pada posisi ideal, yakni urutan ke-9 dari total 22 partai peserta pemilu 2009 silam, namun belakangan terjadi faksionalisasi dan rivalitas figur internal partai, sehingga langkah partai Haruna perlahan-lahan menuai hambatan dan pada pemilu 2019 terjun bebas dan hanya meraup 1,54 persen suara.Â
Nah, refleksi atas pencapaian keempat tokoh dengan partainya itu, setidaknya menjadi gambaran bagi Amien Rais maupun Anis Matta dan Fachri Hamzah pada pemilu 2024 mendatang.Â
Tentu kehadiran Amien Rais memberi ancaman bagi partai PAN, sebab kemampuan Amien Rais dengan pengalaman adaptasi dan tradisi transformasi yang dilakukan pada partai PAN, setidaknya diformulasikan kembali untuk menangguk suara pemilih, demi mempertegas eksistensi partai Ummat pada kanca perpolitikan nasional.Â
Terlebih Amien Rais sangat lihai merespon dan membaca dinamika politik nasional. Sehingga, tantangan politik yang pernah dihadapi kala ia berada di partai PAN, menjadi bancakan dalam meraup suara simpatisannya di PAN untuk memperkuat partai Ummat pada pemilu 2024, sebab target yang diusungnya adalah ingin menembus posisi lima besar.Â
Begitupun juga dengan dua tokoh eks partai PKS, Anis Matta dan Fachri Hamzah, sangat menggebu-gebu membawa partai Gelora Indonesia bersaing dengan PKS maupun sejumlah partai besar lainnya. Terlebih kemampuan memformulasikan arah politik partai Gelora Indonesia yang tidak jauh berbeda dengan PKS, memberi harapan besar kesuksesan mereka meraup suara simpatisan mereka di PKS.Â
Sebab, keduanya cukup baik menjaga reputasinya di tengah dinamika politik nasional. Sehingga, kiprah mereka dinilai sebagai roh progsesifitas partai Gelora Indonesia, yang nantinya menjadi ancaman bagi partai besar, terlebih PKS.Â
Di samping itu, partai Gelora Indonesia dapat dikatakan mencuri perhatian publik, jika memberi sinyal yang tepat pada kandidat calon presiden dengan harapan mendapat efek ekor jas (coattail effect) untuk partai Gelora Indonesia.Â
Salah satu tantangan besar bagi partai baru menatap pemilu 2024 mendatang adalah menghadapi dinamika politik digital. Sehingga, road map politik digital harus dikonstruksi sejak dini. Sebab, semua partai memiliki kecenderungan yang sama soal pendekatan komunikasi politik, serta strategi sosialisasi program kerja untuk menarik simpati pemilih pemula, tentu dengan pendekatan yang sama.Â
Maka, membangun basis pemilih di era digital merupakan problem serius yang dihadapi. Untuk itu, baik Amien Rais dengan partai Ummat-nya, begitu juga Anis Matta dan Fachri Hamzah di partai Gelora Indonesia, jika tidak ingin kalah bersaing dengan partai lama, terlebih PAN dan PKS, tentu dibutuhkan road map politik digital yang baik pula, agar dapat bergerak secara intensif menarik hati pemilih pemula maupun menikung simpatisan pada partai lama mereka.Â