Mohon tunggu...
Hilman Idrus
Hilman Idrus Mohon Tunggu... Administrasi - Fotografer

√ Penikmat Kopi √ Suka Travelling √ 📷

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Menulis bagi Generasi Muda dan Tenaga Pendidik

1 September 2022   08:09 Diperbarui: 1 September 2022   08:10 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis, Sguttersctock/Have a nice day foto/Kompas.com 

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah, Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Quotes mendiang Pramoedya Ananta Toer di atas, memang sangat populer di dunia pendidikan; kata-kata yang memiliki makna cukup dalam ini, selain membangkitkan semangat, juga memberi harapan besar bagi orang yang berkarya dalam bidang kepenulisan. 

Harapan itu terwujud dari hasil yang didapat, semisalnya materi dan tentunya ilmu yang dituliskan akan terus mengalir hingga batas waktu yang tak ditentukan. Untuk itu, Pramoedya mengingatkan agar kita harus menulis. Terlebih tenaga pendidik, jika namanya terus dikenang sepanjang masa. Maka, tidak ada pilihan lain, selain terus menulis dan menulis.

Karena pentingnya dunia menulis, Taufik Adi Susilo menceritakan di dalam bukunya, Spirit Jepang, 30 Inspirasi & Kunci Sukses Orang-Orang Jepang, bahwa semangat menulis di negeri matahari terbit itu, memang jauh di atas negara-negara  lainnya di benua Asia, termasuk kita di Indoenesia. 

Bayangkan, dalam setahun, Jepang memproduksi buku berkisar 60.000 sampai 70.000 judul buku, karena jumlah produksi buku mengalami peningkatan secara signifikan, maka berpengaruh juga dengan toko buku di Jepang. Sehingga, jumlah toko buku mereka pun bertambah dan menyamai Amerika.

Di sisi lain, jumlah produksi buku yang begitu banyak, bukan hanya ditulis oleh akademisi di Perguruan Tinggi, melainkan setiap tahun pasti ada karya-karya dari Ibu Rumah Tangga (IRT). Mereka menulis buku seperti: Tips Pindah Rumah Yang Efesien, Teknik Menanak Yang Enak dan sebagainya, yang bersentuhan dengan aktivitas mereka. 

Produktivitas menulis para Ibu Rumah Tangga di Jepang, boleh dikatakan jauh lebih baik dari Ibu Rumah Tangga di berbagai negara berkembang lainnya. Terlebih kita di Indonesia, yang lebih memilih menghabiskan waktu di Gedget ketimbang membaca dan menulis.

Soal menulis, mari kita flashback pada masa silam, dimana begitu banyak para filosof Islam yang namanya tetap harum dalam beragam ilmu pengetahuan, lantaran mereka melahirkan karya dalam bentuk kitab atau buku fenomenal, yang hingga kini tersebar di berbagai lembaga pendidikan; baik umum maupun lembaga pendidikan Islam. Mengapa di era keemasan Islam, para filosof lebih memusatkan perhatian pada dunia kepenulisan? Karena, mereka sangat menghargai dan menjujung tinggi ilmu pengetahuan.

Sebab, di dalam Islam, kata-kata yang sangat terkenal membangkitkan semangat menulis yaitu Ikatlah Ilmu Dengan Menulisnya. Selain itu, salah satu pesan yang disampaikan Rasulullah Saw kepada Abdullah bin Amru yakni "Tulislah, Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidaklah keluar darinya melainkan kebenaran (HR. Ahmad 2/164 & 192 Al-Hakim 1/105-106, Sahih). Karena menulis sangat penting, sehingga di era kejayaan Islam, begitu banyak karya tulis yang dihasilkan para ilmuan Islam. Bahkan, karya mereka pun menjadi inspirasi bagi kaum Barat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Semangat berkarya para ilmuan terdahulu sebenarnya menjadi spirit bagi kita yang hidup di era modern. Sebab, dahulu dengan segala keterbatasan, namun mereka tetap melahirkan karya-karya fenomenal. 

Sementara kita yang hidup dengan penuh kemudahan, namun rasa malas lebih dominan daripada semangat berkarya. Kita, saat ini, terlebih tenaga pendidik, banyak yang memiliki alasan: sibuk dengan rutinitas di rumah, sibuk dengan jabatan, sehingga tidak ada waktu untuk menulis. 

Jika ada tenaga pendidik terlebih dosen yang beralasan seperti itu, maka tentunya mereka tidak pernah membaca pesan yang disampaikan Idris Thaha (editor) buku Islam Substantif karya Azyumardi Azra.

Katanya, Azyumardi Azra merupakan satu-satunya akademisi di Indonesia pada eranya, yang dikenal sangat produktif menulis. Bahkan, saking cintanya pada dunia menulis, ia membagikan waktu di kampus dan di rumah, agar ia dapat memaksimalkan untuk menulis. 

Sehingga, berkat produktivitasnya, membuat ia diganjar Mizan Award sebagai penulis paling produktif pada 2002 silam (Baca: Tirto.id, Minggu, 10/06/2018). Prestasi yang ditorehkan mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 1998-2006 itu, setidaknya menjadi gambaran dan spirit kita, khususnya generasi muda, kaum intelektual di Perguruan Tinggi.

Ada catatan menarik juga dalam dunia kepenulisan yang disampaikan guru besar (gubes) Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya Prof.Dr.Rel.Pol Heri Kuswanto, M.Si, ia membagi kisah meraih guru besar pada Jawa Post/Malut Post, Senin (5/4/2021) yakni pada usia 38 tahun ia berhasil mencapai status profesor termuda di ITS, pencapaian tersebut tidak terlepas dari kepandaian ia mengatur waktu untuk menulis jurnal penelitian. 

Sehingga,step-by-step langkah mencapai guru besar pun sangat mudah. Sehingga, katanya konsisten dan prinsipn menjalani yang terbaik ternyata membuahkan bonus, yakni menjadi guru besar atau profesor termuda di ITS.

Untuk itu, menurut saya, seorang tenaga pendidik, khususnya dosen, sangat mudah untuk mencapai gelar guru besar, jika konsisten membagi waktu untuk menulis. Menulis di sini memang luas. 

Tapi, pada hakikatnya, sesuai profesi, maka dituntut harus intens menulis jurnal penelitian atau riset. Dan tentunya, selain menulis terkait bidang keilmuan pada jurnal penelitian, tenaga pendidik, dituntut juga harus menulis esay di Koran, Majalah, maupun media online, karena hal ini sebagai langkah yang tepat dalam mengedukasi masyarakat.

Karena pentingnya dunia menulis saat ini, maka khusus kalangan mahasiswa, sudah terjadi pergeseran yang cukup jauh pada dinamika dunia aktivis, ketika 20 tahun silam, mahasiswa yang pintar berorasi pasti mendapat apresiasi positif. 

Namun kini, hal itu tidaklah begitu istimewa. Sebab, hanya pintar berorasi, tapi lemah di dunia menulis, maka mahasiswa belum bisa dikatakan seorang aktivis yang memiliki jiwa komplit. Komplit di sini dalam arti pintar berorasi dan juga intens menulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun