Jika ada tenaga pendidik terlebih dosen yang beralasan seperti itu, maka tentunya mereka tidak pernah membaca pesan yang disampaikan Idris Thaha (editor) buku Islam Substantif karya Azyumardi Azra.
Katanya, Azyumardi Azra merupakan satu-satunya akademisi di Indonesia pada eranya, yang dikenal sangat produktif menulis. Bahkan, saking cintanya pada dunia menulis, ia membagikan waktu di kampus dan di rumah, agar ia dapat memaksimalkan untuk menulis.
Sehingga, berkat produktivitasnya, membuat ia diganjar Mizan Award sebagai penulis paling produktif pada 2002 silam (Baca: Tirto.id, Minggu, 10/06/2018). Prestasi yang ditorehkan mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 1998-2006 itu, setidaknya menjadi gambaran dan spirit kita, khususnya generasi muda, kaum intelektual di Perguruan Tinggi.
Ada catatan menarik juga dalam dunia kepenulisan yang disampaikan guru besar (gubes) Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya Prof.Dr.Rel.Pol Heri Kuswanto, M.Si, ia membagi kisah meraih guru besar pada Jawa Post/Malut Post, Senin (5/4/2021) yakni pada usia 38 tahun ia berhasil mencapai status profesor termuda di ITS, pencapaian tersebut tidak terlepas dari kepandaian ia mengatur waktu untuk menulis jurnal penelitian.
Sehingga,step-by-step langkah mencapai guru besar pun sangat mudah. Sehingga, katanya konsisten dan prinsipn menjalani yang terbaik ternyata membuahkan bonus, yakni menjadi guru besar atau profesor termuda di ITS.
Untuk itu, menurut saya, seorang tenaga pendidik, khususnya dosen, sangat mudah untuk mencapai gelar guru besar, jika konsisten membagi waktu untuk menulis. Menulis di sini memang luas.
Tapi, pada hakikatnya, sesuai profesi, maka dituntut harus intens menulis jurnal penelitian atau riset. Dan tentunya, selain menulis terkait bidang keilmuan pada jurnal penelitian, tenaga pendidik, dituntut juga harus menulis esay di Koran, Majalah, maupun media online, karena hal ini sebagai langkah yang tepat dalam mengedukasi masyarakat.
Karena pentingnya dunia menulis saat ini, maka khusus kalangan mahasiswa, sudah terjadi pergeseran yang cukup jauh pada dinamika dunia aktivis, ketika 20 tahun silam, mahasiswa yang pintar berorasi pasti mendapat apresiasi positif.
Namun kini, hal itu tidaklah begitu istimewa. Sebab, hanya pintar berorasi, tapi lemah di dunia menulis, maka mahasiswa belum bisa dikatakan seorang aktivis yang memiliki jiwa komplit. Komplit di sini dalam arti pintar berorasi dan juga intens menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H