Kala itu belum ada angkutan umum, sehingga setelah tiba di pelabuhan Bane Gau, kami harus berjalan kaki belasan kilometer menuju Akeara puncak.Â
Sehingga, kini, jika ada teman-teman dari Akeara Pantai yang kadang berkunjung ke Akeara Puncak, kadang kami berseloroh "anak pantai ingin melihat kendaraan roda dua dan empat."Â
Karena menghabiskan masa kecil di Desa Akeara, maka tak jarang saya pun sering bolak balik Sidangoli-Ternate-Tidore, mengikuti orangtua. Sehingga, cerita tentang sebelum dan sesudah konflik horizontal 1999-2000 silam, sangat jelas tertancap kuat di benak.Â
Tepat pukul 15.43 wit, kapal Ferry bernama KMP Gurango tujuan Sidangoli mulai merapat di Pelabuhan Bastiong Ternate. Namun, kami kembali mendapat informasi dari petugas di pelabuhan, Ferri akan bertolak menuju pelabuhan Sidangoli sekitar pukul 16 lebih.Â
Dan ternyata benar, setelah kami dipersilahkan naik ke kapal Ferry dan menunggu di dalam, tak lama kemudian, tepat pukul 16.42 kapal Ferry KMP Gurango perlahan-lahan mulai bergerak keluar dari jembatan penyeberangan.Â
Jika sebelumnya, bepergian ke desa Akeara karena mengurusi keperluan keluarga dan menengok kebun dan juga terlibat bersama orangtua memanen cengkih dan pala.Â
Maka perjalanan kali ini sangat berbeda, yakni saya ke desa Akeara dan desa Sukadamai untuk keperluan penelitian menyelesaikan penulisan karya ilmiah -- tesis pada program pascasarjana IAIN Ternate. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H