Menjalani hidup berdampingan tanpa konflik merupakan dambaan semua orang. Tentu hal ini dalam Islam telah dilakukan Rasulullah Saw dan wajib kita contohi, Seperti di Madinah, Islam mengatur kehidupan berdampingan dengan non-Muslim dengan damai tanpa permusuhan, sebagaimana tercantum dalam piagam Madinah.
Hidup berdampingan, saling menghormati dan melindungi antar sesama pemeluk agama yang diajarkan Rasulullah di Madinah, pun kami jalani di Desa Akeara Kecamatan Jailolo Selatan, Provinsi Maluku Utara pada 1990-an.
Walaupun, di tahun 1999 terjadi konflik horizontal yang sempat mengancam toleransi keberagaman kami ketika itu. Namun, pasca konflik semangat toleransi dan kerukunan kembali mendapat perhatian bersama dan tetap berjalan seperti dahulu.
Memang ketika itu, semua orang menduga konflik yang terjadi disinyalir faktor pemicunya adalah persoalan agama. Namun, setelah terjadi rekonsiliasi pasca konflik, ada titik terang bahwa bukan agama-lah yang menjadi pemicu konflik, melainkan konflik distribusi kekuasaan yang dibungkus dengan sentimen agama.
(Mengenai wacana seputar tragedi Maluku Utara, mulai dari latar belakang hingga solusi yang ditawarkan, lihat Tamrin Amal Tomagola, "Tragedi Maluku Utara, "dalam konflik sosial; Demokrasi dan Rekonsiliasi menurut perspektif agama-agama,) ed. Mursyid Ali (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan agama Depag RI, 2000), 13-26.
Selain itu menurut Amien Abdullah, bahwa konflik agama jarang ditemukan di Indonesia, karena model keislaman di bangsa ini tidak eksplosif, tetapi lebih historis dan dimensi kulturalnya matang. (Baca : Amien Abdullah, Islam Indonesia lebih Pluralistik,h.70)
Memang benar dimensi kultural yang mengakar begitu kuat, menjadi salah satu kekuatan utama dalam menjalani kehidupan. Seperti di Desa Akeara kecamatan Jailolo Selatan -- sebelum terjadi konflik, Hal ini saya menyaksikan kala itu dalam konteks saling menghormati aktivitas beribadah pun tetap berlangsung dengan baik.
Begitu pun seperti semangat gotong royong membangun tempat ibadah; baik Masjid maupun Gereja masyarakat saling bahu membahu menuntaskan. Semangat ini mengacu pada motto daerah Maluku Utara, Marimoi Ngone Futuru yang berarti Bersatu Kita Kuat atau Bersatu Kita teguh.
Nah, semangat inilah yang kemudian terjalin begitu kuat, hingga menjadi spirit bagi masyarakat di desa dalam menjalani kehidupan hingga saat ini. Karena semangat inilah, walaupun berbeda keyakinan, rasa persaudaraan tetap terjalin antara kami.
Hingga pada perayaan hari besar keagamaan, kami sering berbagi seperti idul fitri maupun idul adha, kami diberi ayam maupun sayur-sayuran, begitu pun sebaliknya pada perayaan natal oleh para tetangga.
Ini merupakan contoh nyata, bahwa menjunjung tinggi toleransi beragama, mendatangkan manfaat yang sangat besar ketimbang membangun sentimen sosial yang berdampak pada merenggangnya silahturahmi antara agama.
Memang potensi konflik yang paling berbahaya adalah agama, sehingga kepentingan-kepentingan tertentu yang terkadang dibalut persoalan agama, seharusnya menjadi musuh bersama yang patut kita lawan, agar toleransi keberagaman yang terjalin berpuluh-puluh tahun tetap terjaga dengan baik.
Saya termasuk orang yang paling menentang pada kelompok, atau organisasi keagamaan -- mengusung semangat beragama yang terkadang berlebihan. Berlebihan di sini dalam arti memunculkan sentimen antar agama, olehnya itu dalam wacana keagamaan di media sosial yang menjurus pada hal-hal yang memicu konflik beragama, terkadang dengan frontal saya memprotes.
Sebab, apa yang saya lakukan dengan mengacu pada pengalaman konflik horizontal yang terjadi pada 1999 silam di Maluku Utara, yang sebetulnya jika dianalisa hanya mendatangkan kerugian bagi masyarakat -- dampaknya sangat nyata, dan mempengaruhi segala sektor kehidupan.
Seperti pada hajatan politik 2018 lalu, di Bacan Kabupaten Halmahera Selatan, kebetulan saat itu istri saya adalah calon anggota legsilatif, dalam melakukan kampanye, hal paling utama yang dilakukan adalah membangun kesadaran politik, untuk menghindari sentimen antar warga, baik muslim maupun non-muslim.
Hal ini dilakukan oleh istri saya, lantaran sebagian besar keluarnya beragama non muslim. Sehingga, rasa kekeluargaan tetap terjaga dengan baik, walaupun berbeda pilihan politik. Karena, terkadang momen politik jika tidak dikelola dengan baik, dapat memutus tali silahturahmi antar keluarga, terlebih berbeda agama.
Sehingga, upaya menjalin keakraban pasca momen politik merupakan suatu keharusan dan mendapat perhatian penuh. Olehnya itu, dalam momentum pemilihan kepala daerah di tahun 2020 walaupun berbeda pilihan politik, kita tetap membangun kesadaran warga, agar tidak terjadi konflik kepentingan yang menjurus pada hal-hal yang dapat memecah belah persaudaraan, dan mengganggu toleransi beragama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H