Tepat lima tahun lalu, saat tukang jahit dan para pedagang yang menempati gedung Gamalama Ternate dibuat cemas lantaran bakal direlokasi ke pasar percontohan di dekat terminal, tepatnya di belakang Toko bahan bangunan Makmur Utama dan Depo Mart, karena bangunan tua yang mereka tempati akan dibongkar, sebab masuk dalam program revitalisasi pasar tradisional _ Pemerintah Kota Ternate dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat terhadap kondisi pasar yang bersih, teratur dan nyaman.
Informasi pembongkaran Gedung yang pernah menjadi Icon Kota Ternate di tahun 1980-an itu, saya dapat dari salah satu media cetak, bahwa Pemkot Ternate bakal merevitalisasi pasar Gamalama untuk menjadikan pusat perdagangan elektronik di Maluku Utara. Nah, setelah membaca berita Feeling sebagai Fotografer mulai muncul, dan saya berkeinginan untuk mendokumentasikan semua aktivitas warga di gedung Gamalama.
Selang beberapa hari kemudian, tepatnya Selasa (15/4/2014) saya mulai menyiapkan kamera lalu mendatangi pasar Gamalama, di lantai satu yang ditempati pedagang pakaian, sayuran, sembako hingga penjual batu Bacan dan makanan. Aktivitas mereka semuanya saya dokumentasikan, dengan harapan bahwa nantinya pasar tertua ini dibongkar, maka semua gambar yang saya buat menjadi cerita dihari esok.
Seusai memotret pedagang di lantai satu, fokus selanjutnya ialah mendokumentasikan aktivitas para tukang jahit yang berada di lantai dua gedung Gamalama, seperti biasa untuk memulai sesi pemotretan pasti menemui kendala, sebab tidak semua orang familiar dengan kamera, alasan mereka cukup sederhana tak mau foto mereka muncul di koran.
Alasan klasik seperti ini kerap kita temui jika hendak memotret orang, terlebih mereka sedang beraktivitas entah di tempat yang terlihat sunyi maupun di keramaian. Untuk itu berbagai trik harus digunakan demi memperoleh gambar, salah satunya ialah pendekatan personal kepada orang yang kita potret.
Keinginan Pemerintah kota Ternate saat itu untuk merevitalisasi gedung Gamalama memang cukup beralasan, sebab gedung yang dibangun pada 1974 itu mulai terlihat seperti pemukiman kumuh, terlebih di lantai dua sangat kotor dan terkesan tak terurus.
Sehingga dipandang tidak layak untuk ditempati oleh para pedagang maupun tukang jahit, selain karena program revitalisasi kebersihan dan kenyamanan menjadi faktor penting dibalik alasan pemkot memindahkan mereka menempati bangunan baru di areal Terminal Gamalama.
Sebelum memotret para tukang jahit di lantai dua, saya mencoba mengamati dari dekat aktivitas mereka di tiap-tiap ruangan sambil ngobrol dan pura-pura sebagai Mahasiswa Teknik Sipil, juga selaku Fotografer yang melakukan penelitian soal penataan pemukiman warga di depan Masjid Al-Munawwar. Untuk itu, alasan bahwa sejumlah gambar harus saya dapatkan sebagai lampiran dari laporan penelitian _
Trik ini cukup berhasil, pasalnya mereka (tukang jahit) mulai nyaman saat lensa kamera tertuju pada mereka, padahal sebelumnya mereka menolak dengan berbagai macam alasan.Para tukang jahit yang menempati lantai dua gedung Gamalama bukan hanya penjahit asal Ternate, sebab ada dari Makean, Jailolo, Manado, Gorontalo, Ambon, Makassar dan Jawa Barat. Namun, dari sejumlah tukang jahit di gedung Gamalama, ada salah satu penjahit yang terbilang cukup lama bekerja namanya Haji Hud (65) awalnya beliau hanya menemani Bapaknya, yang merupakan penjahit generasi pertama di Gedung Gamalama yang memulai bekerja pada 1975, setelah gedung Gamalama diresmikan oleh Bupati Jakob Mansur.
Saat Bapaknya meninggal dunia sekitar tahun 1980-an, ia memilih melanjutkan pekerjaan bapaknya hingga pada 2014, dan disebut penjahit tertua di Gamalama. Sebab sejumlah penjahit yang saya temui, sebagian besar mereka memutuskan bekerja sebagai tukang jahit di gedung Gamalama yakni pada pasca konflik horizontal.