Dari 3 hal di atas, kita bisa mengambil 3 kesimpulan. Pertama, bagi pengelola marketplace loyalitas konsumen kepada merchant itu tidak penting. Kedua, daya tawar buyer terhadap seller terus ditingkatkan lewat informasi yang sangat simetris. Ketiga, menghadap-hadapkan seller dengan cost leadership terhadap seller lain.
Konsumen untung, tentu saja. Tapi bagi sebuah negara yang tak hanya jadi ingin bangsa konsumen, hal ini berbahaya. Terutama ketika negara kita belum memiliki sistem dan infrastruktur yang komplet untuk mendukung cost leadership para pelaku usaha, terlebih lagi UKM.
COST LEADERSHIP DAN PRODUK HOMOGEN
Pada FB live webinar 2 minggu lalu saya membahas tentang strategi Porter. Dalam strategi itu disebutkan keunggulan usaha datang dari 3 hal: biaya, diferensiasi, dan pasar ceruk. Cost leadership adalah keunggulan pertama. Cost leadership adalah keunggulan yang lahir karena kita memiliki efisiensi tinggi pada keseluruhan operasi usaha dari hulu sampai hilir. Dari pengadaan, produksi, hingga distribusi. Hasilnya adalah harga yang rendah. Produsen memang mendapatkan laba yang kecil, tapi volume penjualannya besar.
Cost leadership sangat efektif digunakan pada produk-produk yang homogen atau bersubstitusi sempurna, dan didistribusikan pada sebuah pasar yang informasinya simetris di mana konsumen memiliki bargaining power yang tinggi.
Anda jual popok bayi merk A harga Rp 20.000 di sebuah marketplace. Seller B juga menjual popok merk A harga Rp 15.000 di tempat yang sama. Anda jelas kalah. Seller B bisa menjual lebih rendah kemungkinan karena ia distributor, agen, atau grosir yang mendapatkan harga lebih rendah dari pemasok. Sementara anda sebagai retail, tak bisa menyaingi harga itu. Popok merk A anda dan seller B jelas bersubtitusi sempurna. Bahkan mungkin dengan popok merk B atau C yang perbedaannya tidak terlalu penting.
Homogenitas atau keseragaman ini tak hanya terjadi pada produk bermerk. Karena konsumen yang mementingkan harga melihat homogenitas itu juga pada fungsi. Selama fungsinya sama dan bisa memecahkan masalah yang sama, maka barang itu dianggap homogen. Fitur-fitur pada barang yang tidak signifikan pada fungsinya untuk memecahkan sebuah masalah atau memenuhi sebuah kebutuhan, cenderung tidak dipertimbangkan.
Lihatlah kategori aksesoris HP atau komputer di marketplace. Banyak sekali barang tidak bermerek dengan harga murah yang mencatatkan penjualan tinggi.
Para produk custom atau musiman, produsen mesti memiliki keunggulan dalam supply chain dan produksi. Misal untuk membuat aksesoris HP, mereka harus punya akses ke pemasok bijih plastik/fiber, mesin pencetak, aluminium, hingga bahan baku kemasan. China jelas punya keunggulan ini semua di mana bahan baku hanya didistribusikan antar provinsi, kota, atau distrik, harga tenaga kerja yang murah, hingga keringanan ekspor. Sehingga mereka bisa memiliki cost leadership dibanding seller di luar China. Pelaku UKM kita tak punya cost leadership seperti ini.
Masalah lainnya adalah: ketika pelaku UKM masuk ke marketplace, mereka kehilangan nilai diferensiasi yang ada pada usaha offline.
Misal anda punya toko asesoris HP di sebuah kecamatan. Tidak ada toko HP lain dalam radius 3 km. Berarti keunggulan anda (berdasarkan strategi Porter) lahir karena diferensiasi letak, bukan cost leadership. Diferensiasi letak anda ini akan segera lenyap ketika masuk ke marketplace.
DIKOPI SECARA INSTANT
Pada strategi Porter, keunggulan ketiga adalah fokus pada pasar ceruk. Tapi marketplace kita juga tempat yang buruk untuk bermain di pasar ceruk/niche. Informasi yang sangat simetris membuat kesuksesan anda (yang terlihat dari jumlah penjualan) bisa dengan cepat dibajak pihak lain. Bukan hanya produk yang serupa, tapi juga sampai mengkopi barang tersebut dan menjualnya dengan harga lebih murah.