Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Arkademi Menguji Celah Ilmu Pengetahuan

19 Oktober 2017   15:14 Diperbarui: 19 Oktober 2017   15:40 1978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Celah ilmu pengetahuan yang hendak diuji Arkademi. (dok Arkademi)

Salah satu missing link dan celah terbesar dalam ilmu pengetahuan adalah bagaimana sebuah ilmu pengetahuan digunakan untuk memecahkan masalah nyata di dunia nyata untuk manusia nyata. Di zaman inflasi informasi seperti sekarang, manusia mengetahui begitu banyak hal. Bahkan tahu yang tak perlu diketahui sekalipun. Namun, sesuatu yang kita tahu itu tidak ada manfaatnya bila tak digunakan untuk memecahkan masalah nyata, minimal untuk diri sendiri.

Setiap agen ilmu pengetahuan seperti guru, dosen, mentor, atau instruktur, pasti berharap peserta didik dapat mempraktekkan ilmunya di dunia nyata. Tapi ada celah besar antara 'Tahu'dan 'Bisa'-- yang ditunjukkan lewat praktek/implementasi. Kemampuan kita pada 'Bisa' lebih banyak karena tacit knowledge: pengetahuan yang didapatkan berdasarkan pengalaman. Kita menyebutnya keterampilan. Di sisi lain, keterampilan ditentukan berdasarkan pengalaman, sehingga mustahil kita bisa dapatkan tanpa praktek lebih dulu. Keterampilan itu selalu terpaut dengan kemampuan seseorang memecahkan masalah yang dihadapinya. Sementara, pengalaman dan masalah tiap orang berbeda.

Bila keterampilan itu diukur lewat kemampuan seseorang memecahkan masalah, bagaimana cara memindahkan sebagian 'Terampil' ini ke dalam celah antara 'Tahu' dan 'Bisa'?

Karena bila seseorang sudah 'Terampil' terlebih dulu (dalam tingkat tertentu), ia akan lebih mudah dan cepat tiba di area 'Bisa' dan menjadi makin terampil di dunia nyata. Beberapa bulan terakhir saya bergelut dalam pertanyaan ini.

'BERPERANG' SEBELUM BERPERANG

Lalu saya membayangkan dunia militer. Kita anggap setiap prajurit di dunia ini tugasnya untuk berperang. Prajurit di masa-masa pendidikan diajarkan cara menggunakan senjata, memasang ranjau, mengatur strategi, mengelola logistik dll. Dengan demikian prajurit 'Tahu' cara berperang. Tapi apakah harus ada perang dulu untuk mengetahui seorang prajurit 'Bisa' berperang? Celaka namanya.

Namun tiap prajurit harus 'Bisa' berperang bila ada perang. 'Terampil' dalam berperang hanya bisa didapatkan dalam dalam peperangan --- yang dihindari semua orang. Lalu, bagaimana cara memindahkan sebagian 'Terampil' itu di masa damai untuk mengisi celah antara 'Tahu' dan 'Bisa'? Berlatih!

Masa-masa damai digunakan oleh prajurit untuk berlatih mengasah pengetahuan dan kemampuannya. Karena tak ada perang betulan, maka diciptakanlah skenario perang untuk berlatih. Skenario ini diciptakan semirip mungkin dengan perang nyata atau yang mungkin terjadi. Mulai dari gerilya, perang kota, merebut basis musuh, propaganda, intelijen, hingga cara bertahan sebagai tawanan perang. Dengan menghadirkan skenario perang sebelum terjadi perang, maka prajurit diharapkan sudah terampil lebih dulu sebelum perang terjadi. Prajurit dilatih untuk terampil memecahkan masalah sebelum masalah itu datang. Mereka dilatih untuk 'Bisa'.

MENGUJI HIPOTESIS

Dari fenomena di atas, saya membuat hipotesis: celah antara 'Tahu' dan 'Bisa' dalam pengetahuan mesti diisi oleh 'Terampil' dalam memecahkan masalah nyata dengan berbagai skenario dunia nyata.

Hipotesis inilah yang sedang saya uji lewat Arkademi yang saya rilis versi awalnya pada Rabu kemarin, 18 Oktober 2017. Karena Arkademi adalah social learning platform kewirausahaan, maka 'Kurusetra' kita adalah dunia perdagangan, terutama skala kecil dan menengah.

Hipotesis ini juga lahir dari kegundahan saya setelah mengikuti banyak kursus online bersertifikasi. Antara lain Google Ad Academy, Coursera, Udemy, hingga Hubspot. Yang membawakan kursus adalah universitas terkenal dunia seperti The Wharton School, Ludwig Maxmilians University, University of California, hingga IE Business School.  Saat ini saya memiliki 30 sertifikat lebih dari institusi di atas. Tapi --- tanpa mengecilkan kebesaran nama-nama institusi di atas --- ketika saya mencoba mempraktekkan apa yang sudah diajarkan untuk kebutuhan saya sendiri, saya sangat kesulitan. Mungkin karena saya bukan orang pandai. Tapi bahkan orang yang tidak pandai seperti saya pun mesti dibantu.

Kesulitan itu utamanya terjadi karena apa yang diajarkan menggunakan skenario ideal. Tapi hidup kita tidak ideal. Dan tak ada sebuah rencana yang selalu bisa mengikuti skenario ideal. Saya tak diajarkan cara untuk menggunakan pengetahuan itu sesuai dengan hal nyata yang saya hadapi, atau setidaknya yang mirip. Akhirnya saya hanya 'Tahu' saja. Tidak lebih. Bagi saya sekedar 'Tahu' tidak ada gunanya. Masalah ini yang hendak saya selesaikan di Arkademi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun