Neraca keuangan BPJS Kesehatan bisa menjadi salah satu indikator kualitas kesehatan di Indonesia, khususnya pada sisi pengeluaran. Makin banyak pengeluaran, artinya makin banyak warga yang sakit atau menderita penyakit yang membutuhkan penanganan kompleks. Ketika pengeluaran menyurut, artinya masyarakat Indonesia makin sehat karena berkurangnya pembayaran klaim kepada penyedia fasilitas kesehatan. Sederhananya seperti itu. Dengan demikian, negara dan masyarakat menginginkan BPJS untung karena dari sana kualitas kesehatan bangsa direpresentasikan.
Sebagian bertanya: sebagai penyelenggara JKN yang merupakan amanat UUD, apakah BPJS mesti untung?
Ya. Harus.
Pertama, seberapapun besarnya anggaran yang disediakan pemerintah untuk JKN tidak akan cukup bila masyarakatnya tidak takut sakit. Kedua, JKN memberi sumbangsih pertumbuhan ekonomi secara langsung senilai Rp 18,66 triliun di 2014 lewat pertumbuhan industri kesehatan, farmasi, lapangan kerja kesehatan dan konstruksi rumah sakit. JKN juga meningkatkan angka harapan hidup dengan penyediaan akses ke pelayanan kesehatan secara terjangkau, serta penurunan tingkat kemiskinan ikarena berkurangnya kewajiban biaya kesehatan. Pertumbuhan ini mustahil bisa berlanjut bila BPJS Kesehatan terus didera defisit. Ketiga, keuntungan BPJS Kesehatan akan kembali ke masyarakat lewat peningkatan pelayanan kesehatan pada fasilitas-fasilitas kesehatan, inovasi pelayanan, dan pengadaan infrastruktur layanan baru.
Singkatnya, kita memerlukan JKN yang berkembang dan berkelanjutan -- dimana hal itu hanya bisa dicapai ketika BPJS Kesehatan untung.
VALUE, REWARD DAN PUNISHMENT
Akan selalu ada orang-orang bermoral buruk, dan nasib JKN kita terlalu berisiko bila digantungkan pada sadar-tidaknya kelompok orang-orang ini. BPJS Kesehatan memang telah menerapkan pinalti atau punishment kepada peserta BPJS yang menunggak iuran selama sebulan dengan menonaktifkan kepesertaan mereka secara otomatis. Untuk mengaktikan lagi, peserta harus membayar iuran yang terlambat plus denda. Pinalti lain adalah kewajiban membayar biaya berobat 2,5% dikali jumlah bulan tertunggak yang akan dikenakan bagi peserta yang mengakses layanan kesehatan kurang dari 45 hari pengaktifan kembali keanggotaan. Memang terdengar seram. Namun apakah bisa membebaskan BPJS Kesehatan dari risiko celah liabilitas yang muncul seketika keanggotaan aktif? Apakah tidak justru menimbulkan kecemasan bagi calon peserta yang akhirnya malah memilih tidak mendaftar?
Bila BPJS menganggap ini adalah punishment yang tepat, maka silakan lanjutkan. Namun alih-alih menghabiskan energi 'menakut-nakuti' orang, BPJS punya pekerjaan yang jauh lebih penting: to create something anyone can't resist -- menciptakan produk yang tak mungkin ditolak. Jalannya tak lain adalah peningkatan value atau nilai produk yang sebegitu tingginya hingga nyaris mustahil tak dibutuhkan semua orang. Hal ini akan saya paparkan dalam bagian JKN 2.0 di bawah.
Bila ada pinalti, selayaknya ada penghargaan (reward). Konsep ini sebenarnya sudah mulai dijalankan oleh BPJS Kesehatan, namun baru diimplementasikan kepada faskes yang memberikan layanan dengan standar yang diterapkan. Reward kepada peserta bukan hal baru dalam dunia asuransi kesehatan. Beberapa asuransi swasta memberi reward mulai dari potongan harga produk/layanan kesehatan. Bahkan ada yang memberi cashback atau hadiah barang bagi peserta yang dalam jangka waktu tertentu tak pernah melakukan klaim. Sisi baiknya tak hanya soal menghargai peserta yang disiplin menunaikan kewajiban, tapi juga menghargai mereka yang menjaga kesehatannya.
Jumlah saluran dan metode pembayaran juga mesti diperbanyak. Bila saat ini BPJS Kesehatan telah bekerjasama dengan berbagai bank sebagai saluran pembayaran elektronik melalui ATM, mobile banking, hingga auto-debit rekening, cara baru bisa dilakukan dengan auto-debit kartu kredit. Tentu dengan kemudahan ala payment gateway yang diimplementasikan e-commerce. Banyak dan makin tersebarnya payment point BPJS hingga wilayah terpencil saat ini perlu dieskalasi dengan cara jemput bola: collecting hingga ke rumah peserta. Kegiatan collecting bisa dikerjasamakan dengan pengelola payment point, tokoh masyarakat, atau aparat setempat. Bahwa sudah lazimnya manusia selalu mencari cara-cara termudah dalam melakukan sesuatu, sehingga diperlukan cara-cara baru untuk beradaptasi mengelola perilaku ini.
JKN 2.0 SEBAGAI EKOSISTEM PERAWATAN KESEHATAN KOLABORATIF
"Saya punya Kartu Indonesia Sehat (KIS). Tapi saya tidak mau sakit, mau sehat,” kata Presiden Jokowi tahun lalu saat pembagian KIS di Malang.