Bara api di antara puing masjid Baitul Muttaqin di Tolikara belum juga dingin. Namun angka nominal donasi untuk pembangunan kembali masjid itu di situs crowd funding kitabisa.com sudah mencapai lebih dari Rp 150 juta dalam waktu kurang dari 24 jam sejak diluncurkan 18 Juli 2015, satu hari setelah musibah. Adalah Panji Pragiwaksono, seorang aktivis yang memulai penggalangan dana tersebut dengan target pengumpulan Rp 200 juta dalam waktu 30 hari.Â
Namun hanya dalam waktu 3 hari donasi yang dikumpulkan secara online itu sudah terhimpun lebih dari Rp 300 juta. Ketika donasi dikirim ke Tolikara untuk membangun kembali masjid, para politisi, aparat dan pengamat kita belum selesai bertikai mencari siapa yang salah. Awal Agustus masjid kembali dibangun menggunakan uang donasi ini, sementara beberapa kelompok justru menggaungkan ajakan berangkat berperang.
"Kita menang!" tulis Panji dalam halaman penggalangan dananya setelah donasi selesai terkumpul.
Panji benar. Bukan hanya aksi nyata baik yang menang atas sikap saling menyalahkan, tapi juga kemenangan tindakan konstruktif menyelesaikan masalah ketika persatuan bangsa kita tengah terancam.
"Banyak yang menghardik, banyak yang mengamuk, banyak yang berniat membalas dendam. Namun di antara itu semua, beberapa orang memutuskan untuk bersatu, berkorban, menyumbangkan rezekinya via kitabisa.com agar saudara-saudara kita umat muslim di Tolikara punya kembali rumah ibadah. Dan inilah hasilnya," tulis Panji dua bulan kemudian yang disertai foto rumah ibadah itu telah kembali tegak berdiri.
TERORIS DI RUMAH KITA
Media sosial adalah alat yang sangat kuat dengan segala kebaikan dan keburukannya. Seperti Pandji, kita bisa dengan mudah menggalang dana untuk misi-misi mulia melalui media sosial karena ia dengan mudah menjangkau miliaran orang dalam sekejap dan tanpa biaya. Dan organisasi teroris menyadari hal itu.
Sebenarnya kita tengah berada dalam dunia mengerikan yang tak pernah dikenal oleh kakek atau orangtua kita dulu -- ketika organisasi teroris dengan mudah menelusup hingga ke dalam rumah kita menggunakan saluran media baru (new media). ISIS dan para kaki tangan serta simpatisannya tak hanya gencar menyebarluaskan propaganda lewat berbagai saluran seperti Facebook, Twitter dan Youtube. Namun sekaligus menggelar rekrutmen melalui media sosial. Berdasarkan analisis IHS Global Strategies, ISIS menyediakan bujet US$ 29 juta atau Rp 377 miliar per tahun atau 3% dari total anggaran untuk pembiayaan propaganda.
"Gerakan teroris luar negeri saat ini memiliki akses langsung ke negara kita, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya," ujar Michael Steinbach, Asisten Direktur FBI Divisi Kontrateroris pada Juni lalu setelah polisi menembak mati Usaamah Rahim di Boston.
Rahim adalah warga AS keturunan Timur Tengah berusia 26 tahun yang direkrut dan diradikalisasi oleh ISIS melalui new media. Ia ditugaskan untuk memancung kepala Pamela Geller, seorang aktivis blog yang memimpin kampanye Stop Islamization of America sekaligus inisiator Muhammad Art Exhibit and Contest. Dalam proses penyelidikan, FBI mengungkap ada ribuan pesan pribadi antara Rahim dan anggota ISIS di luar negeri, termasuk pesan instruksi pembunuhan Geller yang dikodekan sebagai 'Boy in Blue'.
Rahim hanyalah satu dari ribuan warga AS yang telah direkrut dan diradikalisasi oleh ISIS menggunakan media sosial. Sampai 2015 setidaknya sudah ada 3.400 warga AS, Kanada dan Eropa yang berangkat ke Timur Tengah dan bergabung dengan ISIS. Para analis sepakat pada hal ini: ISIS memiliki keahlian dalam 'memikat' orang lain yang jumlahnya jauh lebih besar dibanding Al-Qaeda.
Lalu, bagaimana mereka melakukan ini?
EMPORIUM MEDIA TERORIS
Gerakan propaganda terorisme hari ini tidak kurang dari sebuah operasi konglomerasi media dalam menunjang pertempuran. Dalam laporan Brooking Institute, pada 2014 saja sudah ada 46.000 akun Twitter yang digunakan untuk mendukung ISIS. Dari lokasi akun-akun itu mereka tak hanya berasal dari Timur Tengah, tapi juga wilayah negara yang menentang ISIS. Rata-rata akun memiliki 1.000 pengikut (follower). Sebuah aplikasi Twitter bernama Fajr Al-Basheer yang artinya 'Fajar Gelombang Kemuliaan' dibuat untuk mengirimkan berita dan informasi terkini tentang aktivitas ISIS di Syiria dan Irak.Â
Aplikasi ini sudah memiliki ribuan pemasang yang mengizinkan akses ke data personal dan melakukan posting secara otomatis lewat akun pengguna. Dengan demikian, aplikasi ini mampu mempublikasikan ribuan konten secara simultan, mempopulerkan sebuah topik dan hashtag, yang dengan itu memperkuat pengaruh lewat masifnya diseminasi informasi.
Berdasarkan laporan Documenting the Virtual Caliphate yang dirilis Quilliam Foundation pada Oktober 2015, ISIS merilis rata-rata 38 konten baru per hari yang terdiri dari video berdurasi 20 menit, dokumentasi berdurasi panjang, esai foto, klip suara, hingga pamflet elektronik dalam berbagai bahasa; mulai dari Bahasa Rusia sampai Bengali. Seperti halnya merek-merek industri besar mengoperasikan media sosialnya untuk berinteraksi dengan khalayak, ISIS juga menggunakan teknik tried-and-true untuk mendapatkan perhatian dan interaksi massal.
"Mereka mendelusi dan mencuci otak orang lain menggunakan video berkualitas tinggi, majalah daring, media sosial, serta akun-akun Twitter teroris -- yang semua itu ditargetkan kepada anak-anak muda dalam ruang siber," tukas Presiden AS Barrack Obama dalam Summit on Countering Violent Extremism.
Direktur CIA John Brennan menegaskan bahwa teknologi interkoneksi saat ini membuat para kelompok ekstremis mampu mengkoordinasikan operasi, memikat para anggota baru, mendiseminasi propaganda, dan menularkan simpati ke seluruh dunia. Seorang ekstremis individu dapat mengakses internet dan belajar cara melakukan serangan brutal tanpa harus keluar rumah.
Pakar kontra-terorisme Richard Barret dalam laporannya berjudul Foreign Fighters in Syiria menjelaskan bahwa dalam propagandanya ISIS menunjukkan gambaran kepahlawanan, moralitas, persahabatan dan perjuangan yang memiliki tujuan mulia. Para anggota serta simpatisannya tidak segan-segan menunjukkan aksi dan keberpihakannya melalui berbagai saluran media untuk meningkatkan kepercayaan diri. Fawaz Gerges, profesor studi Timur Tengah di London School of Economics menyatakannya lebih terang benderang: "ISIS mendelusi anak-anak muda ini seakan-akan menyediakan sebuah liburan penuh petualangan."
Pesan yang mereka sampaikan lebih dari 'datang dan bergabunglah dengan kami'. ISIS membingkai pesannya tidak dalam gambaran penderitaan dan kebengisan, namun dalam bentuk imaji kemuliaan dan kepahlawanan. Bahkan ISIS menggunakan gambar selai cokelat Nutella, anak kucing dan emoji dalam meme yang mereka buat untuk memancing simpati para wanita muda untuk menggambarkan bahwa kehidupan di Syiria dan Irak tidak jauh berbeda dengan negara barat.
"ISIS bicara dengan bahasa media sosial yang kita pahami," ujar Carol Costello dari CNN.
Dalam melakukan rekrutmen, ISIS turut menyertainya dengan teknik kompensasi, isolasi dan manipulasi. ISIS menyediakan hadiah untuk para perekrut online sebesar US$ 10.000 (sekitar Rp 130 juta) per orang yang berhasil mereka rekrut. Mereka bahkan menyediakan tutorial online yang diberi nama A Course in the Art of Recruiting.Â
Tutorial ini menyarankan para perekrut berbagi kebahagiaan dan kesedihan agar lebih dekat dengan target menggunakan dalih-dalih agama tanpa menyebut jihad. Seperti yang diakui Mubin Shaikh, mantan anggota dan perekrut ISIS, target utama mereka adalah remaja. Alasannya: remaja berada dalam fase mencari jati diri dan ingin berpartisipasi dalam sesuatu yang besar.
Setelah tercipta hubungan kedekatan, perekrut akan melakukan teknik isolasi kepada target. Mereka akan terus saling berhubungan secara intens sehingga mengisolasi korban dari kenyataan dunia luar. Lebih dari itu, korban akan dibawa masuk ke dalam kelompok-kelompok online para ekstremis untuk didoktrin dan dimanipulasi lebih jauh.Â
Perekrut akan melarang targetnya membagikan kisah hubungan mereka kepada orang lain karena dapat membahayakan diri mereka dan 'tujuan bersama'. Keterisolasian ini akan membuat korban makin intim dengan perekrut dan merasa sedekat saudara sehingga akan mudah dikendalikan.
FABRIKASI KEBENCIAN DAN 5 LANGKAH PROPAGANDA
ISIS adalah contoh bagaimana sebuah perang masa kini yang tak lagi terbatas pada sebuah kawasan, namun sudah berbasis global. ISIS memang sedang bertempur di Timur Tengah, namun aksi-aksi terornya merambat sampai Tanah Air. Serangan bom Sarinah contohnya. Laporan terakhir dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berjudul Online Activism and Social Media Usage Among Indonesian Extremists menyebutkan soal derasnya pertumbuhan pendukung ISIS di kalangan pengguna media sosial Indonesia.Â
Pola rekrutmen secara tatap-muka memang cenderung belum berubah, namun dengan aktivisme media sosial yang tinggi di Tanah Air, ISIS mendapatkan audien yang jauh lebih besar. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, tak sulit bagi ISIS mengalokasikan bujet propaganda dari anggaran Rp 377 miliar per tahun khusus untuk operasi di Indonesia.
Bila anda merasa tengah berada dalam pusaran kebencian terhadap mereka yang berbeda keyakinan, kemungkinan besar anda adalah korban dari fabrikasi propaganda kebencian yang disebarkan lewat berbagai saluran new media.Â
Tulisan saya yang berjudul Kita dan Hiperealitas mengungkapkan tentang dunia perspektif yang sedang kita tinggali. Tak ada lagi salah-benar, yang tersisa adalah perspektif. Dalam dunia post-modern realitas sudah mati, dan perspektif bisa difabrikasi. Tak ada lagi teritori antara realitas dan fantasi, dan asal-usul sudah hilangnya.Â
Tidak ada lagi sumber atau referensi utama akan kebenaran. Dalam derasnya arus informasi, setiap individu bergerak bebas menentukan persepsinya. Sementara internet adalah mesin demokratisasi perspektif dan informasi terbesar yang pernah dimiliki manusia. Maka Anda hanya harus menemui orang yang tepat dan menyerahkan sejumlah uang untuk memproduksi dan mendistribusikan propaganda. Beberapa menyebutnya sebagai 'industri e-hate'. Anda mungkin menganggap kebencian anda adalah impelementasi dari keyakinan atau ideologi yang anda pilih. Namun bagi para pelaku 'industri e-hate' semua ini hanya soal uang.
Dalam artikelnya berjudul Why ISIS Winning The Social Media, Brandan I Koerner menuliskan lima langkah bagaimana propaganda ini dilakukan.
1. Mengelola Merek
Tahun 1915 sutradara DW Griffith merilis film The Birth of a Nation yang bercerita tentang 'heroisme' anggota Ku Klux Clan melawan tentara AS berkulit hitam yang digambarkan sangat bengis. Film ini sukses besar dan selama berpuluh-puluh tahun memperkuat persepsi bagi masyarakat AS bahwa warga berkulit putih memiliki derajat lebih tinggi dibanding mereka yang berkulit hitam.
Sebutlah apa merek anda: ISIS, Al-Qaeda, Ku Klux Clan, Zapatista, Coca Cola, IBM -- anda harus mampu mengendalikan perspepsi khalayak akan merek anda. Dalam kasus ISIS, mereka menarasikan diri sebagai organisasi yang menjanjikan pemerintahan dunia yang stabil dan berkeadilan. Slogan mereka adalah Baqiya wa Tatamaddad -- Mewujud dan Meluas.
Mereka menyeru bahwa setiap ladang pertempuran tak hanya tempat terciptanya kepahlawanan dan persahabatan, tapi juga jalan menuju surga. Tak hanya menawarkan ideologi yang diyakini bisa menyelesaikan semua masalah kehidupan, namun juga meyakinkan bahwa ideologi ini tak bisa sukses selama masih ada ideologi lain yang berseberangan. Bila anda percaya bahwa sebuah merek minuman energi bisa membuat anda lebih pintar, maka ISIS menfabrikasi persepsi bahwa mereka adalah satu-satunya resep untuk mewujudkan dunia utopia.
2. Didistribusikan ke Semua Platform
ISIS mengeksploitasi nyaris semua saluran distribusi konten digital mulai dari Facebook sampai Twitter, dari Telegram sampai Surespot, dari Buzzfeed sampai 9gag. Pusat produksi konten mereka terdesentralisasi mulai dari Afrika Barat hingga Kaukasia menggunakan fasilitas produksi otonom. Mereka juga membangun sindikasi media mainstream yang dirintis oleh Al-Furqan Media. Seorang wartawan video yang terafiliasi ke ISIS dibayar $ 700/bulan. Jangan bayangkan mereka hanya memproduksi gambar-gambar perang yang bengis.
Dalam video berdurasi 21 menit yang mereka produksi berjudul Honor Is in Jihad: A Message to the People of the Balkans, ISIS menunjukkan betapa bahagianya tentara ISIS yang digambarkan sedang menggendong anak di sebuah pasar. Ahmad Abousamra, seorang insiyur komputer yang bergabung ke ISIS menciptakan alat untuk memasang kamera GoPro di senapan AK-47 dan sniper agar videonya tampak seperti game Call of Duty.
3. Menggunakan Kekuatan Kerumunan
Kecerdikan ISIS dalam dunia propaganda dibuktikan lewat suburnya jumlah pendukung yang berekspresi di berbagai saluran media sosial. Mereka menciptakan dan membayar sepasukan besar buzzer atau elite user untuk memproduksi dan mempopulerkan konten yang kemudian menjadi viral berkat kerumunan pendukung. Dengan kemudahan menciptakan dan membeli layanan robot atau user palsu di media sosial, suara mereka menjadi ada dimana-mana -- dan sebagian besar anonim. Tak seperti Al-Qaeda yang mengandalkan diseminasi informasi melalui portal dan media sosial ofisial. ISIS benar-benar mengambil keuntungan dari kekuatan user generated content dengan cara 'melepas semua serigala dari kandang'. Mereka tampak sangat paham hubungan simbiosis antara medium dan pesan, yang dikatakan Marshall McLuhan: medium is the message.
4. Mengendalikan Percakapan
Yang dilakukan ISIS pasca serangan bom Paris 2015 adalah meluncurkan kampanye bahwa pemerintah Prancis memalsukan paspor pelaku teror. Lewat dua video berjudul Would You Exchange What Is Better for What Is Less? dan Muslim Asylum Seekers to the Abode of the Disbelievers  yang membanjiri internet, ISIS menciptakan percakapan bahwa pengungsi Syiria salah besar meninggalkan negeri mereka demi hidup di negara barat. Mereka mengembangkan narasi bahwa ISIS berjuang mewujudkan sebuah surga dunia dimana semua anak tersenyum bahagia. Dengan kekuatan kerumunan yang tersebar dan terkoordinir, ISIS mudah untuk membuat isu ini populer dan tersebar ke seluruh dunia.
5. Mendorong Aksi di Dunia Nyata
Media sosial menjadi sarana vital yang mendorong revolusi Arab Spring. Namun begitu pula dengan rangkaian kekerasan di seluruh dunia yang digelar oleh organisasi teror. Edward Archer menembaki polisi di Philadelphia setelah diradikalisasi dan dimanipulasi oleh ISIS lewat berbagai saluran digital. Archer dengan patuh menjalankan titah juru bicara ISIS, Muhammad al-Adani yang memerintahkan para simpatisan untuk membunuh setiap orang yang berkeyakinan berbeda, termasuk aparat keamanan.
INDUSTRI KEBENCIAN
Teknologi Web 2.0 tak hanya mengubah cara bagaimana konten diproduksi, didistribusikan dan diinteraksikan. Namun juga menghadirkan berbagai model bisnis baru bagi para pengelola konten. Dunia yang kita hidupi sekarang telah membuktikan bahwa seseorang tak perlu punya modal besar untuk sukses di dunia informasi; hanya perlu seperangkat komputer, koneksi internet, dan secercah ide. Mengendalikan informasi artinya tak bisa lagi mendiseminasinya secara sentralistik, namun harus terdesentralisasi dan menggunakan kekuatan kerumunan (crowd source).
Opini tak bisa hanya digalang oleh satu-dua figur, tapi membutuhkan jaringan key opinion leader (KOL). Kepentingan pihak yang berkonflik untuk memenangkan opini orang banyak lewat media sosial sebagai medium informasi paling populer saat ini telah menghadirkan sebuah industri baru: e-hate.
Pelaku bisnis e-hate yang jumlahnya tidak sedikit di Indonesia menjalankan usahanya lewat berbagai model bisnis yang elastis dan bisa saling berkomplemen. Sebagai buzzer atau KOL, mereka memasang bayaran per konten atau rentang waktu campaign. Nilainya jutaan rupiah per konten: per tweet, per Facebook post, per video, per artikel blog dll. Sebagai pemilik situs, mereka memasang iklan Adwords yang pendapatannya bergantung pada trafik kunjungan dan klik.Â
Pada dunia di mana data menjadi mata uang baru, basis user menjadi vital. Ketika  anda berhasil mengumpulkan 1 juta orang pembenci di akun anda berkat bisnis buzzer e-hate, anda bisa secara leluasa mengimplementasikan berbagai model bisnis lain. Mulai dari berjualan seprei, kursus, hingga menggalang donasi dimana anda akan mengambi fee dari donasi yang terkumpul.
Ia juga bisa berbentuk agensi yang menggunakan nama kedok 'manajemen reputasi'. Tugasnya tak hanya meningkatkan reputasi klien di dunia maya, tapi juga menyerang dan membunuh reputasi pihak lawan. Isi agensi ini adalah sepasukan orang (dalam jumlah besar) yang tersebar di berbagai tempat dan punya rantai komando serta SOP yang jelas. Masing-masing serdadu siber punya tugas spesifik yang dibagi ke berbagai macam divisi. Mulai dari divisi produksi konten, interaksi, monitoring, media relation, hingga yang bersifat teknis seperti menyediakan aplikasi dan ribuan akun palsu.Â
Mereka yang berada di bagian interaksi umumnya mengelola sekian puluh akun media sosial palsu yang berkeliaran di seluruh jagad maya: mulai dari Facebook sampai kolom komentar di situs portal berita. Agensi seperti ini nyata meski tak tampak. Jangan bayangkan mereka bekerja dengan cara berkumpul di sebuah ruangan kantor. Mereka tersebar di berbagai kawasan yang bahkan pengelola agensi pun tak pernah melihat wajah pasukan mereka. Orang-orang ini menjalankan sebuah organisasi anonim yang bertugas melakukan serangan dari tempat gelap. Namun penghasilan mereka nyata dengan jumlah miliaran.
Produk yang dihasilkan dalam industri ini adalah segala bahan bakar yang mampu meletupkan kebencian dan menggalang perasaan sebagai korban serta menciptakan musuh bersama. Key Performance Indicator (KPI)Â keberhasilan produknya juga bisa diukur sehingga mudah untuk dipantau dan dikembangkan. Mulai dari basis user, jumlah impresi, trafik, tingkat interaksi, sentimen, reaksi, hingga konversi. Sekilas orang akan menganggapnya sekedar gerakan kontra-public relation. Namun ketika yang digelorakan adalah kebencian dan permusuhan, maka nasib tatanan sosial, politik, ekonomi dan keamanan sebuah bangsa dan umat manusia sedang diletakkan di meja taruhan.
MELAWAN DENGAN HARAPAN
Sekarang anda sudah tahu bagaimana kebencian itu difabrikasi di dunia maya dan segelintir orang tengah meraup keuntungan dari sana. Mungkin anda akan merenungkan kembali soal kebencian yang tengah melilit diri anda: apakah ia murni produk kesadaran anda, atau produk orang lain?
Bila kelompok teroris memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan kebencian, memecahbelah, dan merekrut anggota baru dengan sumberdaya yang sangat banyak, mampukah kita melawannya juga melalui media sosial?
Google, Facebook dan Twitter memiliki peraturan ketat akan konten terorisme dan kebecian. Tanpa toleransi, konten sejenis ini akan dihapus dan akun penggunanya akan diblokir. "Tak ada tempat bagi teroris di Facebook," tulis Facebook dalam aturan pemakaian. Namun seberapa pun sumberdaya yang dikerahkan para raksasa teknologi ini tak akan sanggup untuk membendung total konten kebencian. Setiap konten dengan mudah ditransmisikan dan direplikasi, terlebih menggunakan teknologi seperti pada Fajr Al-Basheer. Seberapa pun banyaknya akun yang diblokir, akan datang kembali ribuan akun baru dalam sekejap.
Namun ada yang lebih pelik ketimbang hal di atas: kebebasan berekspresi dan sifat alamiah media sosial. Sebagai sebuah platform global yang menyanjung hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebijakan yang diadopsi oleh raksasa teknologi ini seringkali tidak sejalan dengan regulasi penyensoran negara. Sebuah konten bisa saja dilihat sebagai ujaran kebencian, namun sekaligus sebagai hak kebebasan berpendapat. Â Penyensoran bisa dipandang sebagai upaya melindungi masyarakat, sekaligus upaya represif mengebeiri hak warga atas informasi.
"Masalah besar juga terdapat pada perilaku alamiah di media sosial secara global yang bergantung pada kebijakan pribadi masing-masing pengguna dalam mengidentifikasi konten yang pantas atau tidak bagi mereka," tulis kolumnis Wired, Julia Greenberg.
Di antara kepelikan ini, COO Facebook Sheryl Sandberg menawarkan solusi: alih-alih fokus membungkam ujaran kebencian dan intoleransi di media sosial, tenggelamkan suara mereka dengan pesan-pesan harapan.
Dengan menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan suara mereka yang paham bagaimana organisasi teror ini dijalankan, kata Sandberg, kita bisa membalik narasi yang tengah berkembang. Strategi ini telah diujicoba di Jerman. Kelompok masyarakat sipil di sana meluncurkan gerakan yang disebut Sandberg sebagai 'Like Attacks' yang secara masif 'menyerang' sebuah laman Facebook neo-Nazi dengan pesan cinta dan toleransi.
"Kontra-ujaran adalah cara terbaik sejauh ini dalam melawan ujaran kebencian," ujar Sandberg.
Kontra-ujaran ini terbukti tak hanya berhasil dalam melawan ujaran intoleransi dan kebencian. Namun juga tindakan teror. Dua jam selang bom Sarinah meletup, jagad maya Nusantara langsung beralih percakapan pada #KamiTidakTakut. Sebuah hashtag yang mencerminkan kesadaran kolektif virtual yang mewakili ekspresi keberanian dan harapan orang banyak. Dalam sesaat teror bom itu sempat menghadirkan ketakutan dan kesedihan massal -- sesuatu yang menjadi tujuan kelompok teror. Namun dengan segera bangsa kita bangkit menggalang harapan dan keberanian sebagai upaya perlawanan terhadap kelompok teroris.
KONTRA-TERORISME LEWAT KONTRA-NARASI
Oktober 2015 lalu Google bekerjasama dengan Facebook dan Twitter melakukan eksperimen melawan radikalisasi online yang dilancarkan ISIS dan kelompok supremasi kulit putih. Mereka merilis tiga kampanye video berjudul Average Mohamed, ExitUSA, dan Harakat. Video ini menargetkan setiap pengguna Facebook, Youtube, dan Twitter di AS, Inggris dan Pakistan. Lebih dari setengah juta anak muda di 3 negara itu yang pernah mempublikasikan dan mencari konten dengan kata kunci sharia, mujahideen, burqa, Aisha dll, menyaksikan video tersebut. Â
Dalam video Average Mohamed, seorang figur kartun bersenjata tampak berdiri di bawah bendera ISIS. "Jangan sampai para ekstremis membuatmu bingung dengan ajakan mereka menolak dunia baru kita. Kamu tidak perlu memilih. Kamu dapat menemukan jalanmu sendiri untuk hidup dengan cara terbaik yang kamu inginkan dan menghargai sesama. Ingat, hiduplah dalam damai."
Dalam laporan yang dipublikasikan Institute for Strategic Dialogue (ISD), video kontra-narasi ini berhasil menjangkau 456.113 orang yang dianggap rentan pada radikalisasi ISIS dan menciptakan dialog yang luas. Video tersebut juga berhasil menginspirasi kaum muda muslim dalam berdialog seputar peran gender dalam Islam.
Lalu di manakah peran negara dalam gerakan kontra-ujaran dan kontra-narasi online ini?
Dalam permainan (atau pertempuran) media ini, kekuatan kerumunan menjadi vital dalam melawan organisasi dan operasi propaganda kebencian. Namun kita tak bisa terus-menerus bergantung pada inisiasi warga yang ikatannya bersifat longgar untuk menjalankan pertempuran jangka panjang ini secara intens dan terstruktur. Sementara di sisi seberang ada sekelompok orang bermodal uang tak terbatas untuk menggerakkan berbagai sumberdaya di lintas benua.Â
Sayangnya kontra-ujaran dan kontra-narasi ini belum menjadi kompetensi yang dimiliki atau dilirik secara serius oleh pemerintah. Mereka lebih memilih cara-cara reaksioner seperti penegakan hukum atau peperangan ketimbang promotif dan preventif. Atau bahkan membiarkan. Tak terkecuali yang dilakukan oleh pemerintah AS lewat kampanye melalui akun Twitter @ThinkAgain_DOSÂ yang disebut amatir oleh banyak orang. Di sisi lain, dalam permainan berbahaya ini waktu adalah vital. Ketika pemerintah gagal menjadi katalis dan pendorong utama, organisasi-organisasi jahat ini akan terus melebarkan sayap serta merasuk makin dalam ke dalam rumah dan meracuni pikiran anak-anak kita.
***
Diam mungkin adalah kejahatan terbesar kita dalam menghadapi kekuatan gelap yang mencoba menulari hati tiap orang dengan kebencian dan permusuhan. Seperti nasehat Sun Tzu: Keberhasilan kita mempertahankan diri terletak di tangan kita sendiri, tapi peluang untuk mengalahkan musuh ada di tangan mereka.
Dalam berperilaku toleran di media sosial, saya percaya pada sebuah rumusan sederhana: jangan lakukan yang kita tak mau orang lain lakukan pada kita. Kita perlu terus membangun harapan, menyuarakan perdamaian, menyerukan kasih sayang, serta memupuk keberanian menerima perbedaan. Dan mengajak pada kebaikan adalah sebaik-baiknya upaya kita melawan kebencian. Kebaikan hati adalah fitrah lahir kita. Namun kebencian di hati kita adalah agenda orang lain.Â
Sementara sebagian orang hanya ingin melihat dunia ini terbakar. (***)
Connect with me on Facebook:Â Hilman Fajrian / Twitter: @SoclabId
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H