Saya selalu optimistis pada Indonesia sebagai bangsa yang selalu jantan menghadapi cobaan, tidak lari ketika menghadapi tantangan, serta selalu bisa bangkit setelah badai. Itu sebabnya saya terus melakukan update konten berupa foto, video, teks dan tautan di Facebook pribadi yang saya kurasi dari berbagai sumber. Beberapa teman protes dan mencela bahwa saya ikut menebar teror dan kecemasan. Tapi saya punya keyakinan bahwa bangsa kita tidak selemah dan secengeng itu. Justru, para pengamat di media mainstream -- yang entah darimana dan apa kompetensinya -- yang lebih banyak menebar kecemasan lewat asumsi dan prediksi. Bahwa pers diwajibkan melakukan sensor terhadap konten brutal, itu berlaku umum -- dari kecelakaan sepeda motor sampai bencana alam. Namun ketika negara diserang, seseorang harus menegaskan tentang kebiadaban yang telah dilakukan musuh-musuh kita.
Saya hendak menyampaikan pesan lewat konten itu, "Inilah kebiadaban yang telah mereka lakukan pada kita dan seluruh dunia mesti melihatnya. Hari ini negara kami diserang, dan lihatlah bagaimana kami akan bangkit melawannya." Tidak sampai 4 jam setelah kejadian, Indonesia bersatu dan bangkit menyuarakan #KamiTidakTakut. Kini, terorislah yang mesti takut kepada kita.
TERORIS SALAH MEMILIH LAWAN
Inilah alasan mengapa saya mengatakan teramat idiot para teroris yang menggunakan viralitas percakapan media sosial sebagai alat ukur keberhasilan aksi. Karena VCC tak berhenti menggelinding di satu tempat 1-2 jam setelah kejadian. Ia akan terus mencari jalannya sendiri berdasarkan karakter sebuah kerumunan, dalam hal ini bangsa. Tujuan aksi terorisme adalah publikasi unjuk kekuatan, menciptakan ketakutan yang berkelanjutan, dan meruntuhkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah bahwa mereka tak bisa memberikan rasa aman, serta merusak pilar ekonomi. Publikasi terang saja telah mereka dapatkan. Namun tidak dengan rasa takut berkelanjutan dan ketidakpercayaan yang menggoyahkan pemerintahan. Bahkan, pasar pun segera bangkit kembali tak lama setelah tragedi.
Muncul dan bertahannya trending topic #KamiTidakTakut, #JakartaAman, #JakartaBerani, #IndonesiaWorthIt dll, adalah alat ukur sebenarnya atas ekspresi dan sikap yang kita pilih pasca tragedi. Dalam hal ini, teroris berhasil membuat keberanian dan persatuan kita bangkit melawan balik mereka, dan kita memperlihatkan wajah asli kita. Bahkan mulai sore hari sudah mulai bermunculan ekspresi candaan. Senjata kita bukan senapan dan peledak, tapi perangkat komputasi. Hashtag tak lagi jadi sekedar barisan string, namun ekspresi kolektif yang menunjukkan sikap dan pilihan sebuah bangsa.Â
Setiap masa, kualitas sebuah bangsa diuji melalui berbagai teror. Butuh waktu lama bagi rakyat Amerika Serikat untuk sembuh dari rasa takut pasca penyerangan World Trade Center 2001. Setelah tragedi pemboman Paris, rakyat Eropa berkubang dengan rasa cemas kepada pengungsi Timur Tengah hingga sekarang. Namun tanda-tanda kecemasan menahun seperti itu tak tampak di Indonesia pasca bom Sarinah. Kita hadir sebagai bangsa yang jantan, berani, kuat, dan tidak cengeng. Yang semua itu kita tunjukkan dengan menggaungkan kekuatan #KamiTidakTakut di dunia maya.
Teroris memang terlatih menebar rasa takut. Tapi sebuah bangsa bebas memilih sikap. Kemarin negara kita diserang. Cara yang kita pilih dengan bersama-sama dan bersatu menghadapinya, membuat kita boleh bangga menjadi rakyat Indonesia. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H