Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Inikah Senjakala Stasiun Televisi?

13 Januari 2016   13:43 Diperbarui: 7 Juni 2021   06:56 17536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: pexels.com/@donghuangmingde

Bergembiralah. Tidak seperti koran, tanda-tanda kematian TV di masa depan belum tampak. Sebaliknya, horison terlihat cerah bagi industri TV. Di Amerika Serikat (AS), rata-rata kepemilikan TV adalah 2,93 per rumah tangga dan 55% rumah memiliki TV lebih dari 2.

Jumlah waktu yang dihabiskan audien menyaksikan konten TV juga semakin meningkat. Tidak seperti industri media tradisional lain yang menunggu kimat karena digerus internet, TV sangat elastis.

TV belum akan punah. Hanya stasiun TV yang akan mati. Seluruh konsep TV broadcasting yang berlaku saat ini segera hilang disapu badai internet.

JELANG KIAMAT TV LINEAR
Ketika masih kecil, ayah saya sering merekam acara TV malam dengan Video Beta. Anak-anak harus tidur, tapi ia berbaik hati agar para bocah di rumah tak ketinggalan acara kesukaannya.

Esok siang setelah pulang sekolah kami menonton video rekaman siaran itu. Berdebar-debar di depan TV menjelang jam tayang acara menarik juga adalah bagian dari masa kecil kita. Dulu kita hapal jam tayang Mac Gyver, Knight Rider, Tak Tik Boom, Doraemon sampai Aneka Ria Safari.

Segalanya sudah berbeda pada putra saya yang berusia 7 tahun. Ia dengan leluasa memilih acara TV yang ia suka tanpa terikat waktu. Dengan TV On Demand (OD) yang berbasis Internet Protocol TV (IPTV) yang kami miliki di rumah, ia bisa memutar ulang siaran Ipin & Upin atau Adit, Sopo, Jarwo kesukaannya yang ditayangkan malam sebelumnya. Bisa diulang-ulang, di-pause, di-forward, di-rewind dan dihentikan kapan saja.

Begitu juga ketika kami sekeluarga menonton film dari channel penyedia film bagus seperti HBO, FOX atau Cinemax. Tinggal pilih judul film yang disukai lewat TVOD atau Video-OD (VOD), kemudian ditonton kapan saja. Tak ada lagi kegiatan menonton live TV di rumah ini, apalagi menonton iklan.

Di Indonesia sudah lama bermunculan penyedia jasa TVOD dan VOD berbasis IPTV seperti UseeTV, MNC Play, First Media, Netflix dll dengan tarif bulanan yang fair. Sejak berlangganan TVOD/VOD kami mencopot antena dan berhenti berlangganan TV kabel.

Internet adalah sesuatu tentang kontrol yang kini dipegang oleh setiap penggunanya. Di Facebook kita bebas memilih teman dan memblokir konten. Di Twitter kita selalu bisa memilih siapa yang layak kita follow.

Di Youtube kita hanya akan menyaksikan video yang kita minati. Hal tersebut bertolakbelakang dengan konsep TV linear yang kita kenal selama ini yang disediakan oleh hampir semua stasiun TV di dunia.

TV linear mentransmisikan semua program acaranya secara langsung dan terjadwal. Audiens tak punya kontrol apapun, kecuali memilih kanal TV. Pelanggan TV kabel menyia-nyiakan uangnya dengan berlangganan sekian banyak paket kanal yang tak pernah mereka tonton.

Ketika TVOD/VOD hadir, ia tak semata-mata menjadi sebuah pengalaman baru dalam menonton TV. Yang terpenting ia menyerahkan kontrol penuh atas konten dari stasiun TV kepada user untuk dipersonalisasi.

Perlahan tapi pasti, OD membunuh TV linear. Laporan dari Nielsen, rata-rata audien TV linear menghabiskan 1 jam 50 menit per hari di depan TV. Sedangkan audien OD menghabiskan 2 jam 45 menit per hari. Stasiun TV ABC, CBS dan NBC berhasil mengeduk 50 juta audien di tahun 1980. Dua dekade kemudian angkanya jatuh ke 22 juta orang yang rata-rata berusia 60 tahun.

Ericsson ConsumerLab TV & Media Report 2015 mendapati konsumen OD menghabiskan waktu 6 jam per minggu menyaksikan konten OD. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan 4 tahun sebelumnya.

Konten tak lagi hanya disaksikan di TV, tapi juga di mobile device. Sehingga audiens tak lagi terikat dengan tempat -- hanya menyaksikan OD di TV rumah misalnya -- karena penyedia OD telah menyediakan platform berbasis cloud.

Seperti Netflix dan Hulu. Generasi yang mengonsumsi konten TV dari mobile device ketimbang layar TV adalah mereka yang berusia 16-24 tahun. Sedangkan generasi berusia 25-34 tahun hanya 50% lebih sedikit yang menyaksikan konten dari layar TV.

Tahun 2001 pernah diadakan survei di AS dengan pertanyaan: pilih mana, lebih baik kehilangan akses TV atau akses internet? Ketika itu 72% responden memilih lebih baik tak punya akses internet.

8 tahun kemudian, angka 72% itu jatuh ke 49%. Karena TV hanya menawarkan konten TV. Sementara internet tak hanya menawarkan konten TV. Ia turut menyediakan kontrol, interaksi, mobilitas, content creation, ilmu pengetahuan, personalisasi -- segala sesuatu yang memberi tenaga kepada pengguna.

Ketika terjadi gelombang migrasi audien besar-besaran dari TV linear ke OD, stasiun TV linear masih berjibaku dengan biaya investasi dan operasional yang sangat tinggi. Mereka perlu banyak uang untuk memproduksi atau membeli program TV demi mengisi jadwal. Membiayai operasional, membeli perangkat siaran sampai membangun base transceiver system (BTS) sampai menyewa satelit untuk menjangkau lebih banyak audiens.

Di sisi seberang, hanya berbekal sebuah kantor yang tak begitu besar dengan biaya operasional bak bumi dan langit bila dibandingkan stasiun TV linear, penyedia OD seperti Netflix terus-menerus 'merampok' pendapatan stasiun TV.

AKHIR KEMESRAAN PENGIKLAN DAN STASIUN TV
"Jangan ke mana-mana, tetaplah bersama kami," ujar semua pembawa acara TV sebelum jeda iklan.

Kalimat yang tepat sebenarnya adalah: "Jangan ke mana-mana, saksikan dulu iklan berikut ini."

Model bisnis paling lumrah dalam industri stasiun TV adalah menjual konten kepada pengiklan. Hanya dari iklanlah mereka bisa hidup. Nilai pasar iklan televisi di dunia mencapai US$ 70 miliar atau Rp 980 triliun, masih yang terbesar dibanding media lain.

Namun dengan berpindahnya audien dari TV linear ke OD, siapa juga yang masih mau menyaksikan iklan? Kita menyaksikan TV karena ingin menonton program acara, bukan menonton iklan.

Ketika di TV linear pun audien melewatkan iklan, di OD hampir bisa dipastikan semua orang melakukan skip atau fast forward setiap iklan tayang. Celaka sekali ini. Kiamat bagi pengiklan TV sama dengan kematian stasiun TV. Masih ditambah lagi dengan kebangkitan industri OD yang bebas iklan seperti Netflix yang sampai tahun kemarin pelanggannya sudah 70 juta orang.

Situasi ini menghadapkan pengiklan atau biro iklan dalam situasi paradok: satu sisi audien TV meningkat, di sisi lain mereka semakin punya kontrol tak ingin menyaksikan iklan.

Ketika audien TV linear pindah ke OD, audien OD tak mau menyaksikan iklan. Mau tidak mau pengiklan mulai membagi anggaran iklan mereka ke OD dan menggerus porsi untuk TV linear. Youtube saja di tahun 2015 telah berhasil mendapat bagian dari kue iklan itu sebesar US$ 1,62 miliar atau Rp 22,6 triliun.

TV linear juga makin kehilangan rating yang otomatis kehilangan pemasukan dari iklan. Kelompok stasiun televisi Viacom, 21st Century Fox, Comcast yang memiliki NBCUniversal dan Walt Disney tahun lalu melaporkan penurunan pendapatan iklan di semua stasiun TV jaringan mereka.

Jumlah penonton turun 18% berdasarkan data Nielsen. MTV turun 14% dan Nickelodeon jatuh 17%. Sementara audien pada program prime time turun 7% yang otomatis mengiringi penurunan jumlah audien dan rating adalah pemasukan iklan.

"Angka ini adalah penurunan terbesar yang pernah kami saksikan," kata Moffet Nathanson, analis industri Viacom.

"Sudah makin tampak telah terjadi pergeseran besar dalam industri TV," Philippe Dauman, CEO Viacom, menambahkan.

Hal yang sama juga diamini oleh Jeff Bewkes, CEO Time Warner yang memiliki HBO dan CNN sambil mengatakan industri TV sedang berpindah ke OD. Todd Juenger dari Bernstein Research punya prediksi lebih mengerikan. "Generasi OD tidak akan kembali ke TV linear. Migrasi telah terjadi secara struktural," ucapnya.

Amir Kassaei, Chief Creative Officer Omnicom’s DDB Worldwide, sebuah biro iklan raksasa dunia, mengatakan TV akan tetap jadi salah satu medium utama membangun brand awareness dan mengumpulkan audien. Tapi, perubahan besar perilaku audien terhadap TV membuat mereka sangat hati-hati dalam memilih medium untuk menjangkau pemirsa.

"Kita harus mendefinisikan ulang soal apa itu TV. TV sudah lebih dari sekedar gambar bergerak," tegasAmir.

TV SEBAGAI MEDIA INTERAKTIF
"Mari kita lihat dulu apa kata penonton di Twitter. Wow! Hashtag #XFactor_IND baru saja menjadi trending topic di Indonesia," kata Robby Purba, host X-Factor Indonesia sesaat setelah peserta X-Factor menyelesaikan lagunya.

Setelah meninggalkan American Idol, Simon Fuller merilis If I Can Dream yang langsung mengintegrasikan siaran televisi, video streaming melalui Hulu dan media sosial. Produser acara, Michael Herwick, menegaskan bahwa generasi sekarang tak hanya berada di depan TV, tapi juga di Facebook dan Twitter. Prosumer telah masuk ke dunia TV dan menjadikan interaksi langsung dengan audien sangat penting.

Norma 'duduk manis' depan TV tak berlaku lagi. TV bagi generasi saat ini menjadi salah satu media interaksi dan kolaborasi yang berkomplemen dengan media digital. Ketika menyaksikan TV, fokus kita turut terbagi ke smart phone di tangan dengan aplikasi Facebook atau Twitter.

Pada 2010 lalu siaran langsung Super Bowl XLIV di AS mencatat sejarah dengan berhasil menangguk 106,5 juta penonton. Audien tak hanya riuh di ruang keluarga atau bar. Tapi juga menciptakan eforia di dunia maya melalui Twitter, Facebook dan blog ketika siaran sedang berlangsung.

Hal yang sama juga kita lihat dalam siaran langsung Academy Awards, Grammy Awards, atau kontes bakat. Audien ingin merasa lebih terhubung dengan acara itu sendiri dan memberikan kontribusi terhadap program kesayangannya.

"Kita tidak lagi bicara soal program TV, tapi bicara kepada program TV," tulis James Poniewozik, kolumnis media di Time Magazine.

Dunia prosumer ini menemui jalannya di ranah OD. Melalui smart TV, audien bisa memberikan rating terhadap program OD atau VOD yang ditawarkan sehingga memudahkan sesama audien memilih konten.

Seperti juga di Youtube, setiap orang melalui smart tv bisa memberikan komentar atas VOD yang baru ditontonnya. Bahkan Hulu mengizinkan audiennya untuk membuat subtitle film dalam bahasa mereka masing-masing.

Dengan demikian terciptalah sebuah ekosistem big data yang terbuka dan kolaboratif antar audien. Tak ada lagi prime time layaknya TV linear. Setiap waktu adalah prime time dan semua orang bebas memilih waktnya sendiri.

Konten terbaik bukan lagi dipilihkan oleh stasiun TV, tapi dari hasil rekomendasi dan interaksi audien lain. Yang kemudian akan kita lihat adalah konten OD yang bisa difilter berdasarkan most viewed, most rated, most favorited atau most commented.

KEBANGKITAN AUDIEN PROSUMER
Dari sebuah desa di Karanganyar Jawa Tengah, Sudiyono berhasil mengubah hidupnya dari videografer jasa shooting kecil menjadi sebuah 'production house' terkenal di Youtube berpenghasilan puluhan juta per bulan.

Awalnya Sudiyono iseng mengunggah video liputan pribadinya di Youtube. Berangsur-angsur audien di kanalnya membanjir hingga bisa menghasilkan pendapatan Rp40 juta per bulan dari iklan yang ditayangkan Youtube pada videonya.

Sekarang kita kenal istilah Youtuber sebagai orang yang aktif memproduksi konten di Youtube. Di Indonesia, ada beberapa jawaranya. Eka Gustiwana si spesialis speech composing menurut perhitungan Socialblade menghasilkan US$ 684 - 10.900 per bulan.

Sementara Last Day Production yang terkenal dengan video humor gaya hidup anak muda, menghasilkan US$ 1.800 - 28.000 per bulan. Sedangkan Raditya Dika menghasilkan US$ 2.300 - 36.700 per bulan. Video dari kanal Raditya Dika di Youtube dalam 30 hari terakhir ini telah ditonton oleh 9,1 juta orang.

Kita tengah menyaksikan era dimana konten video tak lagi menjadi monopoli stasiun televisi atau production house mainstream. Sebaliknya, tidak jarang stasiun TV mengambil konten video dari media sosial. Bahkan ada beberapa program stasiun TV yang semua kontennya berasal dari Youtube.

Bagi pelaku bisnis stasiun TV atau production house, para Youtuber mungkin tak lebih dari sekumpulan amatir iseng. Namun bagi pengiklan, para amatir ini telah berhasil menciptakan komunitas pemirsanya sendiri dalam jumlah raksasa. Lalu kesanalah uang iklan mengalir.

Saat ini setiap orang mampu menciptakan konten videonya sendiri, mengkapitalisasinya serta menciptakan pendapatan dari sana. Stasiun TV hanya bisa 'pasrah' ketika terpaksa mengambil konten video dari seorang jurnalis warga tentang sebuah insiden. Sementara short movie berdurasi maksimal 10 menit mendapatkan makin banyak pemirsa. Di saat yang bersamaan, Facebook makin menggila dengan ditontonnya 8 miliar video di media sosial itu per hari!

Siksaan yang diberikan internet terhadap stasiun TV linear tak berhenti hanya di situ. Live show sebagai senjata pamungkas stasiun TV juga turut terancam dengan hadirnya Live Video di Facebook dan Periscope di Twitter yang membuat setiap usernya bisa melakukan siaran langsung.

Tak lama lagi menonton video yang disiarkan langsung oleh kawan kita di Facebook atau Twitter akan menjadi awam. Mulai dari laporan insiden, pertandingan olahraga, peristiwa penting dll.

Bila itu belum cukup menyiksa, bolehlah ditambahkan lagi dengan kamera 360 yang sudah mulai dijual massal. Kamera ini membuat pengambilan gambar menjadi 360 derajat sehingga pemirsanya bisa menyaksikan apa yang terjadi di sekeliling.

Fitur video di Facebook beberapa bulan lalu telah beradaptasi pada teknologi ini sehingga semua video 360 bisa ditayangkan di Facebook tanpa cela.

TELEVISI KITA DI MASA DEPAN
Perangkat TV tetap akan jadi pilihan dalam menyaksikan konten video karena ukurannya yang besar. Kebutuhan akan kualitas gambar yang jernih saat ini juga masih jadi faktor kemenangan TV terresterial dan kabel.

Namun kita bicara soal masa depan yang tak lama lagi, yakni ketika bandwith internet makin menyebar, sangat kencang dan tarifnya kian terjangkau. Yang dengan itu transmisi video berkualitas tinggi atau high definition via internet tak lagi jadi masalah.

Tarif layanan per bulan TVOD/VOD plus koneksi internet 10 Mbps di rumah saya hanya selisih Rp75.000 dibandingkan tarif layanan TV kabel yang saya gunakan sebelumnya dan tak memberikan akses internet. Padahal saya tinggal jauh di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Di kota besar seperti Jakarta tarif TVOD/VOD plus koneksi internet ber-bandwith besar malah lebih murah daripada tarif TV kabel. Tidak lama lagi tarif ini semakin turun, dan begitu juga dengan harga smart tv.

Sudah sangat terang-benderang pula terjadi pergeseran besar dalam industri TV karena serbuan internet. Ekosistem siaran TV linear akan punah berganti dengan OD yang menyerahkan kontrol sepenuhnya pada pengguna.

Ceruk yang tersisa bagi stasiun TV linear hanyalah siaran langsung bernilai tinggi seperti pertandingan olahraga, acara penghargaan atau ajang pencarian bakat. Selebihnya, masa depan dunia pertelevisian adalah persoalan mengantarkan internet ke sebuah layar besar bernama TV.

Bicara internet, ia adalah pintu terbuka bagi siapa saja. Ia tidak bekerja seperti transmisi TV tradisional yang frekuensinya diperebutkan sana-sini dan diatur pemerintah. Pintu itu bisa dimasuki siapapun yang menyediakan konten seperti Eka Gustiwa, Raditya Dika, Last Day Production atau Sudiyono.

Dengan expertise-nya dibidang video content creation, kepemilikan modal raksasa dan penguasaan terhadap talent, stasiun TV punya kemampuan besar dalam menciptakan konten-konten berkualitas. Kelak stasiun TV lebih bertindak sebagai production house ketimbang pemilik/pengelola frekuensi dan sebuah stasiun. 

Mereka akan bermetamorfosis menjadi pencipta konten spesifik seperti National Geographic atau History Channel, namun dalam ekosistem distribusi OD yang tak lagi live secara linear. Indahnya lagi, kelak stasiun TV akan berkolaborasi dengan para 'amatir' pemilik konten berkualitas dengan menayangkan video mereka di kanal stasiun TV dengan sistem bagi hasil seperti Google Adsense.

Sementara distribusi iklan TV juga akan berubah dalam ekosistem OD. Iklan akan dibenamkan langsung atau embedded ke tayangan. Bisa juga seperti yang dilakukan Hulu dan Youtube dimana ketika iklan tayang audien tidak bisa melakukan skip atau fast forward.

Pengiklan akan memanfaatkan betul big data yang tersedia dalam ekosistem OD. Dengan itu kita hanya akan melihat iklan TV yang relevan dengan demografi, lokasi dan interestkita.

***

Internet telah menjungkirbalikkan banyak hal, mengubah perilaku manusia serta mengubah wajah lansekap industri. Hal-hal asing terjadi dan membuat industri besar termasuk pertelevisian menjadi gugup. Besarnya organisasi dalam industri TV juga membuat mereka kesulitan bermanuver dalam beradaptasi.

Namun masa depan TV adalah horison yang cerah, tidak seperti koran. Pelakunya tak perlu berpindah medium dan mengucapkan selamat tinggal pada layar. Yang perlu mereka lakukan adalah perubahan model bisnis, pola distribusi, metode kolaborasi, serta beradaptasi pada cara baru mengkapitalisasi konten.

OD adalah masa depan di kerajaan pertelevisian. Stasiun TV linear yang tak mau berubah akan segera jadi raja tua yang terbuang. (***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun