Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Jurnalisme Digital: Perlawanan dan Masa Depan Kita

7 Januari 2016   15:33 Diperbarui: 24 Mei 2018   09:07 2162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang dengan laptop berpikir mereka jurnalis. Dan setiap orang dengan kamera mengira mereka fotografer."

Helen Thomas adalah nama paling populer di ranah pemberitaan Gedung Putih. 57 tahun ia bertugas sebagai koresponden di sana. Mulai dari zaman Presiden Eisenhower sampai periode kedua pemerintahan Obama. Helen baru pensiun tahun 2011 di usianya yang ke-91 tahun, dua tahun sebelum wafat. Ia mengutarakan kecemasannya soal degradasi jurnalistik di era digital dan begitu mudahnya seseorang mengaku-aku sebagai jurnalis.

"Mengerikan ketika anda bisa mengacaukan hidup orang lain tanpa menyadarinya. Tanpa penyuntingan, tanpa standar, tanpa etika. Di zamanku, ketika ibumu mengatakan ia mencintaimu, seorang jurnalis akan menverifikasinya. Sekarang, begitu banyak surat kabar bagus yang terancam tutup," keluhnya dalam sebuah wawancara di tahun 2009.

Yang mengiringi perbincangan tentang menjelangnya kepunahan media cetak, khususnya koran, oleh gerusan media digital atau New Media adalah terancamnya kualitas jurnalistik. Kita tak bisa mengabaikan fakta bahwa dalam masanya koran telah menghasilkan begitu banyak konten yang mengekspos masalah di masyarakat kita dibanding medium lain, dan menjadi salah satu pilar perubahan sebuah bangsa. Keprihatinan akan matinya koran sekaligus kecemasan akan kematian jurnalisme arus utama yang dianggap sejati.

Dunia digital telah mengubah nyaris semuanya. Tak hanya setiap orang mampu menciptakan kontennya sendiri tanpa mesti terikat dengan kaidah, etika dan kepatutan jurnalistik -- yang semua itu digantungkan pada mekanisme self-control yang rentan. Perubahan besar juga terjadi bagaimana informasi didistribusikan, dikonsumsi, perilaku membaca, dan model bisnis. Satu sisi internet adalah mesin demokrasi dan kemerdekaan manusia atas informasi. Di sisi lain konten digital -- yang dalam tulisan ini kita sebut jurnalisme digital -- dihadapkan pada banyak pertanyaan.

Bagaimana kelak pranata sosial kita mengatur soal informasi apa yang layak dibagi dan penting bagi orang lain?

Apa yang kelak terjadi dalam era demokrasi informasi ini ketika mekanisme penyaringan informasi tradisional untuk akurasi, keberimbangan dan standar jurnalistik menjadi hilang?

Apakah profesi wartawan, khususnya yang investigatif, akan sirna dan tergantikan oleh buzzer?

Ketika tampaknya tak ada konten digital yang bisa cukup dipercaya, lalu siapa yang bisa kita percayai?

Akankah desentralisasi media akan menyebabkan balkanisasi (pertentangan yang tajam) dalam perspektif dan nilai yang dianut manusia?

HAK ATAS ILMU PENGETAHUAN DAN MONOPOLI KEKUATAN

Mempelajari karakteristik teknologi adalah upaya memahami perilaku masyarakat dan menguak rahasia sejarah. Profesor bidang ekonomi politik dan pionir dalam teori media dari University of Toronto, Harold Innis, mengatakan segala bentuk baru komunikasi dan medium informasi akan menciptakan sebuah kekuatan sosial baru yang melawan monopoli kekuatan lama. Tidak jarang kekuatan sosial baru itu bermetamorfosis menjadi institusi yang ikut memonopoli kekuatan dan berbagi kekuasaan dengan penguasa eksisting. Entitas yang diperebutkan adalah ilmu pengetahuan.

Harold mencontohkan apa yang terjadi di Mesopotamia pada tahun 3100 SM. Kuil terbesar dan paling dihormati di kala itu adalah yang memiliki tanah kelai paling banyak. Karena di atas kelai itulah para pendeta menatahkan ilmu pengetahuan. Begitu pula yang terjadi di Babilonia dan Nineveh pada tahun 2300 SM. Kuil dan pendeta yang paling dihormati adalah yang menyimpan perkamen terbanyak. Ia berlanjut sampai masa Alexander Yang Agung dengan perpustakaan raksasa Alexandria hingga Archivum Secretum Apostolicum Vaticanum di Vatikan.

"Ini bukan buku, melainkan senjata. Senjata yang menembak langsung ke dalam hati dan pikiran mereka yang lemah dan putus asa. Benda ini akan memberikan kita kontrol terhadap mereka: sebuah kota hingga bangsa," ujar Carnegie dalam film The Book of Eli yang mengisahkan perebutan buku Alkitab terakhir di dunia.

Barang cetakan telah menghadirkan tekanan baru dalam kebangkitan peradaban dan memainkan peranan penting dalam pengelolaan kekuasaan. Seiring berjalannya waktu, hadirlah radio dan televisi sebagai medium informasi yang memperlemah pemujaan terhadap barang cetak, serta membuka jalan bagi ideologi baru. Setiap masa transisi akan membawa goncangan kultural terhadap monopoli atau oligopoli eksisting. Di sini semua pihak sedang memperebutkan penguasaan sumberdaya terbesar di alam semesta: ilmu pengetahuan.

Salah seorang pendiri Amerika Serikat (AS), James Madison, 200 tahun yang lalu menulis: "Hak atas kebebasan publik untuk menilai bertumpu di atas kemerdekaan komunikasi antarmanusia. Kebebasan itu adalah penjaga bagi hak-hak lain milik rakyat."

Selama berabad-abad koran telah berfungsi sebagai kesadaran publik, instrumen dalam mempromosikan demokrasi yang ideal, perangkat kita melawan korupsi serta memperkuat akuntabilitas dan hak-hak warga atas informasi. Disebut wartawan senior Kompas, Bre Redana, jurnalistik adalah konfrontasi kesadaran. Sekian lama mereka yang berada di news room setia pada sebuah kredo: mengingatkan yang berkuasa dan mengasihi yang papa.

Namun selamanya pengelola media dihadapkan pada godaan-godaan untuk menyalahgunakan kekuatan mereka atas penguasaan informasi dan ilmu pengetahuan. Godaan itu membuat mereka tak selalu setia pada apa 'yang benar' dan 'yang penting'. Tapi juga 'yang menarik', 'yang membuat nyaman' dan 'yang menguntungkan'. Karena di balik ketidaksetiaan itu tersedia uang dan kekuasaan yang besar.

Kita semua merasakan dan melihat sendiri bagaimana pelaku media berselingkuh dengan pemilik kekuasaan dan modal, mengkhianati kita yang telah mengamanatkan mereka atas pemenuhan hak informasi dan ilmu pengetahuan yang benar dan adil. Hingga kita sadar bahwa pemenuhan hak atas informasi dan ilmu pengetahuan itu menjadi tugas terlampau besar untuk ditumpukan hanya di pundak institusi. Sampai New Media hadir, kita menggalang kekuatan besar untuk merebutnya kembali.

Kehadiran kita di dunia konten digital nyatanya juga sebagai bentuk kemarahan, ketidakpuasan dan perlawanan atas pelayanan media terhadap pemenuhan hak informasi dan pengetahuan yang disalurkan lewat karya jurnalistik itu.

MEDIA MAINSTREAM DALAM PUSARAN POROS KEJAHATAN

"Media yang independen adalah media yang gulung tikar".

Demikianlah diucapkan seorang bos besar jaringan media nasional Indonesia dalam sebuah rapat internal redaksi yang saya hadiri di tahun 2004. Waktu itu saya masih wartawan culun dan menganggap -- seperti juga ribuan karyawannya di seluruh Indonesia -- Si Bos Besar layaknya dewa yang tak pernah salah. Apa yang diucapkan Si Bos sebenarnya adalah sebuah strategi bertahan. Setidaknya bertahan untuk tetap makin kaya. Itu adalah langkah paling umum bagi media yang sejak lahir telah terperangkap dalam oksimoron: satu sisi mengemban tugas sosial, satu sisi mesti hidup sebagai entitas bisnis.

"Kepentingan utama sebuah bisnis adalah menciptakan dan melayani konsumen," kata Peter Drucker, Bapak Manajemen Modern.

Konsumen utama media adalah pengiklan sebagai sumber utama pendapatan mereka. 70-80% pendapatan rata-rata koran berasal dari iklan, seperti yang saya jelaskan dalam tulisan Menyelamatkan Koran dari Kiamat ini. Lihatlah halaman koran anda. Ia didesain untuk menjadikannya atraktif bagi iklan. Tidak jarang separuh halaman depan untuk ruang iklan. 'Membuang' berita adalah pekerjaan sehari-hari di news room bila iklan mendadak masuk dan meminta space di halaman.

Tentu saja masih banyak awak redaksi yang tetap setia menghadirkan karya jurnalistik bernilai tinggi. Namun modus 'memeras' pengiklan lewat berita juga sangat awam. Bila seorang prospek enggan beriklan, digebuk sampai berdarah-darah sampai akhirnya mau beriklan. Kalau Pemda menolak beriklan advertorial kontrak jangka panjang yang nilainya miliaran itu, maka setiap hari beritanya menghajar pejabat. Baru lenyap ketika sudah dapat jatah anggaran. Kita kenal dengan istilah 'wartawan bodrek' sebagai istilah bagi wartawan yang suka memeras narasumber demi uang atau kepentingan pribadi. Namun kini sekupnya jauh lebih besar: 'media bodrek'. Cara bermainnya makin canggih, samar dan terlembaga.

Apakah masyarakat tidak tahu akan kenyataan ini? Pasti tahu. Setidaknya tahu dari kualitas jurnalistik media mainstream yang makin menurun dari waktu ke waktu.

Masyarakat juga kecewa dengan media mainstream dengan 'jurnalistiknya yang agung' melewatkan begitu banyak momen penting dalam sejarah. "Dalam satu dekade, kita menyaksikan media tradisional melewatkan 2 peristiwa penting dalam sejarah: Perang Irak dan resesi 2008," ucap Arianna Huffington, pendiri sekaligus CEO blog crowdsourcing The Huffington Post.

Media gagal mengungkapkan muslihat George W Bush dalam melancarkan Perang Irak yang bermotivasi mencari senjata pemusnah massal dan justru tidak ditemukan. Kemana perginya jurnalistik yang hebat itu dalam melakukan due dilligence terhadap Wall Street sebelum terjadinya crash ekonomi 2008? Kenyataan yang menyakitkan adalah media yang rajin meliput di Wall Street memiliki kepentingan pribadi di sana dan mengkhianati tugasnya memenuhi hak informasi warga.

Hari-hari belakangan kita menyaksikan atas berubahnya institusi dengan kekuatan monopoli informasi dan ilmu pengetahuan itu dari agen perubahan menjadi bagian dari axis of evil atau poros kejahatan.

MEDIA PARTISIPAN DALAM DUNIA PERSPEKTIF

Warga Amerika Serikat berduka atas wafatnya Walter Cronkite tahun 2009. Penyiar televisi di program acara CBS Evening News itu disebut sebagai 'Orang Paling Dipercaya di AS'. Sedari dulu warga AS terbelah dua dari aspek sosial politik: pendukung Partai Republik dan Partai Demokrat. Mirip pendukung Jokowi dan Prabowo kalau di sini. Media AS juga ikut mempolarisasi diri. Stasiun televisi FOX di pihak Republik dan The New York Times di sisi Demokrat.

Dalam obituarinya untuk Walter, surat kabar Journal Star menulis, "Dalam atmosfer hiper-kompetitif media seperti sekarang, tak ada satupun yang bisa menghadirkan kredibilitas melintasi batas antargolongan si kaya-miskin atau Republik-Demokrat, dan membuat kita semua berkata, 'Nah, itulah yang benar!'".

Bukankah kita tengah hidup di dunia yang bebas memilih? Kita bisa memilih tinggal di suatu tempat karena penduduk sekitar beragama yang sama dengan kita. Kita memilih tempat kerja karena ras kita sama dengan ras mayoritas pekerja di sana.Kenapa juga kita tidak memilih berita yang sesuai dengan pandangan hidup dan apa yang mau kita percayai?

"Orang saat ini bisa mengonsumsi media dimana mereka mendapatkan kenyamanan. Ketika seorang Republikan menonton FOX, apakah mereka ingin mendapatkan informasi atau hanya ingin merasa nyaman?" tulis Tomer Strolight, Presiden Torstar Digital.

Media arusutama belakangan hanya dijadikan sebuah perangkat advokasi untuk memperkuat perspektif eksisting dua kubu besar di masing-masing kutub. Dalam masyarakat yang terpolarisasi dan terbalkanisasi secara tajam seperti di Indonesia, ruang tengah itu nyaris mustahil diisi. Tak ada figur atau media yang bisa punya kedudukan sama seperti Walter Cronkite di AS. Beberapa media terus berjuang mengisi ruang tengah itu, atau mengklaim demikian, tapi tetap tak berhasil menuai kredibilitas sebagai pihak tengah.

Sekuat-kuatnya Tempo atau Kompas menghadirkan karya jurnalistik yang adil dan bertanggungjawab, pihak 'anti-Jokowi' akan tetap menilai mereka media partisipan Jokowi. Sama halnya para pendukung Jokowi tidak akan percaya dengan apapun argumen dari TvOne yang mengatakan bahwa mereka sekedar menjalankan tugas jurnalistik tanpa agenda gelap apapun. Dalam kondisi sosial politik yang balkan seperti ini, tetap pada posisi tengah cenderung bukan pilihan bisnis yang menguntungkan. Kecuali untuk beberapa media yang sudah teramat kuat dengan brand-nya di masyarakat sebagai penyedia karya jurnalistik yang adil.

Yang kemudian muncul adalah 'media yang membuat nyaman' dan secara spesifik melayani kebutuhan perspektif masing-masing kutub. Misal, ada koran 'pro-Jokowi' dan 'anti-Jokowi'. Ada situs 'pro-Syiah' dan 'anti-syiah'. Ada situs spesialis penyebar hoax dan penangkalnya. Bila itu masih belum cukup, setidaknya ada 3 pemilik stasiun televisi besar di Indonesia yang mendirikan partai.

Apa yang disebut oleh koran bahwa mereka masih setia pada verifikasi, otentik dan kedalaman -- sesuatu yang dianggap tidak dimiliki oleh konten digital -- memang benar adanya. Namun jurnalistik tak sekedar 5W+1H dan verifikasi. Ia berangkat dari konfrontasi kesadaran, tanggungjawab kepada masyarakat dan adil sejak dalam pikiran. Bahwa jurnalistik adalah sebuah jalan menemukan kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Kebenaran tak hanya bisa ditemukan lewat jurnalistik, dan tak ada satupun bentuk jurnalistik yang disepakati sebagai yang paling absah.

5W+1H hanya akan jadi sekedar perangkat formal yang bergantung dari framing, niat dan motif. Sehingga yang terpenting bukan sekedar jurnalistiknya, tapi politik keredaksian. Itu sebabnya sekuat-kuatnya MetroTV (misalnya) menjalankan 5W+1H, para 'anti-Jokowi' tetap akan melihatnya sebagai jurnalistik yang cemar.

"Kehadiran kami bukan soal menyelamatkan atau membunuh koran. Motiviasi kami adalah menyelamatkan jurnalistik," tegas Arianna Huffington.

JURNALISME DIGITAL SEBAGAI JURNALISME ALTERNATIF

Awalnya Kurt Cobain adalah salahsatu cela di dunia musik. Ia menjungkirbalikkan tatanan circle chord yang umum berabad-abad. Penggunaan scale dalam melodi dan line vocal juga dicampur seenaknya. Aransemen pada sound jauh dari layak bila dibandingkan dengan Led Zeppelin, Black Sabbath, apalagi Rolling Stone. Kurt dan gerombolannya adalah orang-orang bawah tanah dengan perangkat musik murah yang seenaknya memporakporandakan tatanan dalam genre musik. Tak ada satupun genre bisa ditempelkan bagi kelompok ini.

"Musik bukan skill atau nama yang mereka sematkan padamu. Musik adalah emosi yang bebas," kata Kurt.

Yang bermunculan setelah Kurt Cobain dengan Nirvana-nya adalah Pearl Jam, Radiohead, Sonic Youth, hingga Arcade Fire. Tak ada satupun genre musik mainstream yang menyatukan mereka. Sehingga orang-orang menyebutnya sebagai Musik Alternatif yang booming mulai era 90-an. Bila musik Nirvana disebut lebih dekat ke rock sehingga disebut Alternative Rock, maka bermunculan pula musik alternatif lain seperti Jamiroquai di genre Alternative Jazz. Namun semua aliran-aliran 'nyeleneh' ini diidentifikasikan dalam sebuah kata generik: Alternatif.

Manusia dan peradaban selalu memunculkan hal-hal baru yang sebelumnya tidak terpetakan. Ilmu pengetahuan, rasa dan karsa, telah membuka dunia-dunia baru yang bahkan tidak klop samasekali dengan tatanan lama. Tentu akan ada chaos dan perlawanan dari pemilik, pengelola dan penganut pranata lama. Tapi perubahan mana yang tidak?

Simaklah kisah Kompasianer Darwin Arya ini. Melihat tukang terompet dikerumini polisi adat, ia menyebut, 'insting jurnalistik saya menyala'. Padahal Darwin bukan wartawan, bukan karyawan perusahaan pers. Namun ia membuktikan bahwa sesuatu yang disebut 'jurnalistik' itu bukan properti ekslusif wartawan. Ia kesadaran yang berangkat dari keingintahuan dan pemenuhan hak atas informasi. Sesuatu yang menjadi fitrah manusia.

Begitu pula ketika ia ditanya kartu pers oleh aparat, yang jelas tak punya. Untung saja Darwin tak ditangkap karena dianggap wartawan gadungan. Ketika ia menyebut dirinya jurnalis warga, orang tertawa. Kasihan betul nasib kawan kita satu itu.

Ketika AS dilanda krisis ekonomi 2009 yang turut menyebabkan bangkrutnya raksasa otomotif General Motor (GM), para blogger di Huffpo bekerjasama membuat peta online interaktif lokasi dealer GM yang tutup. Seorang blogger Huffpo juga berhasil mendapatkan rekaman pembicaraan internal rahasia institusi keuangan raksasa Morgan Stanley yang menyebut bonus sebagai 'hadiah retensi' (retention award). 

Ketika itu Morgan Stanley baru mendapatkan bailout $60 miliar dari pemerintah AS dan membayar 'hadiah retensi' sangat besar kepada penasihat keuangan mereka. Luar biasa heboh dan marahnya warga AS ketika mengetahui uang pajak mereka dihambur-hamburkan kepada institusi yang menurut mereka ikut bertanggungjawab atas resesi ekonomi.

Tak seperti cara jurnalistik tradisional bekerja dengan perangkat konvensional. Netizen menggunakan berbagai instrumen baru dalam menciptakan kontennya: foto, video, audio, percakapan media sosial, sensor hingga geospacial.

Lalu apakah ini jurnalistik? Ya, karena ia merupakan kegiatan pengumpulan informasi sebagai proses penciptaan sebuah ulasan yang disampaikan ke publik.

Apakah ia bersandar pada pakem jurnalistik lama yang mayoritas dijalankan oleh institusi media? Tidak.

Apakah kegiatan dan karya jurnalistik yang dihasilkan netizen ini melahirkan perubahan yang lebih baik untuk masyarakat? Jelas.

Dalam masa-masa Pilpres AS 2008, Huffpo menggelar proyek Off The Bus. NamaOff The Bus ini untuk menyindir para wartawan media mainstream yang setiap pemilihan umum selalu ikut rombongan bus capres, cagub, calon anggota senat atau kongres, dan dianggap kehilangan objektivitas. Huffpo mengerahkan lebih dari 12.000 jurnalis warganya untuk memasang mata dan telinga selama masa kampanye -- meski tak ikut bus capres -- lalu membuat ulasan. Dalam Pilpres 2008 tersebut Huffpo menjadi media paling populer di kategori politik dan menjadi salah satu referensi utama capres serta tim suksesnya mempertajam strategi.

Di Kompasiana tercinta kita ini berkumpul 300.000 orang seperti Darwin Arya dan jumlahnya terus naik. Setiap hari kita mempublikasikan 700-1.000 tulisan yang sebagian besar merupakan karya jurnalistik: berita, feature dan opini. Angka yang menyaingi jumlah seluruh konten koran harian besar di Indonesia bila digabungkan.Setiap dari kita adalah 'sensor yang hidup' dengan 'insting jurnalistik yang menyala'. Hadir dari beragam latarbelakang pendidikan, ras, agama, pilihan politik, profesi, dan tak terikat pada politik keredaksian apapun.Media telah memasuki era prosumer. Gelombangnya bergemuruh ke seluruh jagad digital:blog crowdsourcing Indonesia lainnya, blog pribadi, dinding Facebook, linimasa Twitter hingga kanal di Youtube.

Tentu saja terdapat banyak noise ketimbang voice dalam gemuruh tersebut. Sama halnya seperti konten media mainstream, berapa persen kontennya yang kita anggap sebagai voice? Mungkin hanya satu dua. Sisanya noise yang kemudian kita tinggalkan, tak kita tonton atau dengarkan.

Namun seperti juga sifat voice di media mainstream, voice dalam konten atau jurnalisme digital juga bisa menjadi pemicu sebuah peristiwa atau perubahan besar. Seperti yang terjadi setelah tulisan Rumah Kaca Abraham Samad tayang dan Buka Dulu Topengmu Sudirman Said. Ada juga tulisan Jilbab Hitam soal Tempo dan yang belakangan ramai adalah tulisan Mawalu soal Herman Hery.

Tak ada yang bisa membendung kekuatan kerumunan ini. Bila ia tak bisa disebut sebagai jurnalistik yang sebenarnya, maka sebutlah sebagai jurnalisme digital atau jurnalisme alternatif. Atau apapun itu.

DUNIA PARA AMATIR YANG MERESAHKAN

Andrew Keen, penulis buku The Cult of the Amatuer: How Today's Internet Is Killing Our Culture menegaskan bahwa dunia user generated content telah menghancurkan jurnalisme yang sejati dan masyarakat.

"Makin banyak lapisan antara penulis dan konten yang tayang, itu lebih baik. Karena itu berarti ada banyak penyuntingan, koreksi dan pengembangan," tulis Andrew yang secara tegas mengkategorikan pelaku user generated content sebagai amatir.

Tentu kita tak bisa menyalahkan Andrew begitu saja, meski ia memang salah. Sekian lama institusi media mainstream 'mendikte' kita apa konten yang layak dan tidak. Media tradisional cenderung tak ingin kehilangan kontrol dalam mendesiminasi dan mengolah informasi menjadi produk siap saji yang mereka anggap layak untuk masyarakat. Padahal, dari hari ke harikemampuan netizen dalam mengelola kualitas konten akan jauh lebih baik ketimbang media mainstream.

Orang seperti Andrew mencoba mendikte kita soal mana yang bisa disebut berita dan mana yang tidak. Dan semua itu digantungkan kepada para pribadi di dalam sebuah institusi bisnis. Sementara kita memperlakukan internet sebagai media atau tempat untuk saling bebas berbincang dan menentukan sendiri mana yang penting dan yang tidak.

Produk jurnalisme digital sebagai jurnalisme alternatif memang sangat banyak yang masih jauh dari kaidah jurnalistik yang sudah baku. Sama halnya ketika setiap hari para pengguna Twitter melaporkan situasi jalan di jejaringnya, kondisi cuaca, tweet laporan dari lokasi bencana, atau seseorang yang menuliskan analisanya terhadap ekonomi di dinding Facebook. Mengidentifikasikan konten semacam itu sebagai karya jurnalistik atau tidak, tak bisa disimpulkan lewat dialog 1-2 hari.

Seperti juga jurnalisme tradisional yang selalu dihadapkan dengan tantangan-tantangan baru, begitu pula dengan jurnalisme digital. Dengan kemunculan entitas baru di dunia konten dan jurnalisme digital sebagai jurnalisme alternatif dengan mempertimbangkan gelombang serta dampaknya, dialog soal reidentifikasi, redefinisi maupun kaidah jurnalistik lama adalah hal yang tak terlekkan lagi.

KEBANGKITAN JURNALIS ENTREPRENEUR DAN MODEL PEMBIAYAAN BARU

Kisah Darwin Arya dengan para pecalang di atas memberitahu kita bahwa jurnalistik hanya dianggap layak ketika ia dijalankan oleh seorang profesional. Kalau mau 'dikompetisikan' di depan si pecalang, Darwin tentu kalah oleh saya yang punya kartu pers dan Kartu Wartawan Utama dari Dewan Pers. Saya pasti dianggap profesional dan si Darwin tidak.

Namun apa sesungguhnya profesional dalam jurnalistik itu? Di koran tempat saya bekerja, seorang bocah fresh graduate yang melamar jadi wartawan bisa langsung mendapat kartu pers setelah menjalani program pelatihan 3-7 hari. Ia langsung jadi seorang profesional. Yang kalau dihadap-hadapkan dengan Darwin, si bocah fresh graduate pasti menang di dapan narasumber. Meski sebenarnya produk jurnalistik yang dihasilkan Darwin jauh lebih bagus. Tidak sedikit pula media cetak yang langsung memberikan kartu pers kepada para wartawan magang di hari pertama mereka bekerja. Bila kartu pers dan perusahaan media yang jadi ukuran, alangkah mudahnya jadi seorang profesional di dunia media mainstream ini.

Bila profesional hanya disandarkan pada sebuah keadaan dimana sebuah kegiatan dijadikan profesi untuk mencari penghasilan, bukankah blogger juga mendapatkan penghasilan dari platform dan aktivitasnya?

Di AS, lebih dari 28% blogger mencari nafkah lewat blogging. 40% blogger menjalin kerjasama bisnis dengan media tradisional. Sebagian besar blogger pernah mendapatkan pelatihan jurnalistik dan bersertifikasi. Sehingga dikotomi yang coba dibentuk oleh Andrew Keen di atas tidak relevan lagi. Kini seorang blogger telah menjelma menjadi bentuk yang belum pernah ada sebelumnya: jurnalis entreprenuer. Tak terikat dengan kantor berita manapun, bebas, tapi mendayagunakan kemampuannya untuk mencari nafkah.

Model pembiayaan dan penghasilan bagi para jurnalis digital kini juga memasuki era baru. Banyak lembaga-lembaga filantropi NGO yang memasok dana bagi kegiatan jurnalistik digital, terutama bidang jurnalistik investigatif. Maret 2009 Huffpo menggelontorkan dana $1,75 juta atau Rp25 miliar untuk membiayai kegiatan jurnalistik investigasi para blogger-nya.

"Kami bukan hanya ingin menyelamatkan jurnalistik investigasi, tapi juga memperkuatnya," cetus Arianna Hufinggton.

Mengapa pembiayaan atas peliputan investigasi ini sangat penting di dunia jurnalistik? Karena (sangat) mahal. Namun ia diperlukan sebagai produk informasi yang membongkar kejahatan-kejahatan besar di lingkungan korporasi dan pemerintahan yang berdampak luas bagi masyarakat.

Jurnalistik investigasi dilakukan dalam waktu panjang, intens dan mesti meliput ke banyak tempat terpisah. Perangkat yang digunakan juga tidak murah. Di sisi lain, dengan turunnya bisnis koran membuat perusahaan harus memotong anggaran, termasuk anggaran investigasi. Itu sebabnya dari waktu ke waktu makin sedikit koran yang menayangkan berita investigasi.

Lalu bila bukan koran yang melakukannya, siapa lagi? Netizen!

Seperti juga Huffpo, ProPublica juga memiliki program Investigative Journalism Fund yang mengumpulkan dana dari semua pihak untuk membiayai peliputan investigasi. Berkat dana inilah Sheri Fink, penulis di ProPublica meraih penghargaan jurnalistik Pulitzer di tahun 2010 atas tulisannya berjudul The Deadly Choices at Memorial.

MENGHADIRKAN TENAGA BARU LEWAT KOLABORASI

Tahun 2009 surat kabar Telegraph di Inggris memberitakan soal pengeluaran besar-besaran dan sangat mencurigakan dalam kampanye pemilu. Wartawan Telegraph mendapatkan informasi tersebut dari dokumen yang bocor dan menimbulkan kemarahan besar masyarakat. Pemerintah Inggris meresponnya dalam bentuk mempublikasikan 1 juta lebih dokumen pindaian secara online. Bagi Telegraph, ini merupakan pukulan balasan dari pemerintah dimana mereka dihadapkan pada 'tsunami dokumen' yang harus mereka verifikasi untuk membuktikan berita mereka. Dengan mengandalkan tenaga karyawan, penelitian akan dokumen itu bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Namun, The Guardian sebagai kompetitor utama Telegraph, lebih cerdik. Mereka mengunduh semua dokumen itu, mengunggahnya kembali di situs mereka dan meminta semua orang menverifikasi 1 juta dokumen tersebut secara bersama-sama. Pengunjung situs bisa menandai setiap dokumen dengan tanda 'menarik', 'tidak menarik', 'menarik tapi sudah diketahui' dan 'investigasi ini!'. Dalam 18 jam, 20.000 pengunjung telah menverfikasi 170.000 dokumen, yang seluruhnya selesai dalam waktu kurang dari 4 hari. Biaya yang dikeluarkan The Guardian untuk proses kolaborasi ini hanya $ 150, namun berhasil mengungkap banyak skandal yang dilakukan di pembiayaan pemilu di Inggris.

Hal yang mirip juga dilakukan oleh Ainun Najib yang bersama puluhan voluntir menjalankan KawalPemilu, situs agregator perolehan suara Pilpres 2014, dan diverifikasi bersama oleh ribuan orang. Yang dilakukan Ainun Najib cs telah membawa kualitas demokrasi Indonesia yang lebih advance.

Demikianlah yang disebutkan COO Kompasiana Kang Pepih Nugraha dalam tulisannya Bukan Senjakala Kami. Kesadaran akan pentingnya berkolaborasi dengan para smart mobs di luar dinding news room telah sampai ke Kompas. Seperti pada poin ke-2 rekonstruksi yang ditawarkan Ignatius Haryanto, aktivitas reporting menjadilebih partisipatoris dan kolaboratif antara para wartawan dengan para freelancer, staf di universitas, para mahasiswa dan masyarakat umum. Pentingnya kolaborasi dengan jurnalis warga disebutkan secara spesifik di rekonstruksi poin ke-6.

"Para blogger ini bisa menjadi bagian untuk memperluas jangkauan berita media mainstream dan ia bisa memberikan masukan, menambahkan, bahkan menjadi pengecek fakta lapangan," kata Ignatius seperti dikutip Kang Pepih.

***

Masa depan adalah dunia yang gilang-gemilang bagi para jurnalis digital yang menyebut diri mereka jurnalis warga atau blogger. Dunia dimana seseorang dengan sebatas perangkat komputasi dan sambungan internet bisa turut meningkatkan nilai, berbagi informasi dan ilmu pengetahuan, meningkatkan popularitas, dan semua itu bisa dikapitalisasi dalam jumlah yang tidak kecil. Bayangkan ekosistem informasi dan berita di masa depan dengan jutaan orang sebagai penulis di berbagai level. Mereka meunggah teks, video, audio, foto, peta dan menjadi 'sensor hidup' bagi semua peristiwa. Bagi para jurnalis digital disediakan peluang pendapatan yang bersumber dari iklan, advertorial, hingga honor jurnalisme investigasi.

Mereka tak tercegah dan terbendung lagi. Media tradisional yang bisa memenangkan persaingan masa depan adalah yang memiliki kompetensi dalam mengkurasi, mengkolaborasikan dan mengorkestrakan semua potensi itu menjadi sebuah nilai baru untuk ditawarkan kepada publik. Oh, sungguh dunia yang luar biasa di depan sana! (***)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun