Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Smart Grid: Lompatan Kuantum Era Green Economy

28 Desember 2015   09:00 Diperbarui: 30 Desember 2015   09:58 1630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SDA fosil seperti minyak bumi, gas alam dan batubara tercipta dari proses ratusan juta tahun. Masalahnya, kita mengeduknya 10.000 kali lebih cepat dibandingkan kemampuan alam menggantikannya kembali. Tak hanya mampu menghabiskannya lebih cepat, tapi juga membuang emisinya dalam jumlah raksasa yang mengakibatkan kerusakan iklim, tanah, udara dan air.

Bila itu belum cukup buruk, SDA fosil kerap diperebutkan lewat perang, digunakan untuk membiayai terorisme dan tirani pemerintahan, serta jalan menuju korupsi. Isu keamanan energi selalu mengemuka di setiap negara mengingat keterbatasan cadangan SDA fosil, kebutuhan yang selalu meningkat hingga volatilitas harga. Makin banyak minyak bumi, gas dan batubara dibutuhkan untuk menyalakan pembangkit listrik dan menjalankan mesin kendaraan. Dalam 30 tahun mendatang kebutuhan energi dunia meningkat dua kali lipat, sementara cadangan kian tipis. Menggantungkan kebutuhan energi hanya kepada energi fosil jelas sebuah langkah sabotase terhadap masa depan generasi kita.

Di sisi lain, jalan menuju revolusi energi masih sangat terbuka dan tersedia kompensasi yang sangat besar bagi pihak yang mampu mewujudkannya.

JALUR CEPAT EKONOMI HIJAU INDONESIA

Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah berada di jalur yang tepat dalam mengakselerasi perwujudan Ekonomi Hijau atau Green Economy di Indonesia. Pemerintah tak hanya mendorong, tapi juga mengayuh dengan kuat di jalur cepat.

27 Desember 2015 lalu Presiden meresmikan Independent Power Producer Pembangkit Listrik Tenaga Surya (IPP PLTS) 5 megawatt-peak (MWp), di Desa Oelpuah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Ini adalah PLTS terbesar yang pernah dibangun di Indonesia dan selesai 6 bulan lebih cepat dari target. Dibangun oleh PT Lembaga Elektronika Nasional (LEN) dengan biaya $ 11,2 juta, PLTS ini memiliki panel surya di lahan seluas 7 hektare. PLTS bekerja secara grid-connected. Artinya, PLTS ini tak memiliki baterai sebagai storage karena harganya masih mahal. Daya dari PLTS akan dialirkan langsung ke jaringan listrik utama untuk menambah pasokan dan bekerja secara pararel.

[caption caption="Presiden Jokowi menjawab pertanyaan wartawan setelah meresmikan PLTS terbesar di Indonesia, 27 Desember 2015. (sumber: Facebook Iskandar Zulkarnaen)"]

[/caption]

Memang masih tersentralisasi. Tapi kelak, PLTS grid-connected seperti ini bisa dibangun per kawasan, misal per kecamatan atau kelurahan. Atau bahkan per rumah. Warga tak perlu lagi menggunakan listrik dari PLN di siang hari. Ketika harga baterai sudah lebih terjangkau, pembangkit mandiri dalam bentuk smart grid sudah bisa diwujudkan siang dan malam.

"Nanti potensi energi ada dari angin, ombak, matahari, dan biomassa. Meskipun biayanya lebih mahal sedikit, saya anggap tak ada masalah. Kita memiliki kekuatan dan potensi yang luar biasa. Jangan hanya fokus pada batu bara. Nanti kalau habis, bingung kita," ujar Jokowi, saat memberikan sambutan peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Kamojang Unit 5 PT Pertamina di Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, 5 Juli 2015.

Insentif besar juga disediakan bagi pihak yang mengembangkan dan mengimplementasikan energi bersih di Indonesia. "Saya menyampaikan agar ke depan pembangkit listrik ramah lingkungan harus diberikan prioritas. Akan ada insentif," tambah Presiden.

Penerapan user generated energy (UGE) dan smart grid di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak 2013, namun baru dalam lingkup kecil dan sederhana. Bahkan menghasilkan surplus listrik yang sudah dijual ke PLN. Beberapa rumah di Menteng Jakarta telah menginstalasi panel surya dibantu PT Aruna Solar System Solutions. Salah satu rumah memiliki panel surya berkapasitas 6.120 watt, sementara pemakaian maksimal di rumah hanya 4.400 watt. Surya Supono, salah satu pemilik rumah, mengaku tak lagi jadi pelanggan PLN. Sebaliknya, ia adalah 'distributor' listrik bagi PLN dengan menjual listrik 600 kWH per bulan ke PLN senilai Rp 847.200.

[caption caption="Panel surya di rumah warga di Menteng Jakarta. Pemilik rumah tak lagi berlangganan listrik PLN, tapi justru memasok surplus listriknya kepada PLN dan menghasilkan pendapatan Rp800 ribuan per bulan. (sumber: Detikcom)"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun