[caption caption="Gojek dan penumpangnya. (sumber: garagara.id)"][/caption]Salah satu pengalaman paling berharga yang saya dapatkan di Kompasianival 2015 pada 12-13 Desember lalu adalah mencoba layanan Uber. Kebetulan Uber menjadi sponsor Kompasianival dan menyediakan kode promo Kompasianival2015 yang menambahkan kredit Rp100.000 untuk penggunaan pertama. Pertama kali saya gunakan dari hotel di Tendean menuju Gandaria City, mobil Uber yang menjemput saya adalah sebuah Toyota Camry gres! Alamak! Mirip pejabat dengan sopir pribadi saya dibuatnya! (maklum, saya orang dari Kalimantan yang udik). Karena kecanduan, besoknya saya coba lagi. Kali ini yang jemput Honda Civic baru yang masih benar-benar mulus. Dari Jl Tendean ke Gandaria City tarifnya cuma Rp39.000. Padahal dengan taksi resmi saya harus bayar Rp50.000.
Sebagai orang yang bolak-balik ke Jakarta saya juga sering menggunakan Gojek. Baik layanan Go-Ride, Go-Mart hingga Go-Food. Di Balikpapan, kota domisili saya, saat ini juga sudah ada Gojek mulai November. Secara umum saya puas dengan layanan, tarif dan kemudahan Gojek.
Hari-hari esok tampaknya jadi menjadi lebih berat bagi para pelaku usaha ride sharing atau berbagi tumpangan di Indonesia. Menyusul kabar Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan mengeluarkan larangan tegas beroperasinya angkutan umum berbasis aplikasi yang tidak berizin lewat Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015. Mereka menyebutnya sebagai angkutan daring atau online.
ANGKUTAN UMUM TIDAK SEDERHANA
Surat pemberitahuan di atas adalah tindaklanjut dari UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta PP 74/2014 tentang Angkutan Jalan. Kata Angkutan didefinisikan sebagai; "Perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan". Sementara kata Perusahaan Angkutan Umum diartikan sebagai; "Badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum".
Dua peraturan di atas mengenakan banyak sekali peraturan terhadap Perusahaan Angkutan Umum. Mulai dari standar keamanan, trayek, rekayasa lalu lintas, tarif, standar keselamatan, jam kerja, sertifikasi, asuransi, surat jalan, KIR, hingga ganti rugi. Regulasi ini menunjukkan bahwa perkara angkutan umum bukan persoalan sederhana. Ia menyangkut keamanan, keselamatan dan perlindungan publik yang tak hanya pengguna jasa angkutan. Namun juga publik luas keseluruhan pengguna jalan menyangkut rekayasa lalu lintas, trayek, kecepatan maksimal, hingga pajak. Bagi pengemudi, mereka hanya dibatasi bekerja maksimal 8 jam per hari. Saya setuju bahwa regulasi ini melindungi kepentingan publik dan negara secara luas. Mengingat jalan raya adalah fasilitas publik yang harus diatur dan dikelola penggunaannya. Bagi para pelanggar, peraturan di atas memberi ancaman pidana mulai dari 1 bulan sampai 2 tahun penjara, serta denda sampai Rp250 juta.
Mari singkirkan dulu bagian peraturan ini yang mengatur angkutan umum minimal harus beroda tiga, yang artinya sepeda motor tidak bisa dipakai sebagai angkutan umum. Tapi, siapakah yang pada Gojek dan Uber yang bisa didefinisikan sebagai angkutan umum atau perusahaan angkutan umum berdasarkan peraturan itu? Tidak satupun.
KOMUTER SOSIAL ADALAH MASA DEPAN
Sebagai fans berat Wikinomic, saya yakin benar dengan kekuatan kolaborasi dimana setiap pihak punya kesempatan yang setara memecahkan masalah dan meningkatkan nilai. Secara alamiah pemerintah akan membuat peraturan, namun secara alamiah pula masyarakat akan menguji peraturan itu sampai batas maksimal atau melampauinya. Dalam dunia transportasi, prinsip-prinsip ini direalisasikan dalam komuter sosial: perpindahan penduduk secara kolaboratif antarwarga.
Komuter sosial hadir sebagai inovasi dan kemandirian warga memecahkan masalah transportasi: kemacetan, emisi, anggaran, gaya hidup hingga hiburan. Warga tak lagi menggantungkan nasibnya hanya kepada pemerintah yang bertanggungjawab atas penyediaan dan pengelolaan infrastruktur serta fasilitas angkutan umum. Begitu juga dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan. Mereka berinovasi, menciptakan ketergantungan antar orang (peer) dan berkolaborasi memecahkan masalah -- yang bila menunggu pemerintah alangkah lamanya.
Komuter sosial yang kita lihat, alami dan lakukan sehari-hari adalah saling memberi tumpangan. Bahkan ia dilegitimasi oleh pemerintah yang memberlakukan 3 in 1 di beberapa ruas jalan di Jakarta sejak tahun 2003. Menyediakan ruang kosong di kendaraan kita buat orang lain bukan hal asing. Faktanya, kolaborasi ini memecahkan banyak masalah. Di Jakarta bahkan ada komunitas nebeng.com yang anggotanya 60 ribu orang lebih. Mereka saling memberi tumpangan bagi anggota yang lain. Bahwa ada kompensasi yang diberikan orang yang menumpang kepada pemberi tumpangan, itu sah saja dalam pergaulan sosial. Iuran ongkos bensin, lah. Toh sama-sama memberi manfaat. Komuter sosial sebenarnya adalah apa yang diajarkan nenek moyang kita: gotong royong. Ia menjadi bentuk lain yang dilakukan dalam ekosistem digital economy dengan mekanisme yang lebih transparan, mudah, efisien sekaligus menguntungkan
Komuter sosial juga menjadi jalan bagi penciptaan kesejahteraan (wealth creation) tanpa harus menempuh jalan profesi. Sangat banyak (atau mayoritas) pengemudi Gojek atau Uber 'narik' di sela waktu senggang, atau pulang-pergi bekerja. Daripada menganggur atau menanggung biaya bensin sendirian, lebih baik ditumpangkan. Mereka bukan karyawan siapapun. Hanya sebatas seseorang yang ingin memanfaatkan ruang kosong di kendaraan mereka untuk mendapatkan pemasukan menggunakan aplikasi yang mempertemukan mereka dengan orang yang butuh tumpangan.
Di luar negeri komuter sosial juga sangat populer. Ada blablacar.com, zipcar.com sampai lyft.com. Di Jerman, bahkan ride sharing mitfahrgelegenheit.de punya halte yang dibangun khusus oleh pemerintah setempat. Sebagai sebuah entitas bisnis, Gojek bisa tutup kapan saja. Tapi bila Gojek besok tutup, apakah ojek pangkalan akan punah? Apakah kegiatan saling memberi tumpangan tinggal sejarah? Jelas tidak.