Tanda-tanda asing sudah bisa ditemui begitu pertama kali ia masuk ruangan. Setelah bersalaman dengan seluruh Kompasianer, ia duduk karena harus mendengarkan Isjet menyampaikan sambutan. Khas pertemuan formal. Giliran Jokowi bicara, kalimat pertama yang ia ucapkan depan mik adalah, "Jangan tegang. Santai saja. Ayo kita makan!". Langsung ia menuju meja prasmanan.
Ini presiden apa sih?
Kalau soal urusan mendengarkan curhat rakyatnya, semua presiden juga begitu, termasuk Jokowi. Pasti mendengarkan rakyatnya. Tapi, tak pernah saya menyaksikan ada Presiden RI yang langsung menanggapi sebuah usulan yang disampaikan di pertemuan terbuka dengan keputusan instant. Usulan pasti akan ditampung dulu, digodok, dihitung anggarannya, diteliti dampak politiknya -- yang semua itu dilakukan oleh para staf dalam ekosistem birokrasi yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Namun Jokowi tidak tak hanya mendengarkan. Ia langsung memutuskan dan bergerak tanpa mau terkungkung dalam ikatan birokrasi yang ia sendiri keluhkan. Cepat dan tangkas dalam mengambil keputusan, tak penting siapa yang menyampaikan. Tanpa basa-basi. Khas business leader.
Siang itu saya tak merasa berhadapan dengan Presiden RI. Tapi CEO Republik Indonesia.
KOMPASIANA: INISIATOR DAN KOLABORATOR KUNCI PRESIDEN RI
Bahwa Jokowi menaruh perhatian begitu besar kepada Kompasiana, itu bukan berita baru. Di mata Jokowi, Kompasiana begitu penting dan itu telah ia ucapkan serta realisasikan lewat berbagai tindakan berkali-kali. Makan siang bareng saja sudah 2 kali. Akan menyusul kloter-kloter berikutnya setiap 3 bulan. Kita sudah membuktikan bahwa Presiden RI tak hanya sebatas mendengarkan Kompasianer, tapi langsung dituruti.
Saat jutaan rakyat Indonesia cuma bisa bermimpi bertemu dan menyampaikan gagasannya secara langsung di hadapan presiden, Kompasianer dengan (relatif) mudah dapat kesempatan itu. Ketika Kompasiana sudah begitu penting bagi Presiden RI dan didengarkan setiap kalimatnya serta akan bertemu rutin tiap 3 bulan sekali, lalu bagaimana Kompasiana harus memposisikan dirinya?Â
Ini adalah kesempatan emas bagi Kompasiana bertindak sebagai inisiator dan kolaborator kunci Presiden RI. Posisi yang dulunya hanya dimiliki oleh mereka yang kita sebut sebagai Ring 1 -- staf khusus, menteri, penasehat, pembisik, dll. Sekarang saatnya para Kompasianer bisa bekerja nyata bagi bangsa dan negara. Bahwa setiap ide, gagasan maupun usulan yang dilontarkan Kompasianer di hadapan Presiden RI bisa langsung diwujudkan seketika itu juga.Â
Usulan (dan curcol) yang langsung terealisasi di kloter 1 memang baru persoalan pertemuan rutin dan blogger istana. Masih Kompasiana-sentris. Bagaimana jika pada kloter berikutnya dilontarkan ide konkret yang menyangkut kepentingan luas bangsa dan negara yang bisa langsung dieksekusi presiden. Misal ada Kompasianer yang memiliki gagasan konkret soal penerapan energi bersih, layanan kesehatan, smart city, pendidikan dll, yang semua itu berpotensi langsung dieksekusi presiden dan punya dampak luas.
Kompasianer sebagai smart mobs seperti yang saya tulis dalam artikel berjudul Kompasiana dan Kejeniusan Kolektif Indonesia, kini berhadapan dengan kesempatan emas memberdayakan dirinya untuk kepentingan seluruh bangsa sebagai 'pembisik presiden'. Jokowi sungguh sadar berada dalam era Wikinomic dimana ia membutuhkan kolaborator sebanyak-banyaknya untuk membangun bangsa ini. Dan salah satu kolaborator kunci itu adalah kita: Kompasianer.
Begitu juga untuk Kompasianer yang secara rutin dan konsisten mengeritik Jokowi. Ini adalah kesempatan emas untuk tak hanya bisa mengeritik, namun menyampaikan ide serta solusi konstruktif dan konkret langsung kepada presiden. Saya yakin Jokowi tak akan bertanya dulu kepada anda, "Kamu ini lover atau hater?". Bapak Thamrin Dahlan sudah membuktikannya.
Bisa bertemu, bersalaman, berfoto dan dapat tandatangan seorang presiden tentu jadi kebanggaan orang kebanyakan, termasuk saya. Mungkin momen ini yang sebelumnya (atau masih) kita cari dan rayakan. Namun apa yang terjadi di pertemuan kloter 1 pada Sabtu lalu, membuktikan Kompasianer punya posisi lebih penting ketimbang sekumpulan orang yang bisa makan siang bersama presiden. Saya berharap Kompasiana dan Kompasianer sadar betul akan pentingnya posisi ini. Pertemuan kloter selanjutnya sebaiknya diniatkan sebagai upaya bekerja untuk Indonesia lewat gagasan dan ide konkret, ketimbang sekedar eforia bisa bertemu presiden. Bukan sekedar giliran bersalaman dengan presiden yang belakangan jadi keributan.