[caption caption="Awan mirip lafaz Allah di Gorontalo (Liputan6.com)"][/caption]
Lihatlah foto di atas. Situs berita Liputan6 pada 30 Maret 2015 membuat berita tentang foto tersebut dengan judul Awan Berbentuk Lafaz Allah Muncul di Langit Gorontalo. Bila Anda seorang muslim atau seorang Arab, mungkin setuju. Tapi bagaimana dengan seorang bocah Eskimo yang tak kenal agama Islam atau tulisan Arab seumur hidupnya ketika melihat awan tersebut? Mungkin si bocah akan menginterpretasikan lain, atau tak menganggapnya penting. Begitu pula bagi mereka yang tak pernah kenal agama Nasrani, foto di bawah ini tak berarti apa pun.
[caption caption="Dinding batu yang diklaim mirip wajah Yesus (Inilah.com)"]
Otak manusia memiliki kemampuan mengolah memori sesuai dengan informasi yang dimasukkan atau diingat. Waktu kecil kita diberi tahu bahwa benda kotak dengan empat lingkaran di bawah dan bisa berjalan itu adalah mobil. Benda bulat yang ditendang itu namanya bola. Dan seterusnya. Informasi yang kita terima lewat pancaindera itu tersimpan di otak sebagai pola. Ketika menemui benda sejenis kita tak sulit lagi mengenalinya karena sudah mengenal polanya. Makin sering kita bertemu dengan pola yang sama, makin mudah kita mengenalinya.
Bila kita menemui benda asing, otak akan mencoba mengenalinya melalui pola terdekat atau yang terbiasa kita gunakan. Kita menggunakan imajinasi. Faktanya, berimajinasi juga adalah proses berpikir.
Mesin yang Mengkhayal
Ketika kencan pertama, berdebar sekali rasanya. Kita membayangkan kekasih akan datang dengan baju warna merah, tersenyum hangat, dan kemudian berjalan bersama bergandeng tangan. Padahal baru lamunan. Sama seperti lamunan kita di hadapan sebuah tanah kosong yang di situ akan berdiri rumah kita kelak. Kita berimajinasi seperti apa bentuk rumah itu nanti. Otak kita belum pernah punya informasi riil soal itu, tapi kita tetap bisa mengkhayalkannya.
Sekarang mesin juga bisa berkhayal.
Mengapa mengkhayal itu penting? Karena ia adalah bentuk proses kemandirian berpikir. Menciptakan mesin yang bisa berpikir dan mengajari dirinya sendiri adalah obsesi pengembang teknologi. Bila mesin mampu berpikir dan mengajari dirinya sendiri, ia bisa mengembangkan alogaritma dan pola yang awalnya dimasukkan oleh si programmer secara terbatas.
Contoh, bila Apple Siri bisa mengajari dirinya sendiri, maka kita tak usah lagi menunggu update Bahasa Indonesia untuk memerintahnya dalam Bahasa. Bahkan dalam Bahasa Jawa pun ia bisa belajar sendiri. Lebih jauh, kita kelak akan hidup bersama mesin seperti Kitt dalam Knight Rider, Data dalam Star Trek atau Ava dalam Ex Machina.
Pengembangan kecerdasan buatan atau artifical inteligence (AI) sejauh ini baru sebatas memasukkan informasi/data dan AI mempelajarinya lewat pola. Militer telah mengembangkan AI pesawat pembom yang bisa membedakan antara tank dan bus sekolah. Facebook mengembangkan AI yang bisa mengenali wajah penggunanya. Tapi cara kerjanya tetap berdasarkan informasi yang diinput (dalam jumlah sangat besar) dan bekerja sesuai pola yang ditentukan. AI belum bisa mengajari dirinya sendiri menemukan, beradaptasi serta mengolah informasi dan pola baru.
Pada 13 Juni lalu Google Research merilis artikel berjudul Inceptionism: Going Deeper into Neural Networks. Mereka mengumumkan AI yang mereka kembangkan telah berkembang ke inceptionisme atau permulaan (pemikiran). Ilmuwan Google dalam proyek Google Deepdream ini menciptakan AI yang meniru cara kerja jaringan syaraf otak manusia. Otak bekerja dengan cara masing-masing syaraf yang jumlahnya miliaran itu saling berkomunikasi. Artificial neural network atau jaringan syaraf buatan yang mereka ciptakan terdiri dari 10-30 lapisan. Oleh Google, AI ini 'disuruh' berpikir sendiri. Deepdream ini diartikan sebagai langkah awal menuju Deep Thinking (berpikir mendalam).