Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kita dan Hiperealitas

17 Juni 2015   11:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:40 14783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ilustrasi hiperealitas/nextnature.net)

Setiap makan bersama anak-anak dan cucu-cucunya, ayah saya punya aturan keras: wajib mematikan ponsel dan dilarang menaruh ponsel di atas meja. Aturan yang sama juga ia terapkan bila sedang berbincang dengan anak-cucu yang menyambanginya tiap akhir pekan. Meski usianya sudah 75 tahun, tapi pelototan mata dan amarahnya tetap bisa bikin anak-cucu ciut. Dengan begitu, setiap berkumpul kami bisa merasakan hubungan antarmanusia lewat obrolan, sentuhan, tawa, sewot, marah -- semua ekspresi emosi yang orisinil. Di rumah ayah, kami merasakan realitas dunia sebenarnya. Begitu keluar dari rumahnya, kami buru-buru menyalakan ponsel untuk hidup lagi di dunia maya.

HIPEREALITAS

Pernahkah anda bayangkan bila seluruh pendukung dan non-pendukung Jokowi dikumpulkan di satu tempat, apa yang akan terjadi? Apakah mereka akan bertempur seperti di media sosial? Saya yakin mereka akan rukun-rukun saja bila bertatapmuka, meski sangat ganas di media sosial.

Kenapa bisa rukun? Lalu apa yang sesungguhnya terjadi di media sosial?

Pada 1981 sosiolog Prancis Jean Baudrillard memperkenalkan kata hyperreality dalam bukunya berjudul Simulacra and Simulation. Hyperreality atau hiperealitas adalah ketidakmampuan kesadaran manusia membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya dalam kehidupan berteknologi tinggi. Definisi singkat lain tentang hiperealitas adalah 'Nyata tanpa kenyataan (Jean Baudrillard)', 'Palsu yang otentik (Umberto Eco)', dan 'Ketidaknyataan virtual (Pater Sparrow)'.

Buku itu disusun atas riset yang juga mereka lakukan terhadap pengunjung taman bermain Disneyland. Ditulis Baudrillard, Disneyland adalah sebuah 'mesin' yang meremajakan kembali fantasi kanak-kanak orang dewasa dan membuat mereka percaya apa yang ada di Disneyland itu nyata. Orang dewasa datang ke Disneyland untuk bertindak seperti kanak-kanak dan memanjakan ilusi masa kecil mereka.

Istri saya menangis tersedu-sedu setiap nonton film India. Meski menggelikan, saya jengkel melihatnya. Ia orang yang bisa marah-marah di depan tivi bila melihat tokoh protagonis sedang kalah. Umberto Uco, penulis Italia yang ikut dalam riset bersama Baudrillard mengatakan, hiperealitas dicapai lewat realitas palsu yang dikonsumsi sebagai kenyataan. Hiperealitas juga dianggap sebagai proxy (perwakilan/penghubung) antara realita dan fantasi. Ketika kita masuk ke dalam proxy ini, pandangan kita akan realitas dan fantasi makin kabur.

Dalam dunia konsumerisme, hiperealitas ini hal yang teramat penting untuk menyinonimkan produk/jasa kita dengan status sosial konsumen. Misal, mobil merk A disinonimkan dengan maskulinitas dan laptop merk B seakan-akan bisa membuat orang terlihat lebih cerdas. Samasekali tidak ada hubungannya, tapi konsumen percaya.

"Kita hidup dalam dunia hiperealitas, makin terhubung secara dalam dengan benda seperti televisi, musik, video game, atau Disneyland, benda-benda yang hanya mensimulasikan kenyataan," tulis Baudrillard, di masa internet belum masuk rumah.

KEMATIAN REALITAS

Hiperealitas, kata Baudrillard, hampir selalu lebih menyenangkan ketimbang realitas. Bahkan ia dianggap lebih nyata dibanding realitas. Itu sebabnya kita selalu melihat orang sibuk dengan ponselnya saat perjalanan di kereta, di ruang tunggu, bahkan ketika makan malam dengan pasangan. Mereka (atau kita semua) menganggap apa yang kita temukan di internet, media sosial, messanger, itu lebih menarik ketimbang berbincang dengan orang di sebelah atau melihat pemandangan sekitar. Makin sering kita melakukannya, makin terikat pula kita dengan hiperealitas.

(ilustrasi hiperealitas makin menjauhkan kita dari hubungan yang nyata/gawkerassets.com)

Kita bisa kasmaran dengan seseorang di Facebook yang belum pernah kita temui hanya karena fotonya. Bisa dengan mudahnya menghina orang lain di Twitter, padahal kita adalah orang yang santun di kehidupan sehari-hari. Atau, dengan gampangnya merendahkan keyakinan orang lain di internet, tapi (tentu saja) tak berani melakukannya terang-terangan di dunia nyata.

Jadi, siapakah kita sebenarnya? Kita yang di kehidupan sehari-hari atau kita di internet? Apa yang membatasi teritori keduanya?

Guys Louis Debord membantu kita menjawabnya: dalam dunia postmodern, realitas sudah mati, yang tersisa adalah persepsi. Pendiri Situationist International ini mengatakan, ekonomi dan politik bukan lagi fundamen di masyarakat, tapi persepsi. Itu sebabnya Jokowi terus di-bully, dihina dan dicacimaki di media sosial tak peduli apa yang sudah dilakukannya, melainkan apa yang orang persepsikan terhadapnya. Tak peduli apakah persepsi bahwa Jokowi itu komunis atau kafir itu benar atau tidak, karena hiperealitas sudah mengaburkan batasan antara yang nyata dan fantasi.

Lalu dimana sebenarnya batas teritori antara realitas dan fantasi? Tidak ada.
Beaudrillard menjelaskan, konsep hiperealitas adalah konsep hubungan antara peta dan teritori. Objek pada peta tidak bisa memuat semua aspek yang ada dalam teritori. Pada hiperealitas teritori ini sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanya peta. Ini disebut simulacrum: peta yang mendahului teritori.

Selain hilangnya teritori antara yang nyata dan fantasi, hiperealitas juga menghilangkan asal-usul. Tidak ada lagi sumber atau referensi utama akan kebenaran. Dalam derasnya arus informasi, setiap individu bergerak bebas menentukan persepsinya. Meski melahirkan pemahaman dan makna baru, tapi juga membuat kebenaran makin sulit didapat. Hal ini seperti yang saya jelaskan dalam tulisan Distorsi Kebenaran di Era Internet of Things.

E-PERSONALITY DAN SCHIZOFRENIA

Pernahkah anda punya teman yang sehari-hari begitu lembut dan ramah tapi judesnya bukan main di media sosial? Atau, seorang teman yang galaknya minta ampun di Facebook tapi sangat pemalu dan pendiam di dunia nyata?

Jadi, yang mana kepribadian orisinil teman kita itu? Karena menurut Beaudrillard teritori sudah hilang, maka ya keduanya. Wah, bipolar (kepribadian ganda) dong namanya? Sakit jiwa dong kawan kita satu ini?

Istilah E-personality pertamakali dikenalkan oleh Elias Aboujaoude, ahli kejiwaan dari Stanford University dalam bukunya Virtually You. E-personality menjelaskan tentang perbedaan sifat manusia di dunia maya dan dunia nyata. E-personality sangat mungkin mengarah ke gangguan mental yang disebabkan trauma, kemarahan, kekecewaan, obsesi, kebingungan yang bertumpuk dan terpendam. Semua itu ditumpahkan di internet, termasuk media sosial, dalam bentuk kepribadian yang berbeda. Kepribadian ini terputus dengan kepribadian asli dan kenyataan di sekitar. Seperti itu lah penyakit kejiwaan schizophrenia didefinisikan.

Hiperealitas dan E-personality bisa membawa kita ke schizophrenia bila tidak mampu lagi bertindak rasional di 'dua alam' dan melakukannya secara kontinyu serta kehilangan kontrol. Misal, merasa diri kita sungguh hebat dan dihormati orang karena punya banyak follower dan liker di media sosial. Sehingga, kemanapun kita pergi, kita merasa jadi selebriti dan menuntut dihormati. Mungkin terdengar lucu. Tapi saya punya teman model begini. Punya puluhan ribu follower di akun Twitter pribadi, ia merasa kemana-mana sebagai artis dan menganggap semua orang mengenalnya. Pernah suatu ketika ia nongkrong di sebuah kafe dan mengundang followernya untuk 'jumpa fans'. Tapi tidak ada satu pun yang datang. Di timeline ia mengamuk. Untungnya, teman ini masih punya kontrol dan tak terus-menerus begitu.

Hiperealitas bukan hanya monopoli entitas internet, tapi juga media mainstream. Sindromnya bahkan bisa menyerang praktisi media itu sendiri. Ketika Pemilu 2014 lalu, teman-teman wartawan dari surat kabar lokal di daerah saya ramai-ramai maju jadi Caleg DPRD tingkat kota sampai DPR. Mereka menganggap sering tampil di surat kabar (sendiri), punya relasi luas dan mampu mengendalikan isu pemberitaan, cukup untuk menggerakkan pemilih di bilik suara. Mereka merasa realitas di media itu sama dengan realitas publik atau dunia nyata. Tapi tak ada satu orang pun yang terpilih. Di Pilkada serentak Desember nanti, sudah ada satu kawan wartawan yang mendaftarkan diri menjadi calon kepala daerah. Padahal di Pemilu 2014 lalu ia juga jadi caleg dan hanya dapat suara sangat minim. Sindrom hiperealitas di kalangan praktisi media ini turut disoroti oleh pengamat komunikasi politik Universitas Airlangga, Sukowidodo.

HIPEREALITAS PADA KITA

Hiperealitas membawa kita pada situasi punya banyak teman di Facebook, tapi tak punya sahabat di kehidupan nyata. Sering berbincang dengan seseorang di negara lain, tapi tak kenal tetangga sendiri. Makin punya banyak informasi, tapi makin jauh dari fakta. Makin berilmu, tapi makin emosional dan impulsif. Makin terhubung, tapi makin minim tindakan. Sehari menghabiskan waktu 2-3 jam untuk chatting, tapi makin jarang ngobrol dengan anak atau pasangan.

Lihatlah foto-foto Facebook kita. Begitu tampan, cantik, sukses dan bahagia. Berfoto di depan mobil atau tempat wisata luar negeri. Lalu bandingkan dengan wajah kita di cermin atau saldo tabungan pribadi. Kita jadi mudah menilai orang dari apa yang ia hadirkan di internet. Dari tulisannya kita anggap ia pandai, dari update statusnya kita anggap ia baik hati, atau dari fotonya kita anggap ia punya fisik tanpa cela. Padahal kita tak pernah ketemu orang itu. Kita dengan mudah mengabaikan hal-hal lain yang hidup di luar hiperealitas -- dan hal lain itu lah kenyataan sebenarnya.

(Ilustrasi hiperealitas membuat kita makin aktif dan empatik di dunia maya tapi minim tindakan di dunia nyata/9gag.com)

Dalam tulisan berjudul Gerakan 20 Mei dan Konversi yang Gagal, saya menjelaskan bahwa hingar-bingar penggulingan Jokowi di media sosial ternyata jauh berbeda dengan aksi di dunia nyata. Kita bisa tampil begitu peduli dan empatik di media sosial, tapi di saat yang sama bisa sangat apatis dan permisif di dunia nyata. Media sosial buat pergaulan kita makin luas, tapi kita makin antisosial. Kita dengan mudah ikut 'save ini' atau 'save itu', tapi belum tentu bersedia bertindak secara nyata. Kita dengan semangat ikut berkabung atas kematian Angeline di media sosial, tapi belum tentu mau melapor ke polisi bila punya tetangga yang tiap hari memukuli anaknya.

Siapa kita sebenarnya?

"Bahwa kau adalah seorang budak. Seperti yang lain, kau lahir dalam keadaan terkekang, lahir dalam penjara yang tak bisa kau cium, rasakan atau sentuh. Sebuah penjara bagi pikiranmu. Sayangnya, tak ada yang bisa ceritakan apa itu Matrix. Kau harus melihatnya sendiri. Inilah kesempatan terakhirmu. Setelah ini kau tak bisa kembali lagi. Kau telan pil biru, ceritanya berakhir, kau bangun di ranjangmu dan percaya apa pun yang mau kau percayai. Kau telan pil merah, kau tinggal di Negeri Ajaib dan aku tunjukkan sejauh mana lubang kelincinya. Ingat, aku hanya menawarkan realitas. Tak lebih dari itu," kata Morpheus kepada Neo dalam The Matrix.

Pil merah atau biru yang anda pilih? (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun