Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Kisah Motor dan Tali Tambang sebelum Revolusi Nontunai

11 Juni 2015   10:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:07 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Salah satu branchless banking BRILink di Dusun Pancar, Salaman, Magelang Jawa Tengah/Detik.com)

Pernahkah anda melihat lemari es difungsikan jadi lemari baju? Saya pernah. Atau, pernahkah anda melihat 40 sepeda motor dibeli dalam sekejap seperti kacang goreng? Saya juga pernah.

Tahun 2002 adalah masa-masa yang sangat berharga bagi saya. Ketika itu saya menjalani masa kuliah kerja nyata (KKN) sebagai mahasiswa tingkat akhir Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Lokasi KKN yang saya tempati selama kurang lebih 3 bulan adalah Desa Gaden Gandu Wetan di Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Gaden Gandu adalah daerah penghasil tembakau dengan penduduk tak lebih dari 1.000 jiwa. Kebetulan ketika kami (saya dan mahasiswa KKN lain) tiba di sana, penduduk desa sedang sumringah. Masa panen tembakau tiba. Mereka tidak perlu khawatir dengan nasib hasil panen karena sudah pasti dibeli oleh pabrik rokok atau pengepul besar. Setelah tembakau hasil panen dibawa ke gudang, ditimbang dan dihitung, petani langsung dibayar di tempat, saat itu juga. Jumlah pembayarannya tidak main-main, rata-rata belasan juta sekali setor. Cash keras!

Lalu akan digunakan untuk apa uang bergepok-gepok itu?

"Di sini kalau musim panen cuma dua barang yang dibeli, Mas. Motor atau tali tambang," ujar Bapak Mualimin, 'pengasuh' saya di Desa Gaden yang rumahnya saya diami selama KKN.

Beli motor maksudnya jelas, beli sepeda motor karena mereka lagi banyak uang. Beli tali tambang untuk bunuh diri. Hah?

Pak Mualimin bercerita, masa panen adalah masa pertaruhan bagi petani tembakau. Tembakau yang baru bisa panen 3-4 bulan sekali itu adalah jenis tanaman yang rentan. Kalau cuaca dan irigasi buruk atau diserang hama, maka tembakau hasil panen berton-ton dari ratusan hektare lahan tidak bisa dijual. Padahal, petani punya banyak tanggungan utang. Mulai dari utang biaya bibit, pupuk, pengolahan lahan yang mereka ambil di awal masa tanam, sampai utang konsumsi rumah tangga lainnya.

"Bukannya kalau panen berhasil petani punya banyak penghasilan, Pak? Harusnya mereka kan punya modal dari penghasilan itu?" tanya saya.

Itu teorinya, jawab Pak Mualimin. Kenyataannya, ketika uang hasil panen diterima, petani langsung belanja. Kalau bisa langsung habis. Mereka akan beli barang konsumsi yang mereka mau. Mulai sepeda motor, perlengkapan rumah tangga, sampai kesenangan pribadi. Uang ini ludes bahkan sebelum masa tanam selanjutnya tiba. Masuk masa tanam, mereka akan berutang ke pihak lain, hampir semua ke retenir dengan bunga selangit untuk modal kerja. Kalau panen gagal mereka akan terbelit utang yang bakal ditagih secara kejam. Aset rumah tangga yang sebelumnya dibeli tidak akan cukup buat bayar utang dan bunganya, apalagi modal musim tanam selanjutnya dan nafkah sehari-hari. Maka tidak satu-dua petani tembakau yang bunuh diri bila gagal panen karena terbelit masalah seperti ini.

Saya melihat sendiri ketika itu sebuah truk gandeng bermuatan 40 sepeda motor dari diler di kabupaten masuk ke dalam desa. Begitu parkir, warga asal tunjuk saja sepeda motor yang mereka mau. Bahkan ada yang beli lebih dari satu. Bayarnya di tempat. Cash keras! 40 sepeda motor habis terjual dalam waktu kurang dari 30 menit.

Pernah juga diajak Pak Mualimin ke rumah salah satu warga. Rumah sangat sederhana dengan listrik minim. Tapi sofanya baru dan ada lemari esnya. Saya tanya bagaimana listrik berdaya kecil di rumahnya bisa menghidup lemari es?

"Tidak saya hidupkan, Mas. Waktu itu ada sales (penjual) di pasar jualan itu (lemari es). Saya lihat bentuknya bagus. Saya beli saja dan saya pakai buat simpan baju," ujar Bapak itu dalam Bahasa Jawa sambil tertawa-tawa. Saya terperangah.

KETIKA TOKO DEKAT DAN BANK JAUH

Kisah pengalaman saya di atas menggambarkan betapa rentannya warga Desa Gaden Gandu Wetan terjerembab dalam kemiskinan. Gambaran yang sama juga terjadi hampir di seluruh masyarakat petani dan nelayan Indonesia. Bukan karena mereka pemalas dan daerahnya tak potensial. Sebaliknya, mereka semua pekerja keras yang hidup di 'kolam susu'. Setiap perdagangan dan pekerjaan pasti punya risiko. Rendahnya pengetahuan dan kemampuan mereka mengelola keuangan menyebabkan mereka selalu 'berjudi' dengan nasib lewat cara yang buruk. Ketika kekalahan itu datang, mereka langsung jadi miskin, bahkan bunuh diri.

Pertanyaan pertama kita atas kisah di atas adalah: kenapa penghasilannya tidak ditabung?

Waktu itu tidak ada kantor bank di Desa Gaden. Bank terdekat ada di kabupaten yang jarak tempuhnya sekitar 1 jam lebih. Ada koperasi simpan pinjam. Tapi jauh lebih banyak yang pinjam daripada yang simpan, akhirnya sulit bergerak. Dari perbincangan saya dengan Pak Mualimin, kalau urusan simpan uang sebenarnya mereka lebih percaya kepada bank yang punya nama besar dibanding koperasi yang dikelola warga 'yang itu-itu saja'. Tapi karena untuk menjangkau bank luar biasa sulit, maka mereka menyimpan uang di rumah. Saya melihat sendiri pilar rumah dari kayu dimodifikasi jadi tempat penyimpanan uang -- banyak pula.

Lalu kenapa konsumsi barang konsumtif begitu mudah dilakukan di sana? Karena para penjual barangnya datang langsung ke desa. Mereka mendekat ke sumber uang. Sayangnya, dulu bank tak mendekat ke mereka sehingga gagal menyelamatkan mereka dari ancaman kemiskinan karena kesalahan pengelolaan keuangan. Di sisi lain, bank juga terkendala dengan tingginya biaya mendirikan sebuah kantor cabang.

PENYELAMATAN LEWAT KEUANGAN INKLUSIF BRANCHLESS BANKING

Keberhasilan pembangunan salahsatunya ditandai dengan terciptanya sistem keuangan yang stabil dan memberi manfaat pada masyarakat. Institusi keuangan lewat fungsi intermediasinya punya peran penting mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan serta pencapaian stabilitas sistem keuangan. Hanya saja industri keuangan yang berkembang sangat pesat belum tentu disertai dengan akses ke keuangan yang memadai.

(Peta dunia dan prosentase akses perbankan tahun 2011. Indonesia baru 20%/Findex WorldBank 2011)

Krisis keuangan global tahun 2008 telah mengajarkan masyarakat dunia bahwa kelompok berpendapatan rendah dan tidak teratur (in the bottom of the pyramid) adalah mereka yang sangat terdampak saat krisis. Mereka ini tinggal di daerah terpencil/pedesaan, orang cacat, dan masyarakat pinggiran yang umumnya tak punya akses ke bank (unbanked). Pertemuan G20 tahun 2009 menyepakati peningkatan akses keuangan bagi kelompok ini lewat program Financial Inclusion (Keuangan Inklusif). Indonesia termasuk salah satu yang tandatangan.

Oleh Bank Indonesia, Keuangan Inklusif didefinisikan sebagai: "Hak setiap orang untuk memiliki akses dan layanan penuh dari lembaga keuangan secara tepat waktu, nyaman, informatif, dan terjangkau biayanya, dengan penghormatan penuh kepada harkat dan martabatnya. Layanan keuangan tersedia bagi seluruh segmen masyarakat, dengan perhatian khusus kepada orang miskin, orang miskin produktif, pekerja migrant, dan penduduk di daerah terpencil"

Keuangan inklusif adalah seluruh upaya yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan yang bersifat harga maupun non harga, terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. Keuangan inklusif ini merupakan strategi nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan serta stabilitas sistem keuangan.

Keuangan Inklusif di Indonesia berdiri di atas enam pilar: edukasi keuangan, fasilitas keuangan publik, pemetaan informasi keuangan, kebijakan yang mendukung, fasilitas intermediasi & saluran distribusi, serta perlindungan.

(Enam pilar strategi nasional Keuangan Inklusif/bi.go.id)

(Program Keuangan Inklusif Bank Indonesia/bi.go.id)

Branchless banking atau bank tanpa kantor cabang adalah salah satu cara perbankan menegakkan pilar kelima sebagai fasilitas intermediasi dan saluran distribusi keuangan. Perangkat utamanya adalah instrumen nontunai uang elektronik atau e-money. April 2014, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8PB/2014 tentang Uang Elektronik yang bersemangatkan perluasan akses finansial ke pedesaan.

Bank bekerjasama dengan warga desa yang umumnya adalah pemilik toko kelontongan, sembako dan sejenisnya, sebagai agen bank. Warga bisa membuka rekening bank ke agen-agen tersebut -- yang merupakan saudara, teman atau tetangga mereka sendiri. Tak perlu buku tabungan, cukup menjadikan nomor ponsel mereka sebagai nomor rekening. Tanpa biaya pendaftaran, tapi juga tanpa bunga tabungan. Kalau mau menabung, tinggal ke agen menyetor uang dan uang langsung masuk rekening saat itu juga. Setor Rp5.000 pun bisa. Kalau mau tarik tunai, tinggal ke agen itu saja, uang langsung didapat. Tidak saja bank makin dekat, tapi akses ke simpanan/tabungan makin mudah. Di sisi lain, bank tak perlu keluar banyak biaya membangun kantor cabang atau ATM. Semuanya untung.

(Sistem kerja branchless banking lewat agen dan ponsel/bi.go.id)

Agen juga melayani transaksi keuangan seperti transfer dana, bayar cicilan, tagihan dan lainnya. Warga sebagai nasabah bila 'kagok' menggunakan rekening dan uang elektroniknya lewat ponsel, dibantu dan dilayani oleh agen. BRI salah satu yang gencar dengan branchless banking ini lewat BRILink.

VP Electronic Banking Bank Mandiri Budi Hartono, e-money di Indonesia adalah revolusi sampai level bawah. "Kalau Jokowi ada revolusi mental, kita mau revolusi dompet. Kenapa cash? Itu cash bisa di-convert ke mobile money. Itu idealisme kita. Di samping ada idealisme, ada sisi bisnis juga. Ekosistem seperti warung, pasar, bayar sekolah pakai uang elektronik. Bank perlu bangun ekosistem. Itu step pertama agar cash less. Step kedua ialah edukasi mereka untuk menabung. Kita ajarkan mereka biasa nabung," ujar Budi.

Edukasi manajemen keuangan lewat Keuangan Inklusif bukan hanya soal perlunya menabung, tapi juga penyediaan Sistem Informasi Bagi Petani dan Nelayan (SIPN) atau Mobile Agriculture. Informasi yang diteruskan ke ponsel petani dalam bentuk SMS ini antara lain soal harga terkini pupuk, benih, obat hama, harga jual hingga cara bercocok tanam.

(Sistem Informasi Harga bagi Petani dan Nelayan/bi.go.id)

Branchless banking tak hanya berfungsi sebagai penghimpun simpanan dan layanan distribusi keuangan, tapi juga fungsi perbankan sebagai penyalur kredit. Seperti diketahui, kredit adalah nafas bagi petani dan nelayan sebagai modal. Selama ini nafas itu digantungkan kepada rentenir atau shadow banking. Dengan branchless banking, agen juga berfungsi sebagai penyalur kredit ke warga, terutama mikro. Contohnya, Bank Bukopin tahun ini menargetkan penyaluran kredit sampai Rp9 triliun lewat branchless banking.

***

Sudah 13 tahun saya tak menjejakkan kaki di Desa Gaden Gandu Wetan. Rindu juga rasanya. Saya harap kelak bila ke sana lagi, saya bisa mendapati warga desa yang sangat baik dan ramah itu makin dekat dengan bank lewat branchless banking yang agennya adalah warga mereka sendiri. Saya berharap mereka tak lagi memborong barang yang tak perlu setiap panen karena minimnya wawasan pengelolaan keuangan. Mereka juga tak perlu 'memborong utang' ke rentenir tiap musim tanam. Semoga warga Gaden sudah rajin menabung ke agen bank untuk modal kerja setelah panen atau mendapat kredit mikro dari agen bank di desa mereka. Sehingga mereka tak harus lagi memilih antara sepeda motor dan tali tambang ketika musim panen tiba. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun